Wacana Kenaikan BBM, Bukti Nyata Pemerintah Zalim



Oleh Triani Agustina


Pada beberapa waktu lalu ramai pemberitaan mengenai wacana penundaan kenaikan BBM subsidi, hal tersebut tampaknya hanyalah cara pemerintah untuk meredam gejolak opini publik. Disisi lain efek domino kenaikan BBM tidak dapat diatasi dengan adanya pembagian bansos yang jumlahnya kecil dan cakupan penerimanya sangat terbatas. Terlebih jumlah rakyat miskin kian hari kian bertambah, sehingga angka kriminalitas yang menyusul akan kian bertambah juga dan kesejahteraan terasa makin jauh untuk dijangkau. 


Berikut data  berdasarkan Warta Ekonomi.co.id; Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, beliau menyatakan bahwa negara telah mengalokasikan dana subsidi dan kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar Rp502,4 triliun dan berpotensi ditambah Rp195 triliun tersebut masih belum tepat sasaran dan sebagian besarnya dinikmati oleh orang kaya. Sri Mulyani telah  merincikan untuk kebutuhan Solar konsumsi adalah sebagian untuk rumah tangga dan sebagiannya lagi dunia usaha. 89 persen dari 15 hingga 17 juta kilo liter dinikmati oleh dunia usaha, dan 11 persen dinikmati oleh rumah tangga. Sedangkan, dari konsumsi rumah tangganya, 95 persen dinikmati oleh rumah tangga yang mampu, dan hanya 5 persen dinikmati oleh rumah tangga yang tidak mampu. 


Sedangkan mengenai Pertalite, Sri Mulyani menyampaikan bahwa situasinya tidak jauh berbeda. Total subsidi Pertalite yang sebesar Rp93,5 triliun, 86 persen dinikmati rumah tangga, dan sisanya 14 persen dinikmati oleh dunia usaha. Dari yang dinikmati rumah tangga, ternyata 80 persen dinikmati oleh rumah tangga mampu, dan hanya 20 persen dinikmati rumah tangga miskin. Oleh karena itu diperlukan langkah yang tepat untuk tetap menjaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai shock absorber, artinya subsidi tidak dicabut dan penyesuaian anggaran perlu menjadi pertimbangan. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki manfaat distribusi subsidi ke masyarakat. Sementara itu, Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa APBN perlu untuk terus dijaga dalam menghadapi tahun 2023 dan 2024, di mana potensi ketidakpastian masih ada. Sri Mulyani mengimbau kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat mampu untuk bergotong royong.


Berdasarkan data tersebut, pengaturan mengenai subsidi dan beratnya beban APBN akibat subsidi bagaikan alasan membawa negeri dalam pengelolaan liberal secara total. Sebab sejujurnya, berapa pun harga minyak mentah di dunia, harga BBM di Indonesia pasti akan naik. Kondisi ini merupakan momentum untuk menaikkan harga BBM bersubsidi secara logis dan legal. Namun apabila harga minyak mentah dunia tidak mengalami kenaikan, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Terlebih sejak disahkannya UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), swastanisasi dan liberalisasi migas di Indonesia berjalan makin masif dari hulu hingga hilir. UU ini membuka pintu lebar-lebar bagi swasta lokal dan asing untuk masuk dalam pengelolaan migas, termasuk penjualan BBM kepada rakyat. Muncullah SPBU-SPBU asing yang bukan milik Pertamina.


Jika harga BBM di Indonesia masih disubsidi, SPBU-SPBU asing tersebut tidak akan bisa mendapatkan banyak keuntungan. Jika kondisi ini berlangsung terus menerus, para investor migas di sektor hilir akan hengkang. Oleh karena itu, liberalisasi migas dipastikan berjalan secara total. Jika tidak ada subsidi maka harga BBM akan sama dengan harga pasar, inilah kondisi yang sangat diinginkan oleh investor asing. SPBU mereka akan bersaing secara bebas dengan SPBU Pertamina sehingga bisa meraup keuntungan secara maksimal. Liberalisasi migas ini makin sempurna dengan disahkannya UU Cipta Kerja. Perizinan bagi swasta untuk usaha migas semakin dipermudah karena cukup izin dari presiden, sanksinya pun dari pemerintah pusat. Sementara itu, pemerintah daerah tidak terlibat dalam perizinan, pengawasan, dan pemberian sanksi.


Liberalisasi migas yang terjadi seolah “titah” kapitalisme, selama negeri ini masih bersandar terhadap kapitalisme maka BBM murah akan menjadi mimpi belaka. Sehingga Islamlah satu-satunya cara untuk mewujudkan BBM murah, dengan menerapkan sistem ekonomi Islam di bawah naungan Khilafah. Dengan konsep kepemilikan yang menempatkan tambang migas dengan deposit besar sebagai milik umum yang dikelola negara untuk rakyat, terwujudlah kesejahteraan rakyat. Tidak ada celah bagi liberalisasi migas di sektor hulu maupun hilir. Harga BBM yang dijual ke rakyat hanya sebesar biaya produksinya, bukan mengacu pada harga pasar dunia. Ketika kebutuhan BBM rakyat tercukupi dengan harga yang terjangkau, kegiatan ekonomi rakyat dan dunia usaha berjalan baik, kesejahteraan pun terwujud.


Rasulullah saw. bersabda,


اتَّقوا الظُّلمَ . فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ


“Jauhilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578).

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama