Setrum Tarif Listrik Membuat Rakyat Makin Tercekik

 


Oleh : Ananda Maulida Rizqi


Setelah kenaikan harga minyak goreng, BBM dan LPG yang hingga saat ini masih berlangsung, nyatanya terdapat kebutuhan lain yang ikut meroket yaitu tarif dasar listrik (TDL). Kenaikan ini bermula dari pernyataan Menteri ESDM Arifin Tasrif yang memberikan pernyataan bahwa tarif listrik akan dinaikkan pada tahun 2022 yang mana akan  menurunkan kompensasi negara sebesar 7-16 Triliun Rupiah (Rapat Kerja Komisi VII DPR Rabu, 13 April 2022). Aroma kenaikan tarif listrik ini sebenarnya sudah tercium sejak tahun 2017. Namun, pada tahun ini sepertinya kebijakan tersebut tidak bisa ditunda lagi karena dampak kenaikan harga minyak dunia. Jika TDL tidak dinaikkan, maka pemerintah harus bersiap untuk menanggung kompensasi hingga 25 Triliun Rupiah per tahun.


Menanggapi hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan bahwa untuk menurunkan kompensasi sebesar 7-16 Triliun Rupiah seharusnya negara tidak perlu menaikkan tarif listrik. Menurut Bhima, dana dari hasil penjualan batu bara dan sawit sudah cukup untuk menambal kekurangan itu. Selain itu, terdapat proyek strategis nasional yang bisa menahan kenaikan tarif listrik sepanjang tahun. Ekonom Indef Abra Talattov juga menyampaikan bahwa upaya menaikkan tarif listrik dan pertalite mungkin dapat meringankan APBN, namun disisi lain beban rakyat akan semakin bertambah. Selain itu, Direktur Forum Kajian Kebijakan Energi Indonesia (FORKEI) Agus Kiswantoro juga ikut mengkritisi kenaikan tarif listrik ini. Beliau menyampaikan bahwa sumber daya alam di Indonesia seperti material batu bara, gas, minyak dan lainnya seharusnya dapat dimanfaatkan untuk dikonversi ke energi listrik. Belum lagi, Indonesia yang terkenal berada pada garis khatulistiwa, seharusnya bisa memanfaatkan sinar matahari menjadi energi listrik. Negara seharusnya segera merubah orientasi regulasi listrik dari yang berbasis bisnis atau swastanisasi menjadi pelayanan yang terbaik untuk rakyat. Jika hal ini tidak dilakukan maka akan menimbulkan masalah yang besar.


Kenaikan tarif listrik akan berdampak pada perekonomian masyarakat dari seluruh lapisan. Pertama, kenaikan listrik dapat memungkinkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat. Jika daya beli masyarakat turun, maka anggaran untuk memulihkan ekonomi akan jauh lebih tinggi dibandingkan target penurunan kompensasi pemerintah. Kedua, kenaikan tarif listrik akan berdampak kepada kenaikan harga barang. Jika tarif listrik dinaikkan maka akan memungkinkan pelaku usaha menaikkan harga jual barangnya. Jika harga jual barang naik, maka daya beli masyarakat juga turun. Hal ini akan membuat roda perekonomian di Indonesia semakin “seret” untuk dijalankan.


Melalui hal tersebut, dapat diketahui bahwa solusi yang ditawarkan oleh penguasa justru akan menambah masalah. Inilah potret tata kelola negara ala sistem kapitalisme, semua berorientasi pada profit semata. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan pengelolaan listrik di Indonesia sebagian besar dikuasai oleh pihak swasta dan asing. Sehingga masalah utama dalam persoalan ini adalah konsep kepemilikan. Selama keberadaan swasta masih subur di Indonesia untuk mencari profit sebesar-besarnya, seberapa pun besar kekayaan di Indonesia akan sia-sia begitu saja. Apalagi motifnya tidak berawal untuk melayani rakyat, maka akan menambah benang kusut permasalahan di negara ini.


Permasalahan ini wajar terjadi, karena dalam sistem ekonomi kapitalisme tidak terdapat konsep kepemilikan sehingga segala sesuatu bernilai sebagai komoditas yang dapat secara bebas dapat dimiliki oleh siapapun. Hal ini berbeda dengan sistem Islam yang memiliki konsep kepemilikan. Dalam Islam kepemilikan terbagi menjadi 3 bagian yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Adapun untuk listrik dalam masalah ini termasuk dalam kepemilikan umum yang mana tidak boleh menjadi kepemilikan individu. Pengelolaan listrik yang menjadi kepemilikan umum seharusnya dilakukan oleh negara. Dan jika negara mendapatkan keuntungan maka keuntungan tersebut akan dikembalikan pada rakyat dalam bentuk pelayanan berupa pendidikan, kesehatan dan lain-lainnya. 


Apabila pengelolaan membutuhkan biaya yang besar, maka subsidi yang diberikan kepada rakyat akan diambil dari pos pemasukan negara. Hal ini dilakukan sebagai wujud kepengurusan penguasa pada rakyat dan bukan dipandang sebagai suatu hal yang menyebabkan inefesiensi seperti pada sistem kapitalisme. Selain itu, negara harus memiliki kemandirian dalam menetapkan kebijakannya. Seperti tidak menyerahkan pengelolaan listrik kepada pihak swasta/asing. Negara mempunyai kewajiban untuk mengelola SDA secara mandiri dan mengembalikan hasilnya pada rakyat. Negara hanya bekerja sama dengan pihak swasta dalam hal eksploitasi dengan izin kerja, bukan untuk membuka perizinan usaha pertambangan ataupun bagi hasil. Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem pemerintahan yang dapat membebaskan negara dari jeratan asing. Bukan sistem kapitalisme yang lebih mementingkan para kapitalis pemilik modal. Tetapi, Sistem Islam yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasulnya yang mana akan memberikan kemudahan untuk rakyat. Sistem yang akan memudahkan negara untuk menjalankan fungsinya sebagai raa’in (pengurus dan pelayan) bagi rakyatnya.[]


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama