Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Belum sepekan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) membuat duka dimana-dimana. Ketika rakyat belum bisa menerima, disisi lain para penguasa sibuk dengan pemilihan umum. Sinyal untuk bisa bekerja sama dalam pemilihan presiden 2024 secara terbuka disampaikan oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto saat menerima kunjungan Ketua DPP PDI Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani pada Minggu (4/9/2022) kemarin.
Keduanya bahkan menyatakan akan terus membangun komunikasi politik. “Jadi saya kira konklusi yang paling jelas adalah kita bertekad untuk melanjutkan komunikasi politik dengan terus-menerus, dengan terbuka, dengan apa adanya,” kata Prabowo usai bertemu Puan di Hambalang.
Prabowo menyatakan, komitmen untuk terus membangun komunikasi dengan PDI-P tak lain untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dia juga menyampaikan bahwa pertemuan ini merupakan sesi awal memasuki musim politik jelang Pemilu 2024.
“Jadi ini baru mungkin untuk awal musim politik yang akan datang, ini mungkin baru awalan,” ujar Prabowo (Kompas.com, 4/9/2022).
Sungguh potret nyata dari para penguasa yang katanya wakil rakyat. Saat rakyat sedang kelimpungan mengatasi dampak domino kenaikan BBM, para petinggi negara termasuk ketua wakil rakyat sibuk mematut diri mencari pasangan kontestasi. Juga memoles diri agar tampak layak kembali mendapat kepercayaan. Sudah Sepatutnya rakyat sadar kondisi demikian adalah watak asli sistem demokrasi karena jelas sekali sistem demokrasi hanya melahirkan sosok pengabdi kursi bukan pelayan rakyat yang merasakan penderitaan mereka.
Indonesia adalah negara besar yang sangat kaya akan sumber daya alam, jumlah penduduk, budaya, dan lain-lain. Tapi di tengah kekayaan yang begitu melimpah, ternyata kondisi kehidupan negara kita saat ini sedang mengalami banyak masalah hampir disegala aspek kehidupan. Di bidang ekonomi angka kemiskinan dan penggangguran semakin tinggi, krisis ekonomi belum bisa teratasi dengan bertambahnya jumlah utang luar negeri, mundurnya sistem pendidikan dan mentalitas moral bangsa, mahalnya biaya kesehatan, dan semakin maraknya penyakit sosial seperti kenakalan remaja, pergaulan bebas, darurat narkoba, korupsi, wabah penyakit dan bencana alam. Belum lagi dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkesan tidak berpihak kepada rakyat.
Sungguh ironis, problematika ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, dan segudang masalah lainnya kini telah menjadi potret buram negeri yang sangat kita cintai. Fakta sudah bicara, siapapun pemimpinnya justru setelah terpilih malah berkhianat dan ingkar janji. Rakyat bukannya makin sejahtera malah semakin sengsara dalam jeratan derita dengan segala kebijakan yang ada. Padahal, seharusnya mereka lebih peka untuk mendengar aspirasi rakyat, sehingga rakyat bisa hidup dengan aman damai dan sejahtera. Semua permasalahan yang terjadi memang cukup sulit untuk diselesaikan karena sudah mengakar dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Rezim yang gagal ini tentunya lahir dari sistem demokrasi sekuler yang sampai kapanpun tidak akan pernah mampu menjalankan fungsi kepemimpinannya karena jelas tidak memiliki konsep yang kuat dan benar karena berkiblat pada azas yang salah dan batil.
Dan Selama masih menerapkan sistem kufur yang berasal dari ideologi kapitalis-sekuler, maka tidak akan pernah terselesaikan segala permasalahan yang terjadi. Karena, fakta kemunduran peradaban di negeri ini telah tampak kasat mata, adanya musibah yang terus silih berganti menimpa kaum muslimin saat ini merupakan realita yang mengharuskan kita semua untuk berpikir cerdas mencari solusi pengganti yang paling hakiki yaitu dengan menerapkan politik islam yang pastinya akan mampu mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi. Karena, jika memang ingin perubahan, maka perubahan itu harus hakiki, bukan hanya sekedar ganti rezim tapi juga harus ganti sistem. Dan perubahan hakiki itu hanya akan bisa terwujud dengan keagungan politik Islam kaffah yang akan menerapkan seluruh hukum-hukum Allah di muka bumi ini.
Sudah seharusnya, para pemimpin negeri lebih memprioritaskan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka bisa terpilih pastinya karena dipilih oleh rakyat, dan tentunya bekerja juga demi untuk rakyat, bukan untuk orang asing. Masyarakat juga harus menyadari, terus memantau dan membantu menyuarakan aspirasi agar janji-janji tersebut bisa terealisasi dengan pasti.
Dalam kepemimpinan Islam, sifat yang akan diamalkan adalah amanah, menepati janji, menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, dan nilai-nilai moral agar menjadi pemimpin yang mampu menciptakan kesejahteraan rakyat serta menjaga kedaulatan dan kemandirian negara.
Politik Islam sangat berbeda dengan politik demokrasi sekuler. Karena dalam pemerintahan Islam, kedaulatan adalah milik Allah dan hanya Allah saja yang berhak membuat hukum, bukan yang lain. Hal ini jauh berbeda dalam sistem sekuler, justru kedaulatan ada di tangan rakyat, ini tentunya akan menghasilkan corak masyarakat (pemimpin dan rakyatnya), arah kebijakan, dan semua subsistem yang menjadi turunannya, seperti sistem hukum, peradilan, ekonomi, dan sebagainya juga akan menjadi berbeda. Sebagai konsekuensinya, jika mayoritas rakyat sudah kompromi terhadap sesuatu, itulah yang harus dijalankan terlepas dari benar dan salah dengan aturan Allah. Dan hasil kompromi yang terjadi saat ini seperti praktek riba, asuransi, miras, narkoba, perilaku hedonis dan pergaulan bebas, telah menjadi legal karenanya.
Dalam sistem Islam, Undang-undang yang akan dijalankan hanya bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan qiyas, yang pasti sesuai dengan fitrah manusia, karena bersumber dari Allah Yang Maha Tahu mana baik dan buruk bagi makhluknya. Sehingga pelaksanaan syari’ah Islam oleh negara akan mewujudkan Rahmatan lil ‘alamiin, yang akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan serta menjaga martabat manusia.
Kekuasaan di dalam sistem pemerintahan Islam berbeda dengan kekuasaan dalam negara-negara lain. Tidak ada pembagian kekuasaan (sparating of power), sebagaimana yang diperkenalkan oleh Montesque dalam sistem negara Demokrasi. Meski demikian, kekuasaan dalam sistem pemerintahan Islam tetap di tangan rakyat. Pemimpin yang berkuasa tidak akan bisa berkuasa, jika tidak mendapatkan mandat dari rakyat yang diperoleh melalui bai’at in’iqad yang diberikan kepadanya, namun rakyat bukan majikan penguasa. Sebaliknya, penguasa adalah buruh rakyat.
Sebab, akad antara rakyat dengan penguasa bukanlah akad ijarah, melainkan akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah. Karena itu, selama penguasa tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara’, maka dia tidak boleh diberhentikan. Bahkan, kalaupun melakukan penyimpangan, dan harus diberhentikan, maka yang berhak memberhentikan bukanlah rakyat, tetapi Mahkamah Mazalim. Karena itu, sekalipun rakyat juga mempunyai representasi, baik dalam Majelis Wilayah maupun Majelis Umat, tetapi mereka tetap tidak mempunyai hak untuk memberhentikan penguasa. Selain itu, representasi rakyat ini juga tidak mempunyai hak legislasi, seperti dalam sistem Demokrasi, sebagaimana konsep sparating of power-nya Montesque, yang memberikan mereka kekuasaan legislasi. Karena kekuasaan dalam Islam sepenuhnya di tangan penguasa untuk menerapkan aturan Allah dalam setiap aspek kehidupan, dan dialah satu-satunya yang mempunyai hak legislasi.
Dengan begitu, representasi rakyat ini hanya mempunyai hak dalam check and balance. Kepala negara dalam sistem pemerintahan Islam, juga tidak akan dibatasi masa jabatannya selama lima tahun lalu dipilih kembali seperti dalam sistem demokrasi. Tapi dia bisa menjabat sampai akhir hayat selama menjalankan pemerintahan sesuai syariah. Dan bisa pula dicopot sekalipun baru berjalan dua bulan bila mana tidak memenuhi syarat lagi atau tidak bisa diluruskan lagi penyimpangannya.
Sedangkan dalam sistem sekuler-demokrasi, aturan yang dijalankan adalah buatan manusia dengan masa kepemimpinan secara berkala (5 tahun maksimal 2 periode), dengan adanya pembagian kekuasaan. Mosi tidak percaya, ketidak-stabilan rezim, dan konflik diantara masyarakat pro rezim dan keberadaan kelompok oposisi yang menjadi ciri khas sistem demokrasi saat ini. Perseteruan politik sering mewarnai jalannya pemerintahan apalagi saat menjelang pemilu. Sejatinya, Pemilu dalam sistem pemerintahan Islam lebih sederhana, efektif, dan efisien, baik untuk pemilihan kepala negara maupun wakil rakyat. Dalam praktik politik Islam, tidak akan ada tindakan pemimpin yang sesumbar, menyakiti hati rakyat, dzalim dan tentu saja tidak ada tindakan mengkriminalkan syari’ah Islam. Inilah gambaran sifat pemimpin politik yang menjalankan kepemimpinan politiknya dengan benar, sehingga menumbuhkan kecintaan rakyat kepadanya saat ia telah memberikan seluruh hak-hak rakyatnya. Ia menjalankan kewajiban sebagai pemimpin dengan adil dan tidak berbuat dzalim, melayani semua lapisan rakyat tanpa membedakan status sosial. Cintanya kepada rakyat lahir dari rasa takut dengan hisab atas pertanggungjawabannya dihadapan Allah SWT. Karena bagi calon pemimpin, tugas pemerintahan adalah amanah yang kelak akan ditanyai Allah subhanahu wa ta'ala diyaumul hisab. Pemimpin dalam sistem Islam akan memberikan edukasi politik pada rakyat yang sesuai dengan ketentuan Islam. Ia akan menjadi teladan dalam setiap perbuatannya sehingga rakyat akan mencintai, mendo’akan dan menta’atinya.
Berbeda dengan pemimpin dan elit politik dalam sistem sekuler, jauh dari panduan agama dan mencampakkan tatanan syari’ah. Karena sesungguhnya sikap rakyat adalah cerminan dari perilaku pemimpinnya. Jelas sudah, dalam falsafah sistem demokrasi yang menganut paham sekuler-kapitalis yakni pemisahan agama dalam kehidupan, telah nyata memberikan gambaran politik demokrasi dengan sosok-sosok pemimpin yang sebenarnya. Tujuan mulia dibalik kursi kepimimpinan yang katanya ingin mensejahterakan dan mengutamakan rakyat terkadang harus terkotori oleh egoisme pribadi dan golongan. Saling sikut dan saling fitnah bahkan akan menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Rakyat hanya dijadikan sebagai tumbal kepentingan demi kepuasaan nafsu duniawi. Sejatinya, Harus ada sosok pemimpin yang amanah dalam seluruh aspek kehidupan yang sangat diharapkan mampu membawa perubahan hakiki, karenanya sekedar pergantian sosok pemimpin saja tanpa disertai perubahan sistem maka hanya akan kembali mengulang kegagalan masa lalu, janji-janji kesejahteraan akan sangat sulit direalisasikan. Wallahu’alam bis shawab.[]