Feminisme Merusak Potensi Pemuda Dan Keluarga

 


Oleh: Fadhilah S


Kapitalis sekuler berambisi menempatkan pemuda di jantung kepentingan global. Mereka berupaya dengan sekuat tenaga tanpa henti untuk membajak potensi pemuda Islam, salah satu upaya pembajakan potensi pemuda saat ini nampak dalam program Youth 20 (Y20). Rangkaian Y20 summit terus digelar hingga puncaknya nanti di Bali November 2022.


Feminisme Merusak Potensi Pemuda


Sebagaimana tertuang dalam empat area prioritas utama dalam Y20 :


Pertama, ketenagakerjaan pemuda.  Area prioritas ini  menawarkan solusi atas pengangguran di kalangan pemuda  yang sudah ada, ditambah dengan kondisi pandemi yang menyempitkan peluang kerja. Untuk itu, para pemuda membutuhkan perlindungan dan dukungan untuk pekerjaan mereka di masa depan, salah satunya dengan mengaktifkan jejaring pengamanan sosial, terutama bagi mereka yang bekerja dalam bentuk pekerjaan sektor informal dan non-standar. Promosi kewirausahaan sosial di kalangan para pemuda  akan memberi kesempatan untuk menentukan masa depan mereka sendiri, berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja, dan mengatasi tantangan masyarakat melalui solusi yang inovatif dan berdampak.


Kedua, transformasi digital. Kaum muda memainkan peran sentral dalam mengatur munculnya solusi digital, bahkan untuk masalah yang paling umum. Namun, partisipasi dalam tata kelola digital terhambat oleh kurangnya ketrampilan digital dan kemampuan mereka untuk mengintegrasikan dan memanfaatkan teknologi digital ke dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang bermakna.


Ketiga, planet yang berkelanjutan dan layak huni. Pemuda, sebagai penghuni planet saat ini dan di masa depan, memiliki peran penting dalam diskusi tentang keadaan planet. Sebab, keadaan planet akan mempengaruhi kesejahteraan kita. Untuk itu, diperlukan transformasi pada ekonomi utama, mulai dari sistem pangan, sistem energi, sistem perkotaan, dan sistem produksi/konsumsi. 


Keempat, keberagaman dan inklusi. Meningkatnya ketidaksetaraan merupakan masalah yang dihadapi oleh para pemuda, seperti gangguan pendidikan, berkurangnya pasar kerja, dan meningkatnya intoleransi. Hal ini membuat pemuda, terutama mereka yang terpinggirkan dan rentan, berisiko tereksploitasi. Untuk itu, masalah keberagaman dan inklusi harus dibahas untuk meningkatan ketahanan pemuda dalam menghadapi bencana di masa depan.


Pada area prioritas keempat, yakni keberagaman dan inklusi, terdapat peluang feminisme membajak potensi pemuda, terutama muslimah muda. Dengan dalih menghilangkan ketidaksetaraan dan mewujudkan sikap inklusif muncullah fenomena kebebasan merusak muslimah dan peradaban bangsa semisal : fenomena waithood, childfree, LGBT, HAM (HAM atas my body dsb). Fenomena-fenomena tersebut hanyalah istilah baru sebagai akibat dari gencarnya ide feminisme.

Demikianlah kapitalis telah membajak potensi pemuda sebagai agen of change diarahkan hanya untuk menjadi bumper sistem ekonomi Kapitalisme. Karakter berfikir kritis pemuda hanya diarahkan untuk berfikir di sektor hilir, yaitu menyelesaikan akibat, tanpa melihat asal penyebab masalah. 


Feminisme Merusak Keluarga 


Dalam buku Mengkritik Feminisme yang ditulis oleh dr. Nasreen Nawaz menyebutkan bahwa dampak Feminisme dan Kesetaraan Gender dalam keluarga adalah sebagai berikut : 


Pertama, Menurunnya Tingkat Pernikahan dan Meningkatnya Hubungan di Luar Nikah


Feminisme menciptakan para perempuan enggan menikah, karena dalam pernikahan terdapat struktur yang menindas dan patriarkal. Dengan pernikahan dianggap lebih menguntungkan laki-laki dari pada perempuan, karena posisi perempuan sebagai istri akan menjadi pelayan dan diperbudak oleh suaminya. Hal ini mengakibatkan banyak perempuan melihat bahwa status sebagai istri dan ibu adalah peran kelas dua, lebih rendah dari pada mengejar karir dan pekerjaan. Feminisme juga menciptakan kecurigaan terhadap laki-laki dan ketakutan bahwa setelah menikah mereka akan diperlakukan tidak adil berkaitan dengan hak-hak mereka. 


Penurunan tingkat pernikahan, sebagaimana terjadi di Mesir  pada tahun (2004 – 2016) tingkat pernikahan telah menurun sebesar 70%, di Palestina pada tahun (2015-2016) tingkat pernikahan menurun 8%, dan tahun (1965-2013) tingkat pernikahan kasar di negara-negara EU-28 menurun mendekati 50% secara relatif. 


Promosi feminisme telah merebak pada akhir-akhir ini dengan mempengaruhi para pemuda yaitu dengan budaya childfree (hidup tanpa anak) dan waithood (menunda menikah). Budaya ini akan mempengaruhi populasi manusia dan merusak generasi suatu bangsa. 


Feminisme juga menciptakan dampak  yaitu meningkatnya hubungan-hubungan di luar nikah. Hal ini dikarenakan ide kebebasan pribadi dan seksual bagi perempuan memantik peningkatan besar dalam hubungan di luar nikah dan peningkatan jumlah anak yang lahir di luar nikah, serta peningkatan aborsi di dalam negara. Angka aborsi di Indonesia menurut BKKBN 2021 sebanyak 20% dan dilakukan oleh remaja.


Kedua, Kebingungan dan Konflik Pernikahan


Ide-ide feminisme, khususnya kesetaraan gender, juga menimbulkan masalah kebingungan dan perselisihan dalam keluarga yang berkaitan dengan tanggung jawab pernikahan dan pengasuhan anak. Terjadi erosi peran dan tugas yang jelas dalam pernikahan bagi laki-laki dan perempuan terkait pemenuhan kebutuhan keluarga, pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Peran dan tugas dalam keluarga sering menyebabkan adanya perselisihan dalam banyak hal. Lebih jauh lagi, dengan bergesernya posisi laki-laki sebagai kepala keluarga atas nama ‘pemerataan gender’ di dalam struktur keluarga, dan tidak ada cara yang terorganisir untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan ini. Sehingga pernikahan menjadi lembaga yang didominasi oleh persaingan antara gender tentang peran dan tugasnya, bukannya menjadi kesatuan yang harmonis yang dibentuk oleh suami dan istri yang memenuhi kewajiban pernikahan dan keluarga yang telah tetap dan saling melengkapi.


Perselisihan dalam pernikahan ini juga meningkatkan kekerasan dalam pernikahan, merusak keharmonisan keluarga, dan menyebabkan peningkatan perceraian. Sebagaimana terjadi di Turki tahun (2006-2026) tingkat perceraian meningkat dengan angka yang sangat mengejutkan sebesar 82%. Di Mesir pada 50 tahun terakhir, tingkat perceraian meningkat dari 4% menjadi 40%. Di Libanon tahun (2000-2013) tingkat perceraian meningkat menjadi 55%. Angka perceraian di Indonesia tahun (2020-2021) meningkat 54% yaitu dari 291.677 kasus meningkat menjadi 447.743 kasus. 


Ketiga, Menekan Perempuan Masuk Dunia Kerja


Narasi ‘kesetaraan gender’ kaum feminis,  menyatakan  bahwa peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan harus sama dan bahwa nilai perempuan dilihat dari pekerjaan dan kemandirian finansial dari laki-laki telah menciptakan masyarakat di mana perempuan tidak lagi memiliki pilihan tetapi diharuskan untuk bekerja karena tekanan sosial atau ekonomi.  


Oleh karena itu, perempuan seringkali dipaksa untuk mengadopsi peran laki-laki sebagai pencari nafkah bagi keluarga mereka, menjadi budak pasar, bahkan jika mereka ingin tinggal di rumah dan merawat anak-anak mereka. Tingkat kerja ibu yang menikah di AS, misalnya, adalah sekitar 65% dan perempuan mencapai hampir setengah (47%) dari angkatan kerja AS (PEW, 2011 statistik). 


Keempat, Hak Anak Terabaikan


Dorongan feminisme untuk memaksa kaum ibu ke tempat kerja atas nama kesetaraan gender melemahkan perempuan untuk memenuhi peran vital mereka sebagai ibu dan mengabaikan kebutuhan anak-anak, yang menyebabkan hak-hak mereka diabaikan. Dengan kedua orang tua sebagai pencari nafkah, hal ini berdampak pada kemampuan banyak orang untuk secara efektif membesarkan anak-anak mereka dengan konsekuensi yang tak terhindarkan.

 

Di Inggris, hampir tiga perempat ibu dengan anak-anak tanggungan (4,9 juta ibu) pergi bekerja. Jumlah ini mencerminkan kenaikan 1 juta selama 2 dekade terakhir (angka-angka dari ONS 2017) dan sebagian besar disebabkan oleh pemerintah Inggris yang berturut-turut -baik Buruh dan Konservatif- secara intensif mendorong perempuan dengan anak-anak usia dini untuk kembali ke pekerjaan pasar. Dua pertiga perempuan dengan anak-anak berusia tiga atau empat tahun berada dalam pekerjaan (ONS). Menurut ONS, hampir 70% ibu tunggal juga bekerja, dan hampir setengah dari ibu tunggal dengan anak berusia di bawah tiga tahun bekerja. Di AS, hampir 70% ibu dengan anak-anak berusia di bawah 6 tahun berada di angkatan kerja (Biro Referensi Populasi). 


Selain itu, di banyak negara, perempuan dipaksa secara finansial untuk bepergian ke luar negeri untuk bekerja, meninggalkan anak-anak mereka. Misalnya, pada tahun 2016, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2016) merilis data yang mengungkapkan bahwa jutaan balita telah ditinggalkan di Indonesia oleh para ibu yang bekerja di luar negeri. Ada 11,2 juta anak Indonesia hari ini yang tidak mendapatkan perawatan orang tua dari ibu mereka karena bekerja di luar negeri.  


Kelima, Kehidupan Kaum Perempuan Semakin Tertekan


Cita-cita kesetaraan gender yang irasional untuk menyamakan dua makhluk yang secara naturalnya berbeda secara fisik, dan yang memaksa perempuan untuk mengadopsi peran laki-laki, telah bertindak sebagai suatu bentuk penindasan atas mereka. Hal ini karena ia mengabaikan, merusak, dan meremehkan sifat perempuan sebagai orang-orang yang mengandung anak-anak di dalam masyarakat dan umumnya sebagai pengasuh utama anak-anak, serta mereka yang memiliki tanggung jawab utama untuk tugas-tugas domestik. 


Ketegangan yang muncul karena harus berjuang di bawah tekanan kerja dengan tanggung jawab rumah dan kehidupan keluarga, telah dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan dalam gangguan kegelisahan dan depresi pada perempuan. 


Dalam sebuah penelitian tahun 2011 terhadap 30 negara Eropa, para peneliti menemukan bahwa depresi di antara perempuan di Eropa telah meningkat dua kali lipat selama 40 tahun terakhir karena ‘beban luar biasa’ karena harus bergulat dengan tugas keluarga dan tuntutan kerja. Tahun 2009, Pusat Informasi Pelayanan Kesehatan Nasional Inggris melaporkan bahwa ada peningkatan yang signifikan pada perempuan yang dirujuk karena stres yang ekstrim akibat tekanan untuk mempertahankan pekerjaan, membesarkan anak-anak, dan merawat orang tua lanjut usia. 


Dan pada tahun 2015, angka yang diterbitkan oleh Eksekutif Kesehatan dan Keselamatan Inggris menunjukkan bahwa perempuan paruh baya di Inggris hampir 70% lebih mungkin untuk menderita stres terkait pekerjaan daripada laki-laki pada usia yang sama. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa kasus stres terkait pekerjaan di antara perempuan berusia akhir 30-an hingga awal 40-an telah meningkat hampir sepertiga dalam 4 tahun. Tingkat stres yang melonjak di antara perempuan yang bekerja juga dikaitkan dengan tekanan harus bergulat dalam karir, anak-anak, dan seringkali merawat orang tua lanjut usia.  


Keenam, Erosi Tanggung Jawab Laki-Laki terhadap Keluarga


Pemerataan peran dan tugas kedua gender ala feminisme, upayanya untuk menghapus laki-laki sebagai kepala dan pelindung keluarga, dan dorongannya untuk memaksa perempuan mengadopsi tanggung jawab tradisional laki-laki sebagai pencari nafkah untuk keluarga, mengikis pemahaman laki-laki tentang peran mereka dalam keluarga. Pandangan masyarakat tentang posisi dan tugas ayah dan suami dalam unit keluarga juga menjadi tidak jelas, membingungkan, dan kabur. 


Lebih jauh lagi, ide beracun feminisme bahwa perempuan tidak benar-benar membutuhkan laki-laki dan bahwa mereka dapat memenuhi semua kebutuhan anak-anak dan keluarga mereka tanpa seorang suami jika perlu, memelihara mentalitas ketidakpedulian di antara banyak laki-laki terhadap tanggung jawab mereka terhadap keluarga mereka. 


Ketujuh, Devaluasi Peran Keibuan 


Feminisme dan kapitalisme bekerja bergandengan tangan untuk secara sistematis mendekonstruksi kaum ibu.  Promosi feminisme tentang gagasan bahwa tugas-tugas domestik perempuan dan membesarkan anak adalah menyia-nyiakan bakat mereka dan bahwa mereka menahan perempuan dari pencapaian potensi nyata mereka di dalam masyarakat dan aspirasi sejati dalam kehidupan, serta klaim bahwa peran keibuan saja tidak dapat menawarkan pemenuhan diri, dan bahwa penghormatan penuh tidak kompatibel dengan tanggung jawab rumah tangga dan pengasuhan anak purna waktu, semua ini mengarah pada devaluasi peran keibuan. 


Sebagai Muslim, alih-alih mereplikasi eksperimen-eksperimen sosial asing yang gagal, kita harus merangkul dan mempromosikan keyakinan, nilai-nilai, hukum-hukum, dan sistem Islam yang memiliki pendekatan yang baik dan teruji waktu untuk mengatur peran, tugas, dan hak laki-laki dan perempuan dengan cara yang paling adil, serta menciptakan struktur keluarga yang harmonis dan kuat. 


Islam adalah agama sempurna. Selayaknya sebagai seorang muslim menjadikan Islam sebagai rujukan untuk memecahkan banyak masalah yang dihadapi perempuan, anak-anak, dan keluarga saat ini. “Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahanam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (TQS. at-Taubah: 109).[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama