Menjaga Nalar Waras Istri di Tengah Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok Pasca Kenaikan BBM



Endah Sulistiowati (Dir. Muslimah Voice)


Tidak dipungkiri kenaikan BBM menjadi masalah baru di saat negeri ini mulai bangkit dari keterpurukannya pasca serangan pandemi Covid 19. Kesejahteraan yang diperjuangkan menjadi mimpi yang sulit untuk digapai. Hingga gelombang penolakan kenaikan BBM sampai saat ini masih terus bergema dari seluruh lapisan masyarakat. 


Alih-alih meninjau kembali keputusan menaikkan harga BBM, pemerintah kembali memberikan kejutan kepada rakyat. Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI memutuskan untuk mengalihkan penggunaan listrik masyarakat dari yang berdaya 450 Volt Amphere (VA) naik ke daya 900 VA. Selain itu, untuk yang masyarakat yang memakai daya listrik 900 VA akan beralih ke listrik 1.200 VA. Disusul kemudian dengan rencana konversi kompor gas menjadi kompor listrik.


Tentu saja hal ini sangat berpengaruh tidak hanya pada perekonomian nasional, tapi juga perekonomian keluarga. Apalagi jika pemasukan tidak mengalami kenaikan, justru pengeluaran yang terus bertambah. Posisi ibu atau istri yang bertugas sebagai bendahara umum atau menteri keuangan keluarga harus mampu bermain cantik, dan memanagerial pengeluaran sebaik mungkin agar tidak besar pasak dari pada tiang. 


Betul, tugas istri bukan semata menjadi menteri keuangan keluarga, tugasnya sebagai umum wa robatul bait menuntut para istri survive di segala kondisi. Inilah yang harus diperhatikan para suami ditengah himpitan ekonomi ini bagaimana agar bisa terus menjaga kewarasan istri. Bagaimanapun kewarasan istri menjadi salah satu kunci kebahagiaan keluarga.


Untuk menjaga kewarasan istri di tengah kenaikan harga-harga kebutuhan, setidaknya ada beberapa poin yang perlu kita bahas, yaitu: 


1) Apa saja yang bisa  diupayakan kepala keluarga dan anggota keluarga untuk membantu meringankan tugas istri/ibu? 


2) Adakah peran negara dalam membantu suami menjaga kewarasan istri?


Mengulik Upaya Suami untuk Menjaga Kewarasan Istri


Imam Al-Ghazali membagi kesenangan manusia menjadi dua tingkatan yaitu, lazaat (kepuasan) dan sa’adah (kebahagiaan). Lazaat (kepuasan) lebih pada aspek indrawi dan sesaar (material) sedangkan sa’adah bertumpu pada aspek batini (rasa dan langgeng).


Rasulullah saw. berpesan, “Kebahagiaan manusia itu ada tiga dan deritanya pun ada tiga. Kebahagiaan manusia, yaitu istri yang salihah, rumah yang bagus, dan kendaraan yang baik. Sedangkan derita manusia yaitu, istri yang jahat, rumah yang buruk, dan kendaraan yang jelek.” (HR Ahmad)


Pertama, istri salihah (al-mar’atush saliha). Ia adalah jalan mendapatkan anak yang saleh dan rumah yang nyaman (keluarga sakinah). Kriteria kesalehan istri adalah menyenangkan jika dipandang, merasa nyaman jika ditinggalkan, menjaga kehormatan, harta, dan patuh jika diperintahkan. (HR Al-Hakim dan An-Nasai)


Kedua, rumah yang bagus (al-maskanush shalih). Rumah menjadi tempat membangun kehidupan keluarga dan pemimpin umat masa depan. Tempat menyusun strategi perjuangan dakwah dan sumber inspirasi meraih kesuksesan. Wajarlah disebut sebagai baitii jannatii (rumahku adalah surgaku). 


Rumah juga sebagai tempat yang terbuka menerima tamu terutama orang-orang lemah (dhuafa dan mustad’afin). Tempat dilantunkan ayat suci Al-Qur’an, mengkaji Islam, dan mengajarkan Islam kepada anak-anak, ditegakkan salat serta untuk taqarrub kepada Allah.


Ketiga, kendaraan yang baik (al-markabush shalih). Kendaraan menjadi alat untuk mencapai tujuan dengan cepat, mudah, aman, dan nyaman. Kendaraan harus bermanfaat dan membangun umat, menolong sesama, dan memudahkan jalan dakwah.


Ketiga pintu kebahagiaan di atas merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Jika salah satu di antaranya tiada, tentu yang lain tidak bermakna. Namun, ketiga hal tersebut bukan menjadi tujuan hidup seorang muslim melainkan hanya sarana untuk meraih kebahagiaan hakiki yakni berjumpa dengan Allah Swt. kelak di surga. 


Yang menjadi catatan disini adalah poin yang pertama, yaitu istri shalihah. Hadirnya istri shalihah akan menjadi kunci kebahagiaan keluarga. Istrilah yang akan mewujudkan baiti jannati. Namun kondisi ini tidak bisa para suami membiarkan istri sendirian menyiapkan semuanya. Ada peran suami yang tidak bisa dihapuskan.


Suami harus paham benar apa yang harus dia lakukan. Apalagi himpitan ekonomi saat ini benar-benar menguras emosi. Menjaga kondisi istri agar tetap stabil, agar anak-anak dan rumah terurus menjadi sebuah keniscayaan bagi para suami. Jangan sampai apa yang dilakukan suami justru menjadi bumerang dalam keluarga. 


Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan para suami agar bisa menjaga kewarasan istri, yaitu: 


1) Memperlakukan istri dengan baik. 


Abu Hurairah ra. pun bertutur bahwa Nabi saw. bersabda,


خِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِلنِّسَائِهِمْ


“Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istri-istri mereka.”  (HR At-Tirmidzi)


Rasulullah saw. sangat baik hubungannya dengan para istri dan anak-anaknya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istrinya, bersikap lembut terhadap mereka dan anak-anak. Sampai-sampai beliau pernah mengajak Aisyah, Ummul Mukminin berlomba untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadap istrinya (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477).


Tidak sekadar itu, Rasulullah dalam hadis lainnya menyebut, “Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya. Orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang paling baik melayani istrinya”. (HR At-Tirmidzi).


Dan sikap lemah lembut ini merupakan rahmat Allah SWT sebagaimana kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia, yang artinya, “Karena disebabkan rahmat Allahlah engkau dapat bersikap lemah lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang yang kaku, keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (TQS. Ali Imran [3]: 159)


2) Memberikan nafkah yang cukup.

Islam telah memberikan tanggung jawab kepada seorang laki-laki untuk menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya, termasuk istri dan anak-anaknya. Allah Swt. berfirman,


…وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ …


“Kewajiban ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara layak. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah : 233)


Banyak pula hadis yang menjelaskan tentang pahala dan pujian yang diberikan oleh Allah kepada laki-laki yang bersungguh-sungguh mencari yang halal untuk menafkahi anggota keluarganya, 


كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ


“Cukuplah dianggap berdosa seseorang yang menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya.”(HR Abu Dawud, Ahmad, An-Nasai, Al-Baihaqi, Al-Hakim dan Ath-Thabrani).


Nabi saw. bersabda, “Sungguh tidaklah kamu menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti), kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), termasuk makanan yang kamu berikan kepada istrimu.”(HR Bukhari)


3. Meringankan tugas istri. 


Dalam kitab Raudhatul Muttaqin, Syekh Hasan al-Basri mengatakan, hakikat ahsanul khuluq adalah betul-betul mencurahkan kebaikannya pada istri dan tidak pernah menyakiti istri baik melalui ucapan, muka, atau dengan gerak-geriknya.


Dalam sabdanya yang lain,


لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ


“Janganlah marah seorang pria mukmin kepada seorang wanita mukmin. Jika tidak menyukai satu perangai darinya, maka sukailah perangai lain-lainnya.”(Muslim dan Ahmad)


Membantu pekerjaan istri di rumah termasuk bentuk berbuat baik dari suami pada istri dan menunjukkan keluhuran akhlak suami. Dari Al-Aswad, ia bertanya pada ‘Aisyah, “Apa yang Nabi saw. lakukan ketika berada di tengah keluarganya?” ‘Aisyah menjawab, “Rasulullah saw. biasa membantu pekerjaan keluarganya di rumah. Jika telah tiba waktu salat, beliau berdiri dan segera menuju salat.” (HR Bukhari)


Dalam Syarh Al-Bukhari karya Ibnu Baththal rahimahullah disebutkan bahwa Al-Muhallab menyatakan, inilah pekerjaan Nabi saw. di rumahnya. Hal ini wujud tanda ketawadukan (kerendahan hati) beliau, juga supaya umatnya bisa mencontohnya. Karenanya, termasuk sunah Nabi, hendaklah seseorang bisa mengurus pekerjaan rumahnya, baik menyangkut perkara dunia dan agamanya.


As-Sindi rahimahullah dalam catatan kaki untuk Shahih Al-Bukhari menyatakan bahwa seorang suami membantu urusan rumah tangga termasuk kebiasaan (sunah) orang-orang saleh.


Itulah tiga poin diantaranya yang bisa dilakukan para suami. Jikalau poin yang kedua belum mampu memberikan nafkah yang cukup, setidaknya ada upaya maksimal untuk memenuhinya. Sedangkan poin tiga, adalah harapan yang setiap istri inginkan. Bertugas selama 24 jam tanpa asisten ditambah tinggal di lingkungan yang serba kapitalis membuat para istri dipaksa multitasking, bahkan tidak jarang para istri harus turut banting tulang mencukupi kebutuhan keluarga. Sehingga para suami harus benar-benar tahu diri untuk membantu meringankan tugas istri di rumah.


Peran Negara dalam Memenuhi Kebutuhan Pokok Kunci Kewarasan Istri


Sesaat setelah BBM dinyatakan naik, pemerintah langsung turun tangan mengucurkan bantuan dengan berbagai nama dan metode. Sekilas pasti kita memandang ini adalah bentuk perhatian pemerintah dengan memberi kompensasi. Di sisi lain masyarakat memandang ini adalah strategi negara untuk m membungkam rakyat agar tidak protes terhadap keputusan sepihaknya menaikkan harga BBM dan rencana-rencana pemerintah lainnya yang semakin mencekik leher rakyatnya.


Pemerintah bersembunyi dalam kedok mengurangi subsidi pada BBM. Subsidi bisa kita artikan adalah bantuan. Pemerintah seharusnya memang bukan membantu atau mensubsidi rakyatnya, karena tugas merekalah yang harus memenuhi kebutuhan rakyatnya. BBM yang diambil dari alam adalah milik rakyat. Tugas pemerintah adalah mengelola sumber energi untuk diberikan kepada rakyat. Pemerintah tidak menjual BBM dan rakyat juga tidak membeli BBM, karena itu adalah hak rakyat yang dikelola negara.


Pengelolaan harta negara dalam Islam terselenggara melalui sistem ekonomi Islam. Sistem ini tidak berlandaskan kemanfaatan sebagaimana kapitalisme, melainkan dengan prinsip pemenuhan kebutuhan individu per individu. Negara jelas sangat lalai dan zalim ketika tidak menggunakan prinsip ini.


Oleh karenanya, negara harus memiliki data yang benar mengenai kondisi ekonomi rakyatnya. Jumlah orang miskin, golongan ekonomi menengah ke bawah dan menengah ke atas, serta orang kaya, adalah data riil, bukan data bodong. Sehingga penyaluran pemenuhan kebutuhan bisa tepat sasaran. Namun, pada saat yang sama, sektor-sektor vital kehidupan rakyat (pendidikan, kesehatan, dsb.) juga ditanggung negara.


Negara Islam (Khilafah) juga berpegang pada prinsip bahwa menipu rakyat adalah tindakan haram. Dalam Khilafah, sumber APBN negara sangat banyak dan beragam. Sebisa mungkin negara justru berupaya memberikan harta kepada rakyat ketika individu rakyat tersebut sama sekali tidak memiliki sanak saudara yang berkewajiban menanggung nafkahnya. Pemberian harta oleh negara bisa berupa harta (uang) maupun tanah untuk dikelola.


Sistem seperti ini tentu akan membantu para suami yang kesulitan menafkahi keluarga, dengan begitu otomatis akan membantu para istri terjaga kewarasannya. Karena para istri sangat terbantu untuk mengatur kebutuhan keluarga. 




*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama