Pemuda: Penggerak Perubahan Revolusioner



_Citra Salsabila_

(Pegiat Literasi)


Indonesia diambang kehancuran. Para pemudanya sudah jenuh dengan kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada rakyat kecil. Keterpihakannya hanya untuk segelintir orang, yaitu pengusaha. Rakyat dibuat tak berdaya dengan aturan yang sudah ditetapkan. Hanya bisa pasrah dan ikhlas dalam menjalaninya. 


Berbeda dengan mahasiswa. Semangatnya yang masih menggelora menjadikan mereka ingin menyuarakan aspirasinya. Caranya dengan berunjuk rasa. Ya, mahasiswa yang notabene-nya agen perubahan, tentu sangat peka terhadap permasalahan rakyat. Terutama yang berkaitan dengan suasana perpolitikan di Indonesia. 


Rencananya, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) akan mengadakan unjuk rasa pada hari Senin, 11 April 2022 di Monas, Jakarta Pusat. Menurut Koordinator Media BEM SI, Luthfi Yufrizal, mengatakan bahwa aksi nanti merupakan lanjutan dari yang aksi sebelumnya pada tanggal 28 Maret 2022. Dimana aksi sebelumnya, mahasiswa mengultimatum  Presiden Jokowi melalui Kantor Staf Presiden (KSP) untuk mengambil sikap atas poin-poin tuntutannya. (Tribunjabar.co.id, 09/04/2022).


Adapun enam poin tuntutannya. Pertama, menolak penundaan pemilihan umum, karena berpotensi koalisi antar partai yang tidak sehat. Kedua, menolak masa jabatan tiga periode bagi presiden, karena akan mengkhianati konstitusi. Ketiga, mendesak untuk mengkaji ulang UU IKN, karena berpotensi merusak lingkungan sekitarnya. Keempat, mendesak untuk mengusut tuntas mafia minyak goreng yang menyebabkan harga tinggi dan kelangkaan pada minyak goreng curah. Kelima, meminta untuk menyelesaikan dengan tuntas konflik agraria di Indonesia. Keenam, mendesak Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin untuk menuntaskan janji-janji kampanye di sisa masa jabatannya. 


Tentu aksi ini mendapat respon yang beragam dari pihak pemerintah. Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Jenderal TN (purn) Wiranto menilai sebaiknya dikomunikasikan dengan baik di dalam ruangan daripada panas-panasan di luar. Tetapi bukan berarti melarang unjuk rasa. (Suara.com, 08/04/2022).


Hal lain yang perlu diperhatikan mahasiswa yang berunjuk rasa adalah ketertiban. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang mengatakan bahwa unjuk rasa adalah bagian dari demokrasi. Untuk itu pemerintah mengimbau pelaksanaan unjuk rasa dilakukan dengan tertib, tidak anarkis, dan tidak melanggar hukum. (Detiknews.com, 09/04/2022). 


Lantas, akankah ada perubahan setelah mahasiswa unjuk rasa? Atau akan tetap saja kondisinya? Semua tergantung penguasa dan ajakan arah perubahan mahasiswa tersebut. Jika menuju perubahan hakiki, tentu akan tuntas persoalannya. Tetapi jika hanya menuntut pergantian pemimpin saja, tanpa memandang perubahan aturan, kemungkinan akan sama saja hasilnya. Tidak ada perubahan sama sekali. 


Tinggalkan Sistem Demokrasi


Hakikatnya di sistem demokrasi mengizinkan adanya unjuk rasa, karena merupakan bagian dari kebebasan berpendapat. Apalagi yang disuarakan adalah menagih hak rakyat atas kewajiban penguasa. Dan jelas ini bagian dari koreksi terhadap kinerja pemerintah selama lima tahun. 


Namun, berhasilkan pemerintah menjalankan tanggung jawabnya setelah unjuk rasa berakhir? Jawabannya, belum tentu. Karena pemimpin di sistem demokrasi akan memikirkan untung ruginya terlebih dahulu. Dan yang diutamakan tentu pengusaha, bukan rakyat. 


Mengapa? Sebab antara penguasa dan pengusaha saling berkaitan erat, seperti simbiosis mutualisme. Dimana pengusaha akan mengeluarkan dananya untuk membantunya saat berkampanye. Syaratnya, penguasa tersebut harus mempermudah izinnya dalam berinvestasi di dalam negeri.


Inilah buruknya demokrasi. Penguasa hanya berpihak kepada investor (baca: pengusaha), tetapi abai terhadap kepentingan rakyat. Sehingga simbol dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, hanyalah omong kosong belaka. Rakyat hanya diperlukan saat pemilihan umum dalam bentuk suaranya, tetapi ketika terpilih semuanya berpindah kepada kepentingan pengusaha. 


Oleh karena itu, mahasiswa sebagai pemuda penerus perjuangan bangsa Indonesia sudah seharusnya mengajak kepada perubahan yang revolusioner. Perubahan yang tak hanya mengganti pemimpin, tetapi mengganti aturannya. Demokrasi yang merupakan aturan buatan manusia telah menyebabkan kerusakan di bumi, dan menyengsarakan rakyat. 


Maka, sudah saatnya meninggalkan sistem demokrasi yang bukan berasal dari Islam. Karena sejatinya sistem yang lahir dari akal manusia dan telah meminggirkan pandangan agama ini, tidaklah sesuai dengan fitrah manusia.


Pemuda dan Perubahan Revolusioner


Mahasiswa yang merupakan bagian dari kalangan pemuda merupakan agen perubahan. Dari pemudalah suatu peradaban dunia akan muncul. Bisa gemilang, bisa pula hancur, tergantung arah perubahannya. 


Pemuda memiliki daya kritis yang tinggi dan semangat yang menggebu tentu lebih peka terhadap persoalan bangsa. Ditambah bisa menjadi pemimpin di garda terdepan dalam menyuarakan berbagai aspirasi masyarakat. Selain itu, pemuda mampu menjadi sosial kontrol atas kinerja pemerintahan, sehingga bisa mengkritiknya dengan cara yang baik. 


Maka, seyogianya ajakan perubahannya haruslah sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Dimana pemuda dalam Islam harus memiliki pemahaman politik yang sahih, sehingga dapat menyuarakan bagaimana seharusnya fungsi pemimpin. Ya, berani menegaskan bahwa pemimpin dalam Islam adalah menjadi pelayan bagi rakyatnya. 


Serta tak lupa, mengajak umat untuk melakukan perubahan sistem. Sistem yang dimaksud adalah sistem Islam yang berbasis ideologi Islam. Dimana menerapkan aturan Islam yang berasal dari Allah Swt. untuk diterapkan di tengah kehidupan, baik individu, masyarakat, ataupun bernegara. Karena itu di pundak pemudalah perubahan hakiki itu akan terwujud, dengan dakwah tanpa henti. Yang akan menjadi penolong Allah Swt. dan agama-Nya. Wallahu'alam bishshawab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama