Logo Halal: Bukti Penerapan Islam Kaffah Butuh Khilafah




Oleh: Dwi Miftakhul Hidayah, S.ST (Aktivis Muslimah Jember)


Tak ada angin tak ada hujan, Kementerian Agama (Kemenag) pada hari Minggu 13 Maret 2022 melalui laman kemenag.go.id, menginformasikan bahwa logo halal lama milik Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah sah digantikan dengan logo halal baru yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag. Sontak hal ini membuat masyarakat beramai-ramai memberikan komentar terkait hal tersebut. Komentarpun beragam. Ada yang mengkritisi dari sisi tulisan kaligrafi, bentuk gunungan wayang kulit, tidak dicantumkannya tulisan MUI, sampai pada pemilihan warna yang digunakan. 

Rasanya agak mengherankan. Ditengah banyaknya persoalan yang harus diselesaikan, Kemenag justru gercep mengubah logo halal. Mengapa tidak fokus pada jaminan peredaran produk halal ditengah masyarakat? Bukankah hal itu lebih penting ketimbang sekadar mengganti logo? Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (HWI) Ikhsan Abdullah bahkan menyebut tidak ada urgensinya mengganti logo halal MUI dengan logo baru (republika.co.id, 13/03/2022). 

Berbicara mengenai logo halal tentu tak bisa dilepaskan dari proses seritifikasi. Sertifikasi halal sendiri adalah dokumen pengakuan kehalalan suatu produk yang diperdagangkan di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), sertifikasi produk bersifat wajib sejak 17 Oktober 2019. Pada penyelenggaraan JPH tahap pertama hanya diberlakukan untuk produk makanan, minuman, serta hasil dan jasa sembelihan, sedangkan tahap kedua yang dilaksanakan mulai 17 oktober 2021 mencakup produk obat-obatan, kosmetik dan barang gunaan. Pada tahap pertama, BPJPH berhasil mensertifikasi 27.188 produk pelaku usaha dari total sasaran jumlah pelaku usaha lebih dari 65,5 juta. Artinya, masih banyak produk yang beredar tanpa melewati sertifikasi halal. 

Enggannya para pelaku usaha melakukan sertifikasi produknya bisa jadi karena faktor biaya mengingat proses sertifikasi tidak diselenggarakan secara cuma-cuma oleh negara. Mengutip dari laman indonesia.go.id (21/12/2021), terhitung sejak 1 Desember 2021 Kemenag mulai memberlakukan tarif layanan Badan Layanan Umum (BLU) BPJPH senilai 300 ribu hingga 12,5 juta rupiah, tergantung jenis usahanya. Memang ada fasilitas self declare yang disediakan untuk pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dimana pembiayaan sertifikasi halal tidak dipungut biaya. Namun, menurut ketua umum Asosiasi Industri Usaha Mikro dan Kecil Menengah Hermawati Setyorinny ada kebiasaan buruk sejumlah oknum auditor halal yang enggan datang tanpa adanya tambahan ongkos misalnya saja tanpa diberikan uang transport (bbc.com, 18/10/2019). Alhasil, pelaku usaha UMK tetap saja harus merogoh kocek. 

Belum lagi motif ekonomi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya membuat tak sedikit para pelaku usaha sengaja memanipulasi sertifikasi halal produknya. Ikhsan Abdullah mengaku banyak menemukan pengusaha yang memasang logo halal tanpa melakukan proses sertifikasi. Tidak hanya perusahaan kecil, perusahaan besar bahkan asing pun melakukan hal tersebut (republika.co.id, 04/11/2018). Tahun 2015 lalu, Direktur LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika) MUI Lukmanul Hakim mengaku peredaran logo halal palsu tidak bisa dibendung. Banyak pihak yang sengaja bermain pada logo halal ini untuk meningkatkan keuntungan pribadi (republika.co.id, 20/01/2015). 

Tak hanya itu, masyarakat juga akhirnya dibuat harus extra hati-hati ketika mengonsumsi suatu produk yang dibeli semisal di restoran. Sebab saat ini masih jarang restoran yang mencantumkan logo halal di tempat usaha mereka. Kalaupun ada, logo halal tersebut adalah hasil kreasi pemilik usaha sendiri dengan tulisan latin maupun arab, bukan logo official yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Seperti temuan MUI Singkawang Kalimantan Barat yang bahkan para pelaku usaha tersebut tak segan menuliskan 100 persen halal padahal tidak pernah mengurus sertifikasi halal (republika.co.id, 04/11/2018). 

Kondisi ini tentu akan menyulitkan konsumen muslim. Pembeli harus terlebih dahulu memperjelas kehalalan produk dengan menanyakan langsung kepada penjual. Bagaimana jika pembeli melupakan step ini? Bisa-bisa akan mengalami hal yang sama dengan pemilik akun @azedmi. Melansir dari food.detik.com (20/10/2021), pemilik akun TikTok itu menceritakan pengalamannya tak sengaja makan mie yang mengandung babi karena ketidaktahuannya. Ia baru menyadarinya setelah makanan habis yaitu ketika mengecek ulasan di google ternyata ada user yang menyebutkan bahwa mie di restoran tersebut adalah mie babi terbaik di Jakarta Utara. Tak ayal, hal itupun membuatnya terkejut sebab sejak awal ia tak menaruh curiga lantaran di restoran tersebut ada pengunjung yang mengenakan jilbab dan karyawannya pun muslim. Bahkan di kolom komentar postingan tersebut, banyak netizen yang turut menceritakan pengalaman yang serupa. 

Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan bahwa jaminan kehalalan produk di negeri ini masih tergolong rendah baik. Amat disayangkan apabila dalam kondisi seperti ini pemerintah justru mengeluarkan kebijakan pembaruan logo halal. Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Jazuli Juwaini menyebut penggantian logo halal justru kontraproduktif bagi upaya membangun kepercayaan publik melalui peningkatan kualitas penyelenggaraan jaminan produk halal (jawapos.com, 15/03/2022). Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, sudah sewajarnya produk yang beredar didominasi produk halal. Justru menjadi tidak wajar manakala hidup di negara mayoritas muslim tapi masih bisa kecolongan mengonsumsi produk haram. Entah karena ketidaksengajaan atau bahkan sengaja mengonsumsinya karena produk non halal pun bisa dengan mudah diakses oleh umat Islam di negeri ini. 

Jika faktor ketidaksengajaan bisa ditolerir karena dalam sebuah hadits disampaikan bahwa Allah mengangkat pena atas orang yang melakukan dosa tersebab tak sengaja sebagaimana sabda Rasul, “Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Maka lain halnya dengan orang yang melakukannya dengan sengaja. Ini bisa diartikan bahwa ia dengan sengaja melakukan perbuatan dosa. Bukankah hal ini menunjukkan kadar keimanan yang lemah? Tidakkah ini yang seharusnya menjadi fokus utama Kemenag yakni menguatkan akidah umat Islam agar mampu mampu mewujudkan ketaatan? 

Begitulah realita kehidupan di negeri kita hari ini. Ide kebebasan telah membuat individu memiliki hak untuk menentukan apa yang ia konsumsi. Mau itu halal atau yang haram sekalipun, semuanya dikembalikan lagi pada individu tersebut. Negara hanya bertugas memberi stempel halal. Masalah individu tersebut tetap mengonsumsi makanan non halal, itu bukan lagi urusan negara. Maka dari itu, selama ini tidak pernah kita dapati adanya sanksi bagi umat Islam yang mengonsumsi produk-produk non halal. Justru sebaliknya, konsep sekuler yang memisahan agama dari pembuatan perundang-undangan telah menjadikan pengaturan di negeri ini seolah memberikan jalan bagi mereka yang ingin mengonsumsi produk non halal. 

Sebagai contoh, minuman beralkohol yang jelas-jelas telah diharamkan oleh Allah nyatanya masih bisa dikonsumsi di negara ini. Meskipun berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 disebutkan bahwa minuman beralkohol hanya diperbolehkan bagi konsumen yang telah berusia 21 tahun atau lebih, maka sejatinya dapat kita simpulkan bahwa negara tak melarang hal tersebut, negara hanya membatasi penjualannya berdasarkan usia konsumen bukan agama konsumen. Maka, logo halal saja tak cukup jika pada kenyataannya negara justru melegalkan sesuatu yang sudah dipastikan keharamannya dengan jalur undang-undang. 

Akan amat sangat berbeda apabila negara ini menjadikan Islam sebagai asasnya. Mengingat Islam telah memerintahkan setiap muslim untuk memakan makanan yang halal lagi baik seperti firman Allah dalam Surah al-Maidah ayat 88, maka menjadi keharusan bagi setiap individu yang beriman untuk memenuhi perintah tersebut. Namun, pelaksanaannya akan tetap dibawah kontrol negara. Sebab, hadirnya negara adalah memastikan terlaksananya syariat baik yang menyangkut hablum minallah (hubungan dengan Allah), hablum binafsi (hubungan dengan diri sendiri) dan hablum minannas (hubungan dengan sesama manusia). Hal ini bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, dimana Rasulullah mengatakan bahwa seorang khalifah diangkat sebagai imam yang bertugas sebagai raa’in (pengurus rakyat) yang kelak akan bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. Khalifah seperti ini hanya bisa ditemukan dalam sebuah institusi negara yang juga menerapkan syariat Islam yakni Khilafah Islamiyyah. 

Oleh sebab itu, meskipun syariat terkait makanan, minuman, atau produk-produk lain yang dikonsumsi oleh seorang individu adalah ranah hablum binafsi, nyatanya hal itu tak bisa dilepaskan dari campur tangan negara. Ini membuktikan bahwa penerapan syariat Islam secara kaffah membutuhkan peran khilafah. Jika individu berperan dalam proses pemilihan produk yang akan dikonsumsi, maka negaralah pihak yang berperan memberikan jaminan kehalalan produknya serta menjaga agar tidak ada produk haram yang beredar di tengah-tengah kaum muslim. Karena JPH menjadi kewajiban negara, maka sertifikasi halal tak lagi dibebankan kepada para pelaku usaha, melainkan difasilitasi secara gratis oleh negara. Sedangkan peredaran produk non halal sendiri akan diatur sedemikian rupa agar terkonsentrasi pada komunitas non muslim saja. Selain itu, dengan didukung penerapan sistem pendidikan berbasis akidah Islam oleh negara, maka akan terbentuk individu yang dengan penuh kesadaran menaati setiap perintah Allah sebagai wujud konsekuensi atas keimanannya, termasuk dalam melakukan kegiatan konsumsi. Kalaupun terjadi pelanggaran syariat, maka negaralah juga yang nantinya akan memberlakukan sanksi sebagai penebus dosa (jawabir) sekaligus pencegahan hal serupa terjadi lagi (zawajir). 

Wallahua'lam bish-shawab.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama