Oleh : Tiara Intan Asmara
(Pegiat Literasi Kota Malang)
Akhir bulan lalu, tepatnya tanggal 25 juli 2022. Dalam acara pelantikan pejabat fungsional kepala sekolah di Pendopo Kabupaten Malang, Bupati Malang, H. M. Sanusi, menyebutkan bahwa berdasarkan data Kejaksaan Negeri Kabupaten Malang, kasus kekerasan seksual di Kabupaten Malang menduduki urutan pertama se-Jawa timur. Begitu pula posisi yang sama ditempati angka perceraiannya.(kompas.com, 25/07/22)
Tentu hal ini menjadi kado pahit, khususnya bagi masyarakat kabupaten Malang. Terlebih kasus ini mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun lalu. Tercatat 40 kasus terjadi dalam rentang Januari-Juli 2022, dimana 35 kasus diantaranya dialami anak-anak di bawah umur. Artinya, perkara kekerasan seksual ini masih bisa bertambah hingga akhir tahun nanti.
Salah satu kasus kekerasan seksual yang terjadi di Gondanglegi, Kabupaten Malang, baru terungkap awal agustus kemarin, pelakunya adalah pelatih beladiri dan sekaligus menjalin hubungan asmara dengan korban. meskipun kejadian ini sudah berlangsung selama 4 tahun. (pikiranrakyat.com,18/08/22)
Tersangka baru dilaporkan oleh pelapor selaku orang tua salah satu korban, dikarenakan ketahuan melakukan pelecehan seksual kepada korban yang lain. Padahal selama ini, pelaku sering menginap dan berhubungan badan di rumah korban. Akibat perbuatannya, pelaku terancam maksimal 15 tahun penjara. (malangtimes.com,19/08/22)
Tidak hanya di Kabupaten Malang, peningkatan kasus kekerasan seksual juga terjadi di beberapa kota di Indonesia termasuk di ibu kota. Tak ayal, kondisi ini menjadikan kasus kekerasan seksual termasuk permasalahan yang serius di Indonesia. Banyak solusi telah disodorkan untuk mengatasi kekerasan seksual selama ini. Salah satu nya, yang disampaikan oleh Kanit UPPA satrekrim Polres Malang, Aiptu Erleha BR. Maha dalam peringatan Hari Anak Nasional 2022, Kabupaten Malang. Erleha menjelaskan butuh adanya peran maksimal dari orang tua, lingkungan dan masyarakat untuk melindungi generasi bangsa ini. Sayangnya, harapan berakhirnya kekerasan seksual di negeri ini tak kunjung penyelesaiannya. Meskipun pemerintah telah merevisi UU perlindungan anak sebanyak dua kali, dan mengesahkan UU TPKS(Tindak Pidana Kekerasan Seksual), tetap saja belum mampu menghadang laju peningkatan angka kekerasan seksual di negeri mayoritas muslim ini.
UU perlindungan anak setali tiga uang dengan UU TPKS. Keduanya lahir dari asas yang sama, yaitu sekulerisme. Sebuah paham yang menjauhkan pandangan agama dalam seluruh aspek kehidupan. Manusia bebas mengatur kehidupannya secara mutlak. Salah satu pasal dalam UU perlindungan anak, yang mencerminkan asas sekulerisme adalah pasal 6, menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Pasal ini mengandung ketentuan yang lebih menekankan pada “kebebasan anak” (termasuk dalam masalah agama), bukan pada kewajiban orang tua untuk membimbing anak-anak mereka. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk membimbing anak-anak mereka dalam hal agama, sebagaimana dirumuskan pada Pasal 26 dalam Undang-Undang ini.
Nafas kebebasanpun nampak dalam UU TPKS. Menurut UU TPKS, jika aktivitas seksual itu dilakukan atas dasar suka sama suka, dan kesepakatan kedua belah pihak, maka perbuatan tersebut dibolehkan, tidak ada sanksi bagi pelakunya. Padahal justru kebebasan inilah yang menjadi pintu tol terjadinya kekerasan seksual.
Sesungguhnya akar masalah dari kekerasan seksual adalah sekulerisme, yang memberikan kebebasan mutlak pada manusia, mengatur kehidupannya tanpa mengindahkan norma agama. Kebebasan inilah yang melahirkan pelaku-pelaku kekerasan seksual, baik orang terdekat korban ataupun tidak. Sekulerisme yang membiarkan aksi pornografi dan pornoaksi semakin merajalela di negeri ini. Tayangan-tayangan tersebut dengan mudahnya diakses oleh siapapun di sosial media. Negara yang seharusnya mampu menjadi filter utama, namun sayang, tidak berjalan semestinya. Selain itu, pergaulan bebas membuat interaksi antara laki-laki dan perempuan tanpa batas. Bahkan menjadikan generasi muda bangsa ini terjebak salah pergaulan, seperti lgbt, hamil di luar nikah, pelacuran, aborsi dan lain sebagainya.
Islam, sebagai agama yang mempunyai ajaran komprehensif, memberikan jaminan keamanan termasuk dari kekerasan seksual. Jaminan keamanan ini tercipta dari serangkaian aturan Islam yang diterapkan secara menyeluruh.Islam mengatur sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan asas akidah Islam. Interaksi dengan lawan jenis, hanya dibolehkan pada sektor yang memang membutuhkan interaksi seperti di lingkungan pendidikan, muamalah (jual beli) dan kesehatan (pengobatan), serta dalam pembuktian (peradilan). Islam sangat menghormati dan memuliakan perempuan. Islam melarang perempuan-perempuan muslimah keluar rumah tanpa menutup aurat dan bertabarruj (berhias secara berlebihan), yang merupakan salah satu sumber rangsangan dari luar, dapat membangkitkan naluri seksual. Selain itu, aksi pornografi dan pornoaksi akan dilarang baik dalam dunia nyata ataupun dunia maya.
Adapun dalam hal pemenuhan kebutuhan seksual, Islam mengatur setiap hubungan seksual laki-laki dan perempuan harus dalam ikatan pernikahan yang sah. Jika dilakukan diluar pernikahan, sanksi tegas diberikan untuk pelaku, jika sedang tidak dalam ikatan pernikahan, maka didera 100 cambukan, dan diasingkan. Jika pelaku sedang dalam ikatan pernikahan, maka diberlakukan rajam (hukuman mati dengan cara yang sudah ditetapkan Allah). Sebagaimana tercantum dalam QS An-Nur ayat 2 “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.”
Sanksi tegas yang diterapkan Islam ini tidak hanya berfungsi sebagai penebus dosa (jawabir) tapi juga memberi efek jera baik (zawajir) bagi pelaku ataupun rakyat yang lain. Penerapan sistem sanksi berdasarkan syariat Islam akan membawa kebaikan dan rasa keamanan dalam masyarakat, dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual.
Selain itu, akidah Islam akan menjaga setiap individu muslim agar selalu berada dalam kebaikan karena meyakini bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Dengan demikian, hanya Islam yang mampu menyelesaikan persoalan ini dengan tuntas. Butuh peran negara dalam menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, sehingga mampu menciptakan jaminan keamanan termasuk aman dari kekerasan seksual bagi seluruh rakyatnya.[]