Sentuhan Ibu di Balik Kecerdasan dan Kealiman Imam Syafi'i

 


Oleh : Ning Alfiatus Sa'diyah, S.Pd

(Pengasuh Madin Nurul Mas'ud dan TPQ Darul Arqom)


Anak yang salih dan salihah terlahir dari orang tua yang salih dan salihah pula. Dan ibu adalah madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya. Maka jika madrasatul ula (sekolah pertamanya) mendidik ketakwaan dan kesalihan, maka anak-anaknya juga menjadi anak-anak yang salih ataupun salihah. Al-Qur’an telah menjelaskan seorang ibu yang baik dan salihah. Allah Swt. berfirman:


فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ


”Maka wanita yang salihah ialah yang taat kepada Allah lagi menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah menjaga mereka.” (QS. An-Nisa: 34).


Ibu yang salihah pastinya akan menanamkan pada diri anak-anak akidah Islam yang kuat, mengajarkan untuk senantiasa terikat pada hukum Allah dan semata-mata hanya mengharapkan keridhaan Allah Swt. Di antara wanita salihah tersebut, salah satunya adalah ibunda Imam Syafi’i. Sesungguhnya ibunda Imam Syafi’i memiliki kecerdasan dan ketajaman dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Di samping itu, ia juga ahli ibadah. Ketaatannya kepada Allah Swt. tidak diragukan lagi.


Imam Syafi’i adalah salah satu dari empat imam mazab. Beliau dikenal memiliki khazanah keilmuan yang sangat luas. Bahkan ijtihad dan kitab-kitab karya beliau dipakai dan dipelajari oleh kaum muslim di berbagai belahan dunia hingga saat ini. Di balik kesuksesan Imam Syafi’i, ada seorang ibu yang mendidik dan membimbingnya dengan lembut, penuh kasih sayang, dan bervisi Islami. Dialah Fathimah binti Ubaidillah Azdiyah. Beliau berasal dari suku Al-Azd di Yaman. Garis keturunannya bersambung dengan Rasulullah saw. dari jalur Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.


Saat usia 2 tahun, Imam Syafi’i telah menjadi yatim. Saat ayahnya yakni Idris bin Abbas bin Usamah bin Syafi’i wafat, ibunyalah yang menjaga, mendidik, dan membesarkannya. Ibunda Imam Syafi’i selalu menjaga asupan makan dan minum yang masuk ke tubuh putranya haruslah halal dan thoyib. Begitu juga dalam masalah pendidikan. Ibunda Imam Syafi’i sangat memperhatikan dan mengutamakan pendidikan untuk anaknya. Beliau rela pindah dari tempat tinggalnya di Gaza, Palestina ke Makkah. Makkah adalah tempat tinggal ayahnya dulu, sanak kerabat ada di Makkah, sehingga bisa menyambung silaturahim.


Imam Syafi’i pun dikirim ibundanya ke suku Hudzail di kota Makkah untuk belajar bahasa Arab fushah. Imam Syafi’i bukan saja masyhur dalam ketinggian ilmu agama seperti fikih, ushul, hadis, namun juga terkenal lewat bait syair -syair puisinya yang indah. 


Imam Syafi’i telah mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya dengan fasih dan mutqin di usia 7 tahun. Pernah juga pada suatu perjalan dari Makkah ke Madinah, Imam Syafi’i mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya sebanyak 16 kali dan kitab Al-Muwatha’ karya Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan. Pada umurnya yang ke-15, ia telah diangkat menjadi mufti kota Makkah dan telah diizinkan untuk mengeluarkan fatwa. Imam Syafi’i juga berangkat dari Makkah ke Madinah belajar dengan Imam Malik bin Anas, kemudian ke Irak. Di Irak, Imam Syafi’i tinggal cukup lama. Imam Syafi’i menjadi ulama yang terkenal, muridnya banyak, majelis ilmunya tidak pernah sepi.


Demikian sepenggal kisah tentang pengorbanan seorang ibu yang salihah dalam mendidik anaknya menjadi salih. Sang ibu yang selalu berusaha agar apa pun yang berhubungan dengan anaknya haruslah didasari oleh syariat Islam. Oleh karena itu, jika menginginkan anak yang salih dan salihah, maka dimulai dari kedua orang tua yang salih juga. Agar selalu menanamkan, mengajarkan dan memberi contoh untuk taat pada Allah dan Rasulullah. Serta senantiasa senang untuk menuntut ilmu, terlebih ilmu agama. Karena dengan ilmu agama tersebut akan tahu tujuan hidup dan cara menjalani hidup di dunia ini, yang tidak lain adalah untuk ibadah kepada Allah Swt.


Namun, kondisi saat ini menyulitkan para Ibu dalam mendidik anak-anaknya menjadi salih-salihah karena sistem yang menaungi adalah kapitalisme berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), yang mana dalam sistem ini pemerintah hanyalah sebagai wasit dan pembuat aturan semata, dan umat diberi kebebasan tanpa ada batasan agama. Pemerintah juga tidak menjamin kebutuhan pokok rakyat terpenuhi sehingga melahirkan pendidikan yang super mahal, kesehatan mahal, dan lainnya. Sehingga tidak semua orang bisa mengenyam pendidikan dengan layak.


Sungguh hanya sistem Islam yang dapat menjamin para ibu bisa maksimal dalam mendidik anak-anak mereka. Tidak khawatir dengan media sosial yang akan merusak kepribadian anak karena negara akan menfilter semua tayangan di berbagai media agar sesuai hukum syariat. Anak-anak terjamin pula keamanannya ketika mereka bermain dan berekplorasi di luar rumah. Bahkan ketika mereka merantau untuk mencari ilmu, negara juga akan menjamin kebutuhan mereka. Terjaga pula kepribadian anak-anak sehingga para ibu akan selalu tenang dan meyakini bahwa anak-anak mereka adalah aset surga dan penyejuk mata mereka. Sehingga memiliki anak selayaknya Imam Syafii bukanlah impian semata dan bukan pula cerita lain dari sebuah negeri dongeng.[]


Sumber: Suaramubalighah.com

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama