Oleh : Rahmawati Ayu Kartini (Pemerhati Sosial)
Perempuan dan anak adalah unsur utama dalam peradaban manusia. Rusaknya perempuan akan menyebabkan lemahnya peradaban serta generasi. Namun saat ini, perempuan dan anak hidup dalam kondisi yang memprihatinkan.
Tidak diduga, saat ini peningkatan penderita AIDS di Indonesia terjadi begitu pesat pada perempuan dan anak. Sekitar 40 persen kasus infeksi baru terjadi pada perempuan, sedangkan lebih dari 51 persennya terjadi pada kelompok remaja (15-24 tahun), dan 12 persen infeksi baru pada anak dari sekitar 543.100 orang penderita HIV.
Namun dari angka tersebut, hanya 28 persen yang mendapatkan kemudahan pengobatan Anti Retro Viral (ARV). Sisanya kesulitan dengan berbagai alasan, seperti adanya hambatan hukum yang mempersulit, serta keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan karena biaya, stigma masyarakat, dll. Ditengarai, hampir setengah dari kasus infeksi HIV baru pada anak dipastikan berasal dari ibu yang tidak menerima terapi ARV. Padahal perempuan dan anak dengan HIV merupakan populasi kunci yang seharusnya menjadi prioritas untuk mengakhiri epidemi AIDS . Sayangnya, mereka masih menghadapi berbagai tantangan untuk melakukan pengobatan.
Krittayawan Boonto, UNAIDS Indonesia Country dalam World AIDS Day 2022 Press Briefing 'Let's Equalize, No Woman and Child Left Behind' di Jakarta belum lama ini berkomentar, "Penguatan multi-sektoral menjadi penting untuk dilakukan agar mendapatkan dukungan yang cukup untuk program HIV. Negara juga harus prioritaskan pembiayaan program HIV. Dengan begitu, saya yakin bahwa kita semua dapat akhiri AIDS pada 2030."
(sindonews.com, 28/11/2022)
Mengakhiri AIDS memang butuh dukungan dari berbagai pihak. Negara pun harus membiayai program pemberantasan AIDS, jika tidak ingin generasi penerusnya lemah. Namun, cukupkah semua itu bisa mengakhiri penyebaran AIDS? Benarkah perempuan dan anak adalah populasi kunci untuk mengakhiri AIDS? Tulisan ini berupaya membahasnya.
Kunci Utama Pemberantasan AIDS
Sudah banyak cara dan upaya dilakukan dalam pemberantasan AIDS, sejak awal peringatan Hari AIDS sedunia pada 1 Desember 1988. Sudah 34 tahun telah berlalu, alih-alih jumlah penderita AIDS berkurang malah terjadi peningkatan drastis.
Aliansi nasional untuk mengakhiri AIDS telah dibentuk seperti UNAIDS Indonesia, Jaringan Indonesia Positif, Ikatan Perempuan Positif Indonesia, Lentera Anak Pelangi, dan Yayasan Pelita Ilmu. Namun upayanya belum berhasil.
Yang menarik, jika dulu penularan AIDS terbanyak melalui penggunaan jarum suntik narkotika bergantian, saat ini penularan AIDS terbanyak cenderung melalui sex bebas yang menjadi budaya serta perilaku menyimpang seks sesama jenis. (republika.co.id, 2/12/2022)
Pergaulan bebas yang tidak terkendali inilah akar masalah penularan HIV AIDS, yang menyebabkan perempuan dan anak pun menjadi ikut tertular.
Selama akar masalah tidak tersolusi dengan tuntas, berbagai macam program pemberantasan AIDS ibarat tambal sulam. Negara pun akan kewalahan mengeluarkan biaya. Apalagi dalam kondisi hutang negara yang membengkak. Persoalan AIDS tidak akan pernah selesai.
Mengapa perilaku seks bebas dan penyimpangan seks makin meningkat? Hal ini tak lepas dari sistem kapitalisme sekuler yang menjadi standar segala bidang kehidupan. Tujuan hidup adalah untuk kesenangan serta agama dianggap ranah pribadi. Tidak boleh seseorang mengurusi agama yang lainnya.
Akibat pandangan hidup seperti inilah yang membuat kerusakan pada masyarakat. Moral manusia merosot lebih rendah dari hewan. Karena itu, sistem kapitalisme sekuler harus ditinggalkan. Karena tidak sesuai akal dan fitrah manusia. Inilah yang menjadi kunci utama untuk mengakhiri AIDS, bukan dari perempuan dan anak.
AIDS Hanya Tuntas Dengan Islam
Sebagai pandangan hidup, Islam memandang hukum asal laki-laki dan perempuan terpisah kecuali ada keperluan syar'i. Segala pintu menuju pergaulan bebas diharamkan. Seperti zina, pacaran, berkhalwat (berduaan), ikhtilat (campur baur), dll. Jika tertarik dengan lawan jenis, solusi dalam Islam hanya satu. Yakni pernikahan.
Dalam kehidupan masyarakat, laki-laki dan perempuan diperbolehkan berinteraksi. Misalnya dalam persoalan pendidikan, muamalah, kesehatan, persidangan, dll. Jadi, bukan berarti tidak diperbolehkan berinteraksi. Interaksi yang terjadi pun dalam rangka saling tolong menolong dalam kebaikan, sebagaimana firman Allah berikut ini:
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya." (QS. At Taubah: 71)
Islam melarang adanya laki-laki atau perempuan yang melakukan penyimpangan dalam perilaku. Misalnya laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya. Orang yang melanggar akan diberikan sanksi.
Imam Abu Dawud meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan para sahabat agar mengasingkan seorang lelaki berpenampilan seperti wanita ke daerah Naqi’, satu daerah di pinggiran Madinah. Dalam riwayat Imam Abu Dawud juga diceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan pengasingan waria ke padang pasir. Beliau lalu mengizinkan dia ke Madinah pada hari Jumat sebanyak dua kali untuk mencari makan agar tidak mati kelaparan.
Adapun kaum homoseks, jika terbukti melakukan tindakan persetubuhan sesama jenis, harus dijatuhkan sanksi hukuman mati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
"Siapa saja yang menjumpai kaum yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual), bunuhlah pelaku maupun pasangannya" (HR Abu Dawud).
Inilah solusi Islam untuk menuntaskan persoalan AIDS dari akar masalahnya. Bukan solusi tambal sulam. Hal ini tidak mungkin dilakukan dalam sistem kapitalisme sekuler yang memberikan kebebasan berperilaku.
Selain itu, penguasa dalam Islam harus memudahkan rakyatnya mendapatkan akses kesehatan untuk berobat serta menjaganya dari berbagai kerusakan.
Wallahu a'lam bishowab.