Tragedi Pinjol, Investasi atau Kurang Literasi?



Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

(Institut Literasi dan Peradaban)


Pengamat Keuangan Piter Abdullah menilai ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terjerat pinjaman dalam jaringan (pinjaman online/pinjol) untuk penjualan yang ternyata bodong karena tamak yang tidak memiliki kemampuan keuangan, dan tidak memiliki literasi pengetahuan mengenai masalah ini. Namun, ia mempertanyakan apakah kasus ini penipuan sehingga perlu diusut tuntas aparat hukum.


"Itu perilaku tamak, rakus yang tidak mau bekerja keras karena membuat pelaku (mahasiswa) spekulatif, apalagi kalau tidak didukung dengan kemampuan keuangan. Persoalan semakin ditambah karena mereka tidak memiliki literasi pengetahuan yang cukup," ujarnya. (Republika, 15/11/2022).


Piter meminta, kasus ini harus ditegaskan dulu, harus jelas apakah oknum mahasiswa tersebut kurang literasi atau bentuk penipuan. Sebab, ia menduga tidak menutup kemungkinan uang yang dipinjam dari pinjol ilegal. Jika pinjol ilegal bisa disebut sebagai penipuan dan jika benar maka ini adalah tindakan pidana. Jadi, ia meminta jangan disalahkan korbannya karena yang salah adalah yang menipu. Sebab, mereka memanfaatkan kondisi masyarakat yang kurang mendapatkan literasi. 


Studi terbaru dari Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) bertajuk "Penipuan Digital di Indonesia: Modus, Medium, dan Rekomendasi" menunjukkan bahwa penipuan berkedok hadiah menjadi modus penipuan digital tertinggi di Indonesia. Hal itu dari riset yang dilakukan terhadap 1.700 responden. "Hasil riset menunjukkan 66,6 persen dari mereka atau 1.132 orang pernah menjadi korban penipuan digital dengan penipuan berkedok hadiah (36,9) persen melalui jaringan seluler sebagai modus yang paling banyak memakan korban," kata Ketua Tim Peneliti CfDS UGM Novi Kurnia dalam sebuah  seminar web (tempo.co, 24/8/2022).


Tragedi ini Bukti Potret Buruk Sistem Pendidikan Tinggi


Tak ada salahnya mahasiswa mencari uang tambahan di luar uang kiriman dari orang tua. Sejak dulu pun susah lazim pekerjaan yang biasanya dicari mahasiswa entah part time atau hanya di week end. Seiring dengan perkembangan teknologi, segala kebutuhan layanan publik menjadi digital termasuk simpan pinjam. Dan yang sangat viral adalah pinjaman online. 


Namun jika pelaku pinjaman online adalah para mahasiswa, tentulah ini menjadi sesuatu yang patut menjadikan kita prihatin. Betapa para mahasiswa terjerat ‘pragmatis akut’, sehingga tidak berpikir jernih dan kritis. Fenomena ini menggambarkan orientasi materi telah menjebak mahasiswa sehingga tidak berpikir logis dan kritis. Pendidikan tinggi tak mampu membendung laju masuknya racun kapitalisme. 


Dunia pendidikan sendiri sudah dikapitalisasi sedemikian rupa. Tak salah jika para orang tua karena sulitnya hidup dan mahalnya biaya pendidikan seringkali menginginkan anak bisa membantu perekonomian keluarga. Tak penting ilmu yang tinggi. Sebab saking mahalnya dan tidak setiap orang tua mampu memberi pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya muncul pendapat kalau miskin jangan sekolah. Peran negara sangat minim dalam hal ini, padahal pendidikan sebagaimana makan dan minum adalah juga kebutuhan pokok manusia.


Bahwa hidup ini adalah sebuah proses bagi mahasiswa hari ini tak menjadi sesuatu yang menarik dan patut diperjuangkan . Apa-apa yang mereka terima serba instan, termasuk kurikulum pendidikan hari ini yang jauh dari kata proses bertahan hidup melainkan bagaimana cara menjadi cepat kaya dengan cara yang kreatif. Ujung-ujungnya sekolah dihubungkan dengan literasi bisnis dan penanaman mindset sesat bahwa lepas sekolah harus bekerja, bekerja harus menghasilkan banyak uang untuk balas budi dan lainnya. 


Mirisnya ini terjadi di PTN dan favorit, masuk top 450 dunia. Inilah buah sistem pendidikan kapitalistik di perguruan tinggi, mencetak mahasiswa yang berorientasi materi, sejalan dengan semangat entrepeneur university. Seseorang dianggap sukses jika selesai studi dengan gelarnya  bisa mencapai kekayaan yang menurut ukuran manusia kebanyakan adalah sejahtera. Atau jika bisa bekerja di BUMN atau perusahaan bonafit. Sedang yang bekerja pengabdian, tanpa bayaran, hanya menyumbangkan ilmu saja dianggap rendah. 


Negara wajib menjamin akses pendidikan bisa diambil oleh setiap individu dengan mudah, murah bahkan gratis. Dari mulai infrastruktur yang berhubungan dengan kepentingan pendidikan, kurikulum, tenaga pendidik, laboratorium, perpustakaan dan lainnya negara yang menyediakan dengan dana yang berasal dari Baitul mal. Maka tidak ada alasan negara tak punya uang untuk pendidikan berikut kampus pun tak harus berubah jadi lembaga keuangan yang menarik uang dari siswa untuk setiap biaya operasionalnya. 


Sistem islam, yang pernah memimpin peradaban cemerlang dan insyaallah akan tegak kembali sesuai janji Allah, berisi akidah dan peraturan. Ulama-ulama yang berkontribusi pada kemajuan Islam dan peradabannya sangat banyak, karya mereka masih menjadi rujukan hingga hari ini.  Islam menjadikan setiap pelajaran sesuai tingkatannya dan selalu disertakan dengan penguatan akidah sebagai landasan untuk membentuk kepribadian Islam. Individu berkepribadian Islam artinya pola pikir dan pola sikapnya berlandaskan akidah Islam. Sehingga apa yang dikeluarkan dari lisan maupun anggota badannya adalah takwa sebenarnya. 


Ia bertindak karena yakin akan mendapatkan pahala. Di dunia ia berkontribusi untuk kemuliaan agama dan kemaslahatan umat. Sebab, memang demikianlah seorang terdidik dan berpendidikan tinggi.  Perguruan tinggi sebagai tempat menyiapkan calon pemimpin umat, ia peka terhadap persoalan umat, maka tak bisa jika landasannya adalah ideologi batil dan bukan berasal dari Allah SWT. Wallahu a'lam bish showab. []


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama