2024, Masih Layakkah Demokrasi diharapkan?

 



Oleh: Ghaziyah Zaahirah (Anggota Komunitas Muslimah Cinta Rosul)


Masih kurang lebih 2 Tahun lagi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) presiden Tahun 2024, namun hiruk pikuknya sudah terasa saat ini. Sudah tampak kesibukan dari para pejabat dan politisi yang bersiap untuk memenangkan pemilihan. Tidak hanya itu, sejumlah kampanye terselubung pun mulai tampak di tengah-tengah masyarakat. Bahkan sudah mulai terdengar nama-nama dari calon yang akan diusung.


Sebut saja Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) misalnya, dilansir dari nasional.kompas.com, PKS sudah memiliki tim untuk mempersiapkan sejumlah tahapan guna menentukan capres yang akan diusung. Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al-Habsyi mengatakan bahwa PKS masih terbuka kepada siapa saja tokoh calon presiden (capres) untuk didukung Pilpres 2024. 


Selain itu, Sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah anggota PDIP di seluruh Indonesia menggelar rapat koordinasi di Kantor Sekolah Partai, Lenteng agung, Jakarta Selatan, Kamis (16/6/2022). Dalam acara tersebut, di hadapan kepala daerah dan wakil kepala daerah Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto meyakini partainya akan menang lagi dalam Pemilu 2024. (tribunnews.com).


Pergantian pemimpin dalam sistem demokrasi memang hal biasa. Disebut sebagai pesta demokrasi, pemilu dijadikan sebagai ajang kontestasi untuk menggapai kekuasaan. Maka tidak heran jika orang berlomba-lomba untuk meraih kekuasaan tersebut, baik untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Mereka rela mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga demi menggapainya. 


Tidak heran juga apabila calon yang diusung ataupun yang mengusungkan diri tersebut belum tentu memiliki  kapabilitas dan komitmen yang benar. Buktinya, sudah banyak pemimpin ataupun pejabat yang dilahirkan dari pemilu tapi pada akhirnya hanya memikirkan kepentingannya dan mengabaikan rakyat. Semasa kampanye semua janji manis dikeluarkan, tapi begitu menjabat, habis manis sepah dibuang. 


Dalam sistem Kapitalisme-Sekuler demokrasi, asas manfaat menjadi hal yang sangat diutamakan, bahkan tujuan. Selagi bisa menghasilkan manfaat sebanyak-banyaknya apapun akan dilakukan. 


Tentu, sangat berbeda sekali dengan sistem Islam. Islam sebagai sebuah sistem yang mengatur kehidupan, memiliki prinsip yang berbeda sama sekali. Islam memandang menjadi pemimpin itu adalah sebuah Amanah, yang mana akan dipertanggungjawabkan tidak hanya di dunia tapi di akhirat. Allah Swt. berfirman,


إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْل

“Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil.” (QS An-Nisa’ [4]: 58)


Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Pada dasarnya, amanah adalah taklif (syariat Islam) yang harus dijalankan dengan sepenuh hati, dengan cara melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jika ia melaksanakan taklif tersebut, ia akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Sebaliknya, jika ia melanggar taklif tersebut, ia akan memperoleh siksa.” (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, III/522).


Sangat perlu dipahami bahwa menjadi pemimpin bukanlah hal yang sepele, apalagi hanya digunakan untuk menggapai kepentingan pribadi dan golongan saja. 


Sejak Rasulullah saw. diutus, tidak ada sistem yang mampu melahirkan para penguasa yang amanah, agung, dan luhur, kecuali dalam sistem Islam. Kita mengenal Khulafaur Rasyidin yang terkenal dalam hal keadilan dan sikap amanah mereka. Mereka juga termasyhur sebagai pemimpin yang memiliki budi pekerti yang agung dan luhur serta lembut terhadap rakyat mereka.


Jadi sudah seharusnya kita menjadikan Islam sebagai sistem yang mengatur kehidupan, yang dengannya akan lahir pemimpin yang Amanah, yang tujuan hidupnya tidak lagi kepentingan dan manfaat semata, melainkan ridho Allah swt. Wallahualam.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama