STATEGI KAPITALIS DI BALIK PEMBERITAAN KEKERASAN SEKSUAL DAN ACT?

 


Oleh : Ina Ariani Pemerhati Kebijakan Publik dan Sosial


Beberapa hari ini berita pelecehan dan penyelewengan dana umat kembali viral di media sosial. Padahal berita semacam ini sih di negeri wakanda adalah hal  yang biasa dan kerap terjadi berulang-ulang. Namun, masalahnya  yang menjadi pertanyaan besar dalam benak dan pikiranku adalah? Kenapa berita yang menyangkut simbol Islam seperti lembaga keagamaan begitu cepat tersebar luas? Tapi, apabila berita itu datang dari pihak mereka seakan-akan berita itu hanya rekayasa publik lambat laun hilang tanpa jejak. Mestinya harus diperlakukan sama tiada perbedaan dalam hal pemberitaan. Negeriku oh Negeriku ada apa dengan mu! Ternyata ada udang dibalik layar.


Jika terjadi pelecehan seksual dan pemerkosaan dan penyalahgunaan dana umat yang dilakukan oleh individu, lembaga pendidikan pesantrennya dan lembaga kemanusiaan tidak perlu izinnya dicabut dan dibekukan, sangat tidak bijak.


Bagaimana dengan kader parpol yang melakukan pelecehan seksual, pemerkosaan dan korupsi apakah partai politik-nya dicabut dan dibekukan? Atau bagaimana jika Presiden-Nya yang melakukan korupsi, apakah negara-Nya akan dibubarkan? Dan bagaimana kalau Menteri yang korupsi, atau selingkuh apakah Kementerian nya dibekukan dan dibubarkan? Negeriku oh Negeriku ada apa dengan mu?


Kasus pelecehan yang dilakukan oleh Moch Subchi Azal Tsani atau Mas Bechi terhadap sejumlah santriwati di pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, bikin geger Tanah Air. Komnas HAM menyebut aparat penegak hukum perlu menerapkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).


“Komnas HAM meminta aparat penegak hukum, khususnya kepolisian sudah seharusnya menerapkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk menindak para terduga pelaku tersebut sesegera mungkin,” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin dalam keterangannya, dikutip dari detik.com, Sabtu (9/7/2022).


Tak dimungkiri kasus pelecehan ataupun kekerasan seksual memang bisa saja terjadi di lembaga manapun baik yang berkaitan dengan agama ataupun tidak. Hal ini pastinya akan menjadi berita viral yang menghebohkan masyarakat. Apalagi jika kasus tersebut berlangsung alot, prosesnya berlarut-larut sehingga memperlihatkan terjadinya ketidakadilan terhadap korban.


Sementara dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menyelidiki dugaan penyelewengan dana donasi yang dilakukan lembaga filantropis Aksi Cepat Tanggap (ACT) setelah media mengungkapkan dugaan penyelewengan tersebut. (Kompas.com, 8/7/2022)


Pemberitaan dugaan penyelewengan dana umat memang telah “sukses” membuat masyarakat tercengang. Bagaimana tidak? Selama ini umat sangat percaya terhadap lembaga tersebut terutama pada saat menyalurkan bantuan sosial ketika terjadi bencana ataupun penggalangan dana untuk kepentingan umat. Terjadinya pemberitaan kasus ini jelas berdampak terhadap kepercayaan umat terhadap lembaga sosial keagamaan lainnya yang bergerak di bidang yang sama.


Kenapa pemberitaan kasus (pelecehan seksual dan penyelewengan dana umat) begitu masif. Apakah karena oknum pelaku berkaitan dengan simbol keislaman?


Dalam Civil Democratic Islam: Partners, Resources, And Strategy,  Cheryl Bernard menjelaskan. PERTAMA, “encouraging journalists to investigate issues of corruption, hypocrisy, and immorality” Media didorong untuk mempublikasikan secara massif tentang kesalahan dan kelemahan para "tokoh atau orang yang mengelola pesantren dan lembaga" seperti korupsinya, kemunafikannya dan tindakan-tindakan tidak bermoral lainnya pelecehan seksual, pemerkosaan dan penyalahgunaan dana. 


Tujuannya adalah memutus mata rantai kepercayaan masyarakat terhadap simbol pendidikan Islam yaitu pesantren dan lembaga kemanusiaan Islam lainnya.


KEDUA, "exposing their relationships with illegal groups and activities.” memunculkan kehadapan publik untuk mengaitkan "tokoh atau pengelola lembaga" dengan kelompok yang dicap teroris, radikal, extremis. Dengan tujuan agar masyarakat menjauhi lembaga tersebut dan menjadi waspada untuk menyumbangkan dananya.


Framing media terhadap suatu kasus memang akan mempengaruhi masyarakat dan menggiring opini sesuai kepentingan media.


Inilah yang seharusnya diwaspadai oleh kaum muslim agar tak mudah menelan informasi yang berasal dari media untuk mereduksi atau melenyapkan pemikiran Islam. Umat harus cerdas membaca dan menelaah informasi dari media terutama yang berkaitan dengan pemberitaan simbol-simbol Islam.


Munculnya beragam framing buruk media terhadap simbol-simbol Islam tak terlepas dari proyek Islamophobia dampak dari sistem sekulerisme yang dianut oleh Barat dan disebarluaskan di negeri-negeri muslim. Keberadaan media dalam sistem kapitalisme sekuler sebagai penyokong dan pengokoh sistem tersebut. Tak heran, kaum sekuler menjadikan media sebagai sarana perang pemikiran terutama terhadap pemikiran Islam dengan memberikan citra buruk terhadap ajaran Islam ataupun simbol-simbol Islam.


Jadi salah satu cara melakukan perlawanan terhadap perang pemikiran yang dilakukan Barat dalam sistem kapitalisme adalah dengan memperkuat pemikiran Islam. Pemikiran Islam akan menancap kuat dalam setiap individu umat melalui thalabul Ilmi, kemudian bergabung dengan jamaah dakwah dan berjuang bersama menyebar luaskan opini-opini Islam di tengah masifnya perang pemikiran yang terjadi di berbagai bidang dan beragam sarana.


Umat harus cerdas bangkit dan berjuang bersama menegakkan sistem Islam, yang dengannya semua permasalahan umat akan terpecahkan. Kasus demi kasus baik itu datang dari individu perorangan, masyarakat maupun pemerintahan. Islam kaffah lah solusinya.


Wallahu A'laam Bishshowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama