BBM Naik Lagi, Ciri Pemerintahan Neoliberal?




Oleh : Uswatun Khasanah


Menyusul kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 3 Agustus tahun lalu, pemerintah memberikan sinyal kenaikan harga Pertalite dan solar bersubsidi. Ini aneh, tapi benar. Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi (migas), namun sulit untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite. Ada tanda-tanda kelangkaan Pertalite karena keterbatasan kuota untuk jenis bahan bakar misi khusus (JBKP).


Pertalite merupakan bahan bakar yang masih disubsidi oleh pemerintah. Kini, kuota BBM bersubsidi terbatas untuk masyarakat miskin. Pemerintah memberikan solusi terdistribusi dengan mewajibkan masyarakat untuk mendaftar subsidi yang benar. Ini akan menjauhkan BBM bersubsidi dari orang kaya (yang dianggap) tidak berhak atas subsidi, dan kuota akan memadai dan terdistribusi dengan benar.


Diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani menawarkan tiga alternatif BBM bersubsidi kepada pemerintah di tengah kenaikan harga minyak mentah.Salah satunya dengan meningkatkan anggaran kompensasi dan subsidi energi, yang akan menambah beban APBN. Opsi kedua adalah mengontrol jumlah BBM bersubsidi, yakni Pertalite dan Solar. Kemudian yang ketiga adalah menaikkan harga BBM bersubsidi.


Namun, seusai rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Sri Mulyani menegaskan pemerintah belum memutuskan alternatif yang akan diambil. Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi akan mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.


Hal itu mengacu pada pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. "Nanti mungkin minggu depan Presiden akan mengumumkan mengenai apa bagaimana mengenai kenaikan harga ini (BBM subsidi). Jadi Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian karena kita harga BBM termurah di kawasan ini. Kita jauh lebih murah dari yang lain dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," katanya dalam Kuliah Umum Universitas Hasanuddin, Jumat (19/8/2022). Tribunnews.com, 25 Agustus 2022.


Sudah menjadi rahasia umum, dan setiap kebijakan pemerintah terkait BBM selalu melibatkan berbagai kepentingan. Menambal regulasi BBM menjadi salah satu ciri pemerintahan ala neoliberal (neolib).


Kelangkaan BBM bersubsidi sebenarnya merupakan kuota yang tidak mencukupi, dan tidak ditambah bahkan pada saat masyarakat membutuhkan. Alasan subsidi BBM membebani APBN hanya untuk memenuhi ketidakmampuan negara memenuhi kebutuhan seperti pembayaran utang dan bunga. Inilah sebenarnya penyebab ambruknya APBN.


Pengamat energi Watch Mamit Setiawan memprediksi, jika subsidi Pertalite dinaikkan 5 juta KL hingga akhir 2022, akan ada tambahan kompensasi energi dalam APBN yang bisa mencapai Rp 45 triliun. Ini yang dihindari pemerintah.


Liberalisasi migas semakin banyak dilakukan oleh pemerintahan neoliberal. Investor swasta mendapat untung besar dari minyak dan gas. Di sisi lain, bagi masyarakat awam, mereka harus membayar mahal, bahkan mereka masih kesulitan mendapatkan bahan bakar.


Jika mereka tetap berpegang pada kebijakan neoliberal dalam masalah BBM, masyarakat akan mendapatkan tiga solusi. Salah satunya adalah penyesuaian harga Pertalite dan solar, yang artinya harga akan naik. Kedua, pembatasan penggunaan BBM jenis tertentu (JBT) dan penyaluran BBM jenis khusus (JBKP). Ketiga, membatalkan BBM bersubsidi yang secara signifikan memperburuk kehidupan masyarakat.


Ekonomi politik Islam akan bermuara pada kemandirian negara dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Ekonomi politik Islam adalah jaminan terpenuhinya semua kebutuhan primer setiap orang (sandang, pangan dan papan), serta kebutuhan kedua dan tersier sesuai dengan tingkat kemampuannya sebagai individu yang hidup.


Pasokan energi merupakan salah satu jaminan bahwa negara dapat memenuhi kebutuhan negara dan masyarakat. Negara akan mengadopsi dua kebijakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.


Salah satunya adalah mendistribusikan minyak, gas alam, dan sumber energi lainnya kepada masyarakat umum dengan harga murah. Kedua, menggunakan manajemen energi untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan orang lain, seperti pendidikan, kesehatan, keselamatan, termasuk pangan, sandang, perumahan, dan transportasi.


Pada akhirnya, negara akan menjadi pemerintahan yang memiliki energi mandiri dan tidak lagi mengalami ketergantungan pada negara lain. Wallahu'alam.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama