Wajah Keadilan Publik Di Balik Kesewenangan Demokrasi

 


Oleh Triani Agustina


"Buruh tani, mahasiswa, rakyat miskin kota...

Bersatu padu rebut demokrasi...

Gegap gempita dalam satu suara...

Demi tugas suci yang mulia..."

Buruh Tani, 1996


Dimanakah Demokrasi Berada


Rasa keadilan publik kembali terusik, hal ini disebabkam karena adanya kasus besar penghilangan nyawa sejumlah muslim mendapat penanganan yang dinilai mengecewakan. Menurut CNNIndonesia.com bahwa jum'at (18/3) lalu, Terdakwa pembunuhan anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan divonis bebas. 


Briptu Fikri dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian akan tetapi beralasan dalam rangka pembelaan. Hakim kemudian memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melepaskan terdakwa dan memulihkan hak-hak terdakwa. Putusan ini dinilai lebih ringan daripada tuntutan dari jaksa penuntut umum yang ingin keduanya dihukum dengan pidana enam tahun penjara, sesuai dengan dakwaan primer yakni Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan secara sengaja juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Kronologi kejadian bermula ketika anggota Laskar FPI terlibat aksi kejar-kejaran dan baku tembak dengan anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya. Peristiwa itu terjadi di depan Hotel Novotel, Jalan Interchange, Karawang, Jawa Barat hingga kawasan KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020 lalu. Jaksa menyebutkan bahwa anggota Laskar FPI ditembak dari jarak dekat oleh tiga anggota Polda Metro Jaya yakni Ipda Elwira Priadi Z (almarhum), Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Mohammad Yusmin Ohorella. 


Dilaporkan sebanyak dua anggota FPI tewas dalam peristiwa baku tembak tersebut. Sementara, empat orang lainnya meninggal saat hendak dibawa ke Polda Metro Jaya dalam keadaan hidup. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan pembunuhan empat Laskar FPI ini sebagai "unlawful killing". Sementara, dua korban lainnya tewas dalam tindakan penegakan hukum.


Senderhananya demokrasi merupakan dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat, sehingga dapat kita ketahui bahwa konsep dasar demokrasi adalah menjunjung tinggi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia namun yang terjadi sungguh mengenaskan. Diamanakah wajah keadilan dalam demokrasi berada?  Keadilan dalam demokrasi tidak lain hanya sebagai pemanis semata, lalu dimanakah keadilan untuk rakyat jelata? Karena sesungguhnya rakyat bertahtalah atau status lebih tinggi yang memiliki kehormatan berupa keadilan.


Sungguh, berbeda sekali kala Islam memimpin dunia. Terdapat kisah Amr bin ‘Ash ra. yakni gubernur Mesir telah berani menggunakan status sosialnya, menutuskan untuk menggusur tanah dan rumah seorang Yahudi Tua. Karena tidak rela dengan perlakuan semena-mena Amr bin ‘Ash ra., beliau mencari keadilan kepada Khalifah Umar bin Khattab ra. dan berharap dapat bertemu untuk mengadukan permasalahnya. Sejurus kemudian, ia pun bertemu dengan sang Khalifah. Laporan warga yang teraniaya oleh perilaku bawahannya tersebut membuat Khalifah Umar bin Khattab ra. naik pitam.


Setelah beberapa saat, Umar ra. meminta untuk diambilkan tulang belikat onta dari tempat sampah. Kemudian Umar ra. menggores tulang onta itu garis tegak lurus dari atas ke bawah seperti huruf alif. Lalu ditengah goresan itu dibubuhi goresan melintang menggunakan ujung pedang. Tulang tersebut kemudian dibawa oleh Yahudi tua kehadapan Amr bin Ash ra. Setelah menerima tulang tersebut, tubuh Amr bin ‘Ash menggigil dan wajahnya pucat. Saat itu juga Amr bin ‘Ash mengumpulkan rakyatnya dan memerintahkan untuk membongkar Masjid yang sedang dibangun. Dan meminta kembali kepada rakyatnya untuk membangun kembali gubuk seorang Yahudi tua. Yahudi itu bingung dengan perilaku gubernur dan berfikir, “Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah aku hanya membawa tulang yang berisi garis. Tapi kenapa dari benda tak berharga itu tuan gubernur menjadi ketakutan?” gumamnya dalam hati. Kemudian menemui Amr bin ‘Ash ra dan berkata, “Wahai Gubernur, jangan bongkar dulu Masjid megah ini” tuturnya.


“Ketahuilah wahai nenek, tulang itu memang tampak biasa. Tetapi karena yang mengirim adalah Khalifah Umar bin Khattab, tulang itu menjadi peringatan keras kepadaku. Tulang itu memilki isarat ancaman Khalifah. Ia berarti apapun pangkat dan kekuasaanmu suatu saat kamu juga akan bernasib sama seperti tulang ini,” jelas Umar. Sejenak kemudian Umar melanjutkan, “Karena itu berbuat adillah kamu seperti huruf alif yang  tegak lurus.  Adil kepada siapa saja, baik kepada masyarakat bawah ataupun atas. Sebab kalau kau tidak bertindak adil seperti goresan tulang itu, maka batang leherku akan ditebas.” Nenek itu tertegun dan menunduk terharu mendengar penjelasan Amr bin ‘Ash. Ia terkesan dengan keadilan dalam Islam yang telah diterapkan sang Khalifah.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama