BBM BERBASIS ANDROID, APA BISA TEPAT SASARAN?

 


Oleh: Rasyidah, S. Pd (Aktivis Muslimah Kalsel) 


Polemik soal BBM kembali memanas. Kali ini, rakyat dipusingkan dengan rencana metode pembayaran Pertalite yang harus menggunakan aplikasi. Padahal, setelah Premium hilang, Pertalite merupakan tumpuan rakyat kecil agar dapur bisa ngebul dan usaha mereka yang tidak seberapa bisa bergerak. 


Pemerintah dan PT Pertamina (Persero) terus berupaya untuk memastikan subsidi energi terutama bahan bakar minyak (BBM) pertalite dan solar tepat sasaran. Tepat sasaran artinya penikmat subsidi BBM ini memang rakyat yang tidak mampu. Sebab, pada kenyataannya banyak masyarakat kelas menengah bahkan atas ikut mengkonsumsi BBM subsidi Oleh karenanya, Pertamina berencana untuk memperketat penjualan BBM subsidi dengan mewajibkan masyarakat melakukan registrasi di aplikasi MyPertamina sebelum membeli (CNN Indonesia, 29/6/2022). 


Kisruh Pertalite kali ini mengingatkan kita pada awal mula hilangnya Premium. Akankah kali ini pun sama, yakni ada upaya menghilangkan Pertalite? Jika benar, mengapa BBM murah alias BBM bersubsidi seperti tidak boleh ada, padahal itu semua dibutuhkan rakyat? Apa akar masalahnya? Bagaimana agar rakyat tidak lagi kesusahan mendapatkan BBM murah?


Sistem ekonomi kapitalisme menganggap bahwa subsidi merupakan beban APBN yang jika terus diberikan kepada rakyat, APBN akan makin defisit. Selain itu, sistem ini memiliki standar negara ideal, yaitu negara tanpa subsidi. Ketergantungan rakyat pada subsidi dianggap sebagai bentuk ketakmandirian dan menghambat kemajuan suatu negara. Walhasil, pencabutan subsidi sedikit demi sedikit diklaim sebagai upaya menuju negara sehat.


Negara pun menganggap subsidi melahirkan problem baru. Salah satunya, orang kaya masih turut menikmati subsidi sehingga negara menilai subsidi ini salah sasaran. Untuk menjamin subsidi tepat sasaran, negara akan memberlakukan pencocokan data dengan beberapa aplikasi. Namun, bukan tidak mungkin, penyelesaian semacam ini justru menimbulkan masalah lainnya.


Alasan klasik pembatasan pembelian bahan bakar minyak (BBM) Pertalite ini adalah agar subsidi tepat sasaran. Mengingat, harga jual Pertalite saat ini (Rp7.650/liter) masih jauh di bawah nilai keekonomiannya. Dengan kata lain, negara masih menyubsidi Pertalite. Dalihnya, dengan pembatasan pembelian BBM ini, subsidi akan lebih tepat sasaran. Pertamina mengeklaim, 60% subsidi BBM justru dinikmati orang kaya, oleh karenanya harus dibatasi.


Posisi BBM dalam Islam adalah sebagai sumber daya milik rakyat. Islam tidak membenarkan penguasaannya oleh individu, apalagi oleh korporasi besar. Terlebih, nasib rakyat sendiri yang akhirnya tergadai akibat liberalisasi migas menyebabkan rakyat kesulitan mendapatkan BBM murah. Mereka juga masih harus dipersulit dengan adanya pembelian berbasis android yang tidak semua kepala memilikinya, alih-alih mendapatkan subsidi perangkat gawainya.


Islam sama sekali tidak antiteknologi, tetapi Islam juga sangat berkomitmen perihal kemudahan suatu urusan, apalagi yang menyangkut orang banyak. Jika ada yang mudah, mengapa harus dipersusah?


Rasulullah saw. Pernah mengingatkan dalam sabdanya, “Ya Allah, siapa yang mengurusi satu perkara umatku, lalu ia menyulitkan umat, maka persulitlah ia. Dan siapa yang mengurusi perkara umatku, lalu ia memudahkannya, maka permudahlah ia.” (HR Muslim)


Ada pandangan khas Islam terkait persoalan ini. Pertama, Islam tidak membedakan antara orang kaya dan miskin. Selama keduanya adalah warga negara Islam, hak mereka sama. Mereka wajib mendapatkan semua kebutuhannya dengan mudah dan murah. 


Pemimpin dalam Islam berkedudukan sebagai pelayan umat, bukan pengusaha. Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalanya (rakyatnya).” (HR Bukhari).

 Wallahualam bissawab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama