UU TPKS Lahir, Kekerasan Seksual Berakhir?

 


Oleh Ariefdhianty Vibie (Muslimah Cinta Islam)


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang melalui rapat paripurna, Selasa (12/04), setelah enam tahun terus dibahas dan jadi polemik di Senayan. Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Aditya, menjelaskan, bahwa UU TPKS ini berpihak pada korban.Melalui undang-undang ini pula– aparat penegak hukum akhirnya memiliki payung hukum atau legal standing yang selama ini belum ada– untuk menangani setiap jenis kasus kekerasan seksual.


UU TPKS memasukkan sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; kekerasan seksual berbasis elektronik; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; dan perbudakan seksual (bbc.com, 12/04).


Dengan lahirnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, banyak pihak berharap, bahwa kejahatan dan kekerasan seksual yang setiap waktu mencederai perempuan akan berakhir. Akan tetapi, bisakah terwujud keadilan bagi seluruh rakyat?


Awalnya, RUU TPKS yang bermula dengan sebutan RUU PKS atau Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi polemik berkepanjangan. Pasal-pasal bermuatan liberal dan multitafsir berpotensi melegalkan zina dan seks bebas yang berpayung hukum. Akan tetapi tampaknya, UU TPKS juga masih memiliki aroma liberalisme yang kental, sekalipun beberapa poin pada RUU PKS sempat dihilangkan.


Pertama, pada pasal 4 ayat (1) menyebutkan ada 9 (sembilan) TPKS, yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, penyiksaan seksual, pelecehan seksual berbasis elektronik, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan kontrasepsi, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual. Secara substansial, sembilan frasa yang tergolong TPKS ini cenderung multitafsir dan mudah dikondisikan sesuai keinginan personal.


Salah satu buktinya yaitu konsep persetujuan seksual (sexual consent) yang sudah ada sejak pertama kali (2014) Komnas Perempuan menginisiasi regulasi tersebut yang awalnya diberi nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Aktivitas seksual baru akan termasuk kategori kekerasan seksual, jika di dalamnya terdapat kekerasan seksual. Dengan adanya sexual consent, jika ada aktivitas seksual yang didasari atas suka sama suka, maka hukum dan negara tidak akan menyinggung. Tidak ada konsekuensi yang berarti untuk zina. Tentu, ini akan semakin menyuburkan perbuatan zina dan seks bebas di tengah masyarakat.


Ada yang luput dari UU ini sebenarnya. UU ini mengatur masalah kekerasan seksual, tetapi tidak soal penyimpangan dan kejahatan seksual. Tidak ada aturan tentang penyimpangan seksual semacam L68T, padahal perilaku ini sudah sangat meresahkan masyarakat dan kasusnya makin banyak.  Jadi, tindakan seksual dengan dasar suka sama suka, baik itu perzinaan, perselingkuhan, L68T, dan sebagainya ada kekerasan di dalamnya, akan terus berkembang. 


Kedua, segala bentuk dokumen pribadi yang berbau seksual jika disebarkan kepada publik dengan ancaman, maka akan dipidana. Dengan kalimat ini, orang memiliki anggapan, apakah dengan menyebarkan dokumen ini tanpa ada ancaman berarti dibolehkan? Pernyataan ini sangat kontroversi dan multitafsir, bisa saja dikembalikan kepada kepentingan. 


Ketiga,  pada pasal 6 menyebutkan bahwa setiap orang yang memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, bisa dipidana atau didenda. Lalu, apakah jika hal ini dilakukan tanpa ancaman dan kekerasan berarti dibolehkan? Lalu bagaimana halnya jika alat kontrasepsi ini dipakai oleh pasangan di luar pernikahan sah? Dalam UU ini, tentu saja tidak dibahas. Jelas, UU ini sarat dengan aroma liberalisasi yang akan membuat seks bebas semakin marak. Tentu ini bertentangan dengan Pancasila, yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya aturan agama tidak digunakan lagi dalam pergaulan.


Kekerasan seksual, entah itu dalam bentuk kejahatan atau penyimpangan seksual, akan selalu ada, selama landasan hukum yang dipakai untuk membuat undang-undang adalah sekularisme, yaitu pemisahan agama dalam kehidupan. UU ini tidak bernapaskan Pancasila sila pertama. Tidak ada sedikitpun landasan agama yang diambil ketika UU TPKS ini lahir. Oleh karena itu, tidak heran jika setiap pasal memuat aroma liberalisasi, kebebasan individu, dan pelegalan aktivitas zina yang didasarkan oleh sexual consent. Artinya, kekerasan seksual – walaupun UU TPKS ini telah lahir — tidak akan serta merta menghapusnya, karena aktivitas seksual dalam ranah pernikahan yang sah atau tidak, akan selalu difasilitasi. Ini juga didukung dengan budaya hedonisme, permisivisme, serta liberalisme yang membuat orang-orang semakin betah melakukan kemaksiatan nyata. 


Belum lagi dengan pornografi, pornoaksi, dan sejenisnya yang melanggengkan masyarakat untuk kerap kali melakukan pergaulan bebas ala Barat yang melanggar norma. Masyarakat juga enggan ikut campur dengan masalah yang ada di sekitarnya, sehingga menjadi hilang kontrol masyarakat yang seharusnya memiliki peran penting dalam meredam kekerasan seksual yang nyata.


Berbeda dengan Islam, yang sudah memiliki aturan baku, tegas, dan komprehensif, berkaitan dengan kekerasan seksual dalam bentuk apa pun, atau yang sejenisnya. Islam memiliki aturan yang menjaga manusia dari penyimpangan ataupun bentuk kekerasan. Karena, Islam memiliki sistem pergaulan yang lengkap. Misalnya, adanya aturan untuk menutup aurat dan menundukkan pandangan. Sejak kecil, anak perempuan dan laki-laki memiliki tempat tidur terpisah, juga larangan untuk saling melihat aurat. Kemudian, larangan bercampur-baur (ikhtilat) dalam aktivitas umum. Tidak boleh berdua-duaan (khalwat) bagi yang bukan mahram. Adanya perintah menikah untuk yang mampu dan siap. Jika belum, maka lebih baik berpuasa untuk terhindar dari nafsu.


Sistem pergaulan di atas juga didukung penuh dengan tiga komponen utama dalam masyarakat. Yang pertama adalah ketakwaan individu. Dengan ketakwaan individu, manusia memiliki benteng utama untuk dirinya sendiri dari segala bahaya yang mengancam. Ia sadar untuk menaati perintah Allah, dan menjaga dirinya sendiri. 


Kedua, adanya kontrol masyarakat, yaitu dengan amar ma’ruf nahi munkar – mengajak kepada kebaikan dan melarang pada yang buruk. Adanya aktivitas dakwah yang menyeluruh, anggota masyarakat akan senantiasa diingatkan untuk berhukum dan takut kepada Allah. Dengan itu, mereka saling menasihati dalam kebaikan, dan menjaga diri dari maksiat. Ketiga, adanya peran negara.  


Ketiga, negara punya porsi yang sengat besar untuk menangkal warga negaranya dari segala kerusakan. Misalnya, melarang atau memblokir segala bentuk pornografi. Mendukung para pemuda menyiapkan pernikahan dengan lapangan pekerjaan yang memadai. Menghukum para pelaku tindak kekerasan seksual dengan hukum Islam yang tegas – yang bersifat mencegah dan memiliki efek jera. Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu rajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan jilid (cambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).


Semuanya itu didukung penuh dengan penerapan syariat Islam dalam semua lini kehidupan. Dengan begitulah, segala bentuk kekerasan dan kejahatan seksual bisa terhapus. Wallahu’alam bisshawab.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama