Ramahnya Demokrasi Terhadap Pelaku Korupsi

 



Oleh Wahyuni

Penulis dan Ibu Rumah Tangga


Belum lama ini beberapa tahanan tipikor mendapatkan remisi bersyarat. Ada sekitar 23 napi koruptor yang mendapatkan remisi. Diantaranya termasuk kasus yang besar. Hal ini menimbulkan berbagai respon publik. Banyak pihak yang menilai bahwa hukum negara ini sangat lemah terhadap para koruptor.


Dikutip dari detik.com (07/09/2022) Mahkamah Agung (MA) sebelumnya mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang disebut dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor, akan tetapi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menerbitkan peraturan baru yakni Peraturan Kemenkumham Nomor 7 tahun 2022 berkenaan dengan hal remisi koruptor. Koordinator Humas dan Protokol Ditjen Pas, Rika Aprianti dalam siaran persnya menyatakan bahwa untuk mendapat hak remisi dan integrasi terpidana kasus korupsi harus membayar lunas denda serta uang pengganti. Hal ini berdasar pada permenkumham.


Dengan adanya bebas bersyarat tentunya makin mengukuhkan anggapan bahwa kejahatan korupsi hanya sekadar kejahatan biasa. Hal ini tentu mempengaruhi elektabilitas hukum di mata publik. Publik makin yakin hukuman penjara tidak akan pernah membuat jera para koruptor.


Ditambah lagi jika eks koruptor ternyata masih bisa menjadi caleg di DPR, DPRD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Dalam Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pun tidak spesifik melarang eks napi, termasuk dari kasus korupsi, untuk kembali maju menjadi caleg. Demikian juga Pasal 45A ayat (2) PKPU Nomor 31 Tahun 2018 menjelaskan soal syarat bagi eks koruptor bila hendak maju sebagai caleg. Yaitu harus memberikan lampiran keterangan soal statusnya sebagai eks napi (beritasatu.com, 28/08/2022).


Dengan diperbolehkannya nyaleg, menegaskan bahwa sistem demokrasi itu ramah terhadap para koruptor. Napi korupsi bukanya dihukum mati, malah dikasih hati. Hal ini sungguh menyakiti rakyat. Meskipun pemerintah berdalih sudah sesuai aturan, namun seandainya terpilih kembali, sama saja dengan memberi kesempatan eks koruptor untuk melakukan korupsi lagi. 


Banyak pihak sangat menyayangkan hal ini. Dan menuntut dengan berbagai upaya hukum untuk bisa merubah pasal ini. Namun, sekalipun ada upaya untuk mencabut hak tersebut. Tetap saja tidak akan ada perubahan yang berarti. Nyatanya eks napi koruptor tetap diberi panggung dan kedudukan tinggi di mata publik. Dan hukuman yang dijalani tidak menjadikannya sadar akan dosanya. 


Karakter para pejabat yang menjadikan standar kebahagiaan adalah saat meraih kedudukan dan memiliki kekayaan,  tanpa memperhitungkan halal dan haram dalam meraihnya. Karakter ini tentunya dihasilkan dari sistem sekuler, yaitu sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya sebatas ritual ibadah saja. Sedangkan masalah kehidupan lainnya tak mau terikat dengan hukum syara'.


Selain itu, gaya hidup sebagian para pejabat yang suka bermewah-mewahan,  menjadikan para pengemban amanah rakyat ini berani melakukan apa saja. Tak ada rasa takut lagi mengambil yang bukan haknya. Suap menyuap pun seakan lumrah dikalangan mereka. Mengambil dan memiliki melebihi dari haknya. Kemudian karena terbiasa hidup praktis akhirnya mudah melakukan jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu. Sehingga menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan dan keuntungan pribadi.


Dalam mengurus koruptor Islam melakukan tindakan tegas. Korupsi adalah aktifitas kemungkaran yang harus dimusnahkan yang di dalamnya termasuk pencurian, suap menyuap, penyelewengan, penggelapan serta penguasanya dengan cara yang bathil. Allah sangat tegas melarang mengambil hak orang lain dengan cara yang bathil. Sebagaimana dalam Firman-Nya:


"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahuinya.”(QS. Al-baqarah: 188)


Apalagi ini berhubungan dengan milik rakyat. Sudah pasti kerugiannya berpengaruh tidak hanya pada pemerintahan tetapi juga kepada rakyat. Maka ketika memberikan hukuman pun harus sesuai dengan akar masalahnya, dan harus berdasarkan pada Al-Qur'an dan Hadis sebagai panduannya. Contohnya seorang pencuri yang mencapai nishab, maka harus dipotong tangannya. Ini sesuai dengan firman Allah Swt:


“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al Maidah: 38)


Di dalam pemerintahan Islam tentu kewajiban itu dilakukan oleh Khalifah. Khalifah juga bisa memberikan sanksi lainnya berdasar hasil ijtihad, misalnya stigmatisasi, publikasi tindak korupsi, pengasingan, penyitaan harta, hukum cambuk, bahkan hukuman mati dengan pertimbangan nilai harta yang dikorupsi. Tujuannya tentu untuk menciptakan rasa jera kepada pelaku dan rasa takut kepada masyarakat. Sehingga ini bisa menjadi kontrol perilaku masyarakat. 


Selain itu Islam memiliki landasan yang kuat dalam menciptakan karakter manusia yang berakhlak mulia. Masyarakat dibina agar menjadi insan yang beriman dan bertakwa. Dididik menjadi orang yang ikhlas dan rida dalam menjalankan amanah. Selain itu negara pun ikut andil dalam mencukupi kebutuhan para pejabatnya.


Karena manusia sejatinya cenderung memiliki sifat tamak. Sehingga Allah menjamin kebutuhan hambanya yang selalu bertawakal kepada-Nya. Dalam firman-Nya disebutkan:


"Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya."(Ath-Thalaq:31)


Maka ketika ketakwaan itu sudah tumbuh dalam jiwa seluruh umat muslim. Segala kemungkaran bisa terhindarkan atas izin Allah. Manusia berupaya mengikuti tuntunan Allah, semoga Allah akan menurunkan rahmat-Nya.


Wallahu a'lam bishsowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama