Apa Kediri Tidak Lebih Baik Bangga Menjadi Kota Santri?

 



Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.


Setelah merembet ke sejumlah kota, demam Citayam Fashion Week (CFW) ternyata berimbas juga ke Kediri dengan gelaran MPK (Memorial Park Kediri) Fashion Street. Sabtu (23/07/2022), sejumlah anak muda di Kota Kediri tampak berkumpul dan menghelat fashion show dadakan di Taman Kediri Memorial Park. Mereka memamerkan fashion terkini sesuai gaya masing-masing. (Detik, 24/07/2022).


Inisiator MPK Fashion Street Seto Bayu Aji, mengungkapkan fashion street ini tadinya hendak digelar di Simpang Lima Gumul, Kabupaten Kediri. Namun, karena sebuah alasan, akhirnya fashion street ini dihelat di Taman Memorial Park.


Sejumlah pihak merespons positif acara ini. Bahkan ada yang menyarankan agar fashion street seperti ini perlu kembali digelar dengan konsep yang lebih tertata. Tidak pelak, acara ini pun rencananya akan digelar rutin, yakni tiap Sabtu pukul 15.30 WIB sampai sebelum maghrib. Padahal sejatinya, ini adalah fenomena ironis dan membuat miris. 


Kota Santri


Sebagaimana diketahui, Jawa Timur adalah provinsi yang subur dengan pondok pesantren. Kementerian Agama (Kemenag) mencatat per Januari 2022, terdapat 4.452 pondok pesantren di Jawa Timur.


Mengingat data tersebut, sebenarnya sangat disayangkan jika fenomena latah CFW terjadi di Kediri yang notabene adalah kota santri. Di Kota Kediri sendiri terdapat salah satu pondok pesantren terkenal sekaligus legendaris, dengan santri-santri yang berasal dari seluruh Indonesia bahkan mancanegara. Bayangkan jika acara fashion street ini justru terlaksana rutin, apalagi sampai difasilitasi? Tidakkah Pemda dan masyarakat Kediri lebih baik bangga dengan status Kota Santri? 


Sejenak bergeser ke Jombang, kota di utara Kediri. Sebagai sesama Kota Santri, beberapa waktu lalu Jombang dikoyak isu tindak asusila oleh seorang oknum di salah satu pondok pesantren. Realitas ini juga sangat mencoreng identitas Kota Santri. Terlebih, Jombang adalah kota asal ulama kharismatik, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, Sang Pencetus Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. 


Krisis identitas selaku kota santri pun menimpa Jember, yang belakangan justru lebih populer dengan gelaran Jember Fashion Carnaval (JFC), sebuah even karnaval busana yang setiap tahun digelar di Kabupaten Jember. Padahal, Jember adalah Kabupaten di Jawa Timur dengan jumlah pondok pesantren paling banyak, yakni 611 pondok pesantren.


Lihatlah, apa kita tidak miris ketika kota-kota santri itu harus ternoda dengan acara-acara yang sangat jauh dari ajaran Islam, sementara Islam sendiri selama ini dipelajari oleh para santri? 


Indonesia ‘kan Bukan Negara Islam?


Memang benar, Indonesia bukan negara Islam. Namun Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia. Jumlah penduduk terbesar di negeri ini beragama Islam. Semestinya, identitas Islam inilah yang tampil terdepan bagi negara ini. Demikian halnya dengan syariat Islam, sudah sepantasnya aturan yang berlaku di negeri ini memang syariat Islam yang tentunya dengan pemberlakuan yang kafah (menyeluruh di segala urusan kehidupan). 


Identitas Islam ini jangan kita biarkan dipersekusi oleh isu kearifan lokal maupun intoleransi dan deradikalisasi seolah-olah Islam itu kuno dan terbelakang. Kalaupun yang kekinian, Islam dilekatkan dengan terorisme dan radikalisme. Jelas, semua itu fitnah.


Sungguh, keberadaan pondok-pondok pesantren adalah bukti bahwa negeri ini adalah negeri Muslim. Adanya pondok pesantren juga menunjukkan bahwa Islam dipelajari dan diperjuangkan, meski belum diterapkan sebagai institusi negara.


Namun sungguh tidak pantas identitas Islam tersebut kita abaikan dan kita biarkan terkikis oleh pengaruh pola pikir liberal yang tentu saja datangnya dari luar Islam. Oleh karena itu, hendaklah kita tidak lancang mengatakan bahwa “Indonesia ‘kan Bukan Negara Islam”.


Rasulullah saw telah mengingatkan kita dalam sebuah hadis, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripada Islam.” (HR. Baihaqi)


Berdasarkan hadis tersebut, maka umat Islam layak digelari umat terbaik sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS Ali Imron [03]: 110).


Santri, Pemuda Harapan Negeri


Menilik spirit Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari, jelas santri adalah garda terdepan para pembela Islam. Para santri adalah motor-motor penggerak kebangkitan dan konstruktor peradaban Islam. Di tengah derasnya invasi tsaqofah Barat berikut maraknya persekusi dakwah, para santri menempati posisi krusial sebagai simpul-simpul persatuan dan edukasi umat. 


Santri juga berperan sebagai mata dan telinganya umat, yakni untuk mendengarkan, mengarahkan, serta memberi solusi bagi permasalahan mereka. Sungguh tidak kalah darurat andil santri bersama umat untuk berjuang secara politis mengembalikan Islam sebagai sistem aturan kehidupan. Deideologisasi santri tidak ubahnya penjajahan pemikiran agar santri tidak melek dengan peran politisnya. Tidak pelak, kaum santri semestinya menjadi para pemuda harapan negeri. 


Dengan demikian, sangat disayangkan jika ada santri, alumni pesantren, atau bahkan kiai, yang masih menghalalkan riba, aktivitas hura-hura dengan hiburan dari biduan, menista bendera tauhid, termasuk juga yang bersikap abu-abu tanda ketaktegasan terhadap perbedaan yang hak dan batil.


Oleh karena itu, mengingat peran strategis santri, apakah kita rela membiarkan kota-kota santri tersekularisasi dan tercederai oleh fenomena-fenomena hedonistik yang mengkontaminasi negeri Muslim ini khususnya generasi mudanya? 


Lakukan Sesukamu


Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Baqarah [02] ayat 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.”


Ayat ini sangat tegas memerintahkan pelaksanaan aturan Islam secara kagfah. Ayat ini juga memuat konsekuensi jika pelaksanaan aturan Islam tidak kaffah, yakni tergelincir untuk mengikuti langkah-langkah syetan yang diantaranya adalah aktivitas-aktivitas yang berasal dari luar Islam. Jadi, apakah fashion street alias catwalk jalanan itu bersumber dari Islam? Tentu saja tidak! 


Tidak hanya itu, Rasulullah saw pun mengingatkan dalam sabdanya, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR Bukhari) 


Malu adalah sebagian dari iman. Malu adalah sifat akhlak terpuji yang dituntut oleh Islam untuk dimiliki oleh setiap pemeluknya. Adanya rasa malu akan mendorong kita untuk meninggalkan hal-hal yang buruk menurut Islam.


Fashion street tidak merepresentasikan rasa malu itu. Aktualisasi rasa percaya diri yang kebablasan, bahkan perilaku tidak punya malulah yang justru terfasilitasi di sana. Lantas, bagaimana mungkin kita pantas merestui fenomena permisif semacam itu jika aktivitas di dalamnya sangat jauh dari identitas Islam dan Kota Santri? 


Khatimah


Sungguh urgen urusan penjagaan generasi muda. Terlebih ketika mereka terdidik di kota-kota santri, sebagai tempat bagi mereka untuk menjadi sosok-sosok mutiara umat sehingga di sana tidak layak terdapat fenomena-fenomena yang menyimpang dari ajaran Islam.


Pada titik ini, kita butuh revolusi ideologis dan politis berdasarkan Islam. Mulai dari membentuk individu yang bertakwa, masyarakat yang sadar dan mampu berperan sebagai unsur kontrol sosial (dakwah Islam), serta adanya negara berideologi Islam, Khilafah Islamiah, selaku pengambil kebijakan yang hak menurut hukum syariat Islam. 


Allah Ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an yang menjelaskan di dalamnya tentang halal dan haram, “… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl [16]: 89).


Selain itu, hendaklah kita benar-benar memperhatikan sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-Nya. Barangsiapa yang menghindari perkara syubhat (samar-samar), maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” (HR Bukhari) 


Wallahualam bissawab. []

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama