PPN Naik, Negara Jadi Pemalak?

 


Oleh: Azrina Fauziah 

(Pegiat Literasi Komunitas Pena Langit) 


Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menaikan tarif PPN yang semula 10% menjadi 11% pada 1 April 2022. Dikutip dari antaranews.com, kebijakan tersebut tertuang di amanat pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). 


Kemenkeu menyatakan bahwa kebijakan kenaikan PPN 1% ini bertujuan untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi. Kebijakan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi perpajakan dan konsolidasi fiskal sebagian fondasi sistem perpajakan yang lebih adil, optimal, dan berkelanjutan. Diharapkan dari aturan ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan percepatan pemulihan ekonomi (suara.com). 


Kebijakan ini pun kemudian mendapatkan banyak kritik, salah satunya dari ekonom senior Faisal Basri, Faisal menolak kebijakan tersebut karna dinilai tidak terdapat unsur keadilan. Menurutnya kebijakan tersebut tidak adil, saat pemerintah menaikan PPN 11 persen kepada rakyat justru pajak penghasilan (PPh) badan diturunkan dari 25% mnejadi 22% bahkan sebelumnya sempat direncanakan akan turun menjadi 20% meski akhirnya dibatalkan. Selain karna tidak adil Faisal Basri mengungkapkan alasan selanjutnya adalah karna  menggunakan perbandingan pajak dengan negara tetangga maupun negara G20. Memang benar jika pendapatan masyarakat negara maju G20 seperti Amerika Serikat cukup tinggi sehingga pajak pun juga dapat dinaikkan namun hal ini jauh berbeda dengan Indonesia pendapatan masyarakatnya masih sangat rendah bahkan dibanding dengan Malaysia (cnbcindonesia.com). 


Beginilah jika negara menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Instrumen pajak dan hutang untuk memenuhi pendapatan negara sudah jadi hal biasa. Sekalipun kondisi rakyat mereka dalam kondisi terpuruk, negara yang berwatak kapitalistik tidak akan mempertimbangkannya apapun kondisi mereka. Bahkan semua bidang bisa jadi akan ditarik pajak demi memenuhi hasrat keuntungan. 


Negara berwatak kapitalisme tidak lagi bertugas untuk melayani hajat hidup orang banyak. Negara bermodel kapitalistik ini mematikan perannya sebagai pelayan umat alhasil negara hanya  menjadi regulator semata. 

 

Kalau pun negara kapitalisme memiliki sumber daya alam (SDA), negara kapitalisme justru akan menyerahkan sumber pendapatan SDA kepada asing. Padahal bila negara secara mandiri mengelola SDA tentu saja persoalan defisit anggaran negara akan terselesaikan tanpa mengandalkan instrumen pajak maupun hutang. 


Dalam sistem ekonomi Islam, pajak dan hutang bukanlah sumber pendapatan negara. Negara Islam memiliki banyak sumber pendapatan negara antara lain yaitu harta fai, jizyah, kharaj, usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz, tambang, harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan harta orang murtad. Inilah sumber pendapatan tetap negara. 


Sedangkan pajak dalam Islam bersifat insidental, jika pendapatan negara di baitul mal telah kosong maka negara baru bisa menarik pajak pada rakyat itupun diperuntukkan kepada kalangan orang kaya yang memiliki harta lebih sedangkan rakyat yang kekurangan tidak akan dikenai pajak. Pajak yang ditarik oleh negara juga tidak diperbolehkan diambil secara terus-menerus. Ketika kebutuhan negara telah terpenuhi maka penarikan pajak dihentikan. Inilah mekanisme sumber pendapatan negara yang tidak akan membebani rakyat. waallahu ‘alam.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama