Oleh : Wirani Ummu ghozi
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah hal baru. Beberapa bulan ini berita KDRT masih marak menghiasi pemberitaan. Kasus KDRT memang memiliki daya ungkit besar untuk memantik reaksi dan komentar netizen.
Kasus LK adalah satu dari ribuan kasus yang sama. Dalam kesempatan lain, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengajak para korban dan saksi untuk berani speak up atas kasus KDRT. Bintang mengungkapkan, keberanian angkat bicara ini untuk memberikan keadilan pada korban dan agar tidak ada lagi kasus KDRT. (Kompas, 25/09/2022).
Ajakan berani speak up untuk KDRT, Tidak Berefek
Sebagaimana khalayak umum ketahui, Pemerintah telah mengeluarkan aturan mengenai KDRT. UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PADRT) memuat aturan, larangan, hingga sanksi bagi pelaku KDRT. UU ini dibuat dalam rangka memberikan sanksi tegas bagi para pelaku dan meminimalkan KDRT. (Detik, 30/09/2022).
Namun, alih-alih berkurang, justru tindakan KDRT makin marak. Berdasarkan data Kemen PPPA, hingga Oktober 2022, ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia, 16.745 (79,5%) di antaranya dialami perempuan. Data lebih spesifik lainnya juga menyebutkan, misalnya di Jogja, selama 2022, terdapat 156 kasus KDRT. (Tribun Jogja, 02/10/2022).
Jangankan di kota besar, di kota kecil seperti Ngawi saja, juga mengalami kasus serupa. Kapolres Ngawi AKBP Dwiasi Wiyatputer menyatakan kalau tiap tahun kasusnya bertambah. Kasus KDRT yang terbaru adalah kasus suami yang tega membacok istrinya gara-gara menolak melayani. (Radar Madiun, 27/09/2022).
Speak Up Saja Tidak Cukup
Dari data di atas, dapat kita lihat bahwa aturan yang ada saat ini tidak berefek jera bagi para pelaku. Semua orang setuju jika KDRT adalah tindakan yang salah. Dari sisi kemanusiaan tidak manusiawi, bahkan dari agama Islam tentu bukanlah sikap yang dicontohkan Nabi. Jadi, memang selayaknya setiap orang yang mengetahui tindakan itu perlu speak up. Namun, hanya speak up tentu tidak cukup. Selama faktor penyebab KDRT masih ada, KDRT tetap terpelihara.
Jika kita amati, mayoritas faktor penyebab KDRT adalah persoalan ekonomi dan perselingkuhan. Selain itu, jika pasutri tidak paham ilmu rumah tangga, juga akan menambah beban berat keluarga. Keduanya bisa saja temperamental hingga terpengaruh bisikan setan. Selain itu juga terdapat pengaruh lingkungan, sistem kehidupan yang campur baur, dan bebas memberi ruang bagi perselingkuhan.
Islam Memberikan Solusi
Ada beberapa hal yang diajarkan Islam agar tidak sampai terjadi KDRT, yaitu:
Pertama, Islam menentukan kehidupan persahabatan dalam rumah tangga. Pasutri diminta bergaul layaknya teman, bukan seperti atasan dan bawahan. Mereka menjalankan hak dan kewajiban masing-masing.
Allah Swt. berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS Al-Baqarah[2]: 228)
Kedua, Islam memerintahkan pasutri agar bergaul dengan makruf. Suami berlaku baik dengan istri dan istri pun taat pada suaminya. Allah Swt. berfirman, “Dan bergaullah dengan mereka secara makruf (baik).” (QS An-Nisa [4]: 19)
Ketiga, Islam menentukan kepemimpinan suami atas istri dalam rumah tangga. Allah Swt. berfirman, “Kaum laki laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS An-Nisa [4]: 34)
Jika istri membangkang (nusyuz) pada suaminya, Allah memberikan hak pada suami untuk mendidiknya. Rasulullah saw. menjelaskan dalam khotbah beliau ketika Haji Wada. Saat itu beliau saw. bersabda, “Jika mereka melakukan tindakan tersebut (yakni nusyuz), maka pukulah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan (menyakitkan).” (HR Muslim dari jalur Jabir ra.)
Keempat, Islam memberikan cara penyelesaian masalah dalam rumah tangga. Jika dalam kehidupan pasutri terjadi persengketaan yang dapat mengancam ketenteraman, Islam mendorong mereka bersabar memendam.
Allah Swt. berfirman, “Dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian apabila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisâ’ [4]: 19)
Namun, jika masalah pasutri melampaui batas, Islam memerintahkan agar ada pihak ketiga (dari keluarga pasutri) yang membantu menyelesaikan.
Allah Swt. berfirman, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An-Nisâ’ [4]: 35)
Walhasil, jika masalah tersebut tidak dapat diselesaikan, boleh bagi keduanya untuk berpisah. Allah Swt. berfirman, “Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisâ’ [4]: 130)
Dukungan Masyarakat dan Negara
Solusi di atas dapat diterapkan dalam keluarga. Namun, keluarga akan rapuh manakala berdiri sendiri tanpa dukungan masyarakat dan negara. Oleh karenanya, butuh penjagaan masyarakat yang memiliki perasaan dan pemikiran Islam.
Tidak hanya itu, juga butuh dukungan negara yang menerapkan aturan Islam agar seluruh elemen saling mendukung dan bisa berjalan sesuai fungsinya. Inilah sistem Islam yang komprehensif. Wallahualam. [MNews/Gz]