(Dipaksa) Radikal



Oleh: Wina Fatiya


Topik radikalisme saat ini menjadi narasi renyah yang senantiasa digoreng pemerintah. Bukan karena pemerintah kekurangan tema dan problematika untuk diulas, hanya saja radikalisme ini sarat dengan berbagai kepentingan dan menjadi pion opini yang setiap saat bisa dimainkan. 


Lihat saja ketika ada delapan karyawan PT Palapa Timur Telematika (PTT) yang tewas oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB - OPM) pada Rabu, 2 Maret 2022, pemerintah tidak bereaksi apa-apa. Bahkan sekedar ucapan belasungkawapun tidak ada. 


Padahal Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD pernah mengatakan bahwa korban penganiayaan yang dilakukan OPM selama tiga tahun terakhir sekitar 110 orang. 53 orang di antara mereka adalah warga sipil. Sementara untuk korban yang berasal dari anggota TNI berjumlah 51 orang dan korban dari Polri mencapai 16 orang. Ia mengatakan bahwa berdasarkan catatannya, tindakan yang kerap dilakukan OPM adalah membunuh, membakar rumah, sampai membakar pesawat. (Tribunnews.com, 12/01/22) 


Jika dicermati masalah KKB ini bukan hanya persoalan daerah, namun ancaman bagi kedaulatan negara itu adalah urusan nasional. Jika ada potensi yang mengancam kedaulatan sudah seharusnya negara dengan sigap menyelesaikannya.


Sayangnya persoalan KKB di Papua ini seolah dipelihara. Padahal efeknya terhadap skala keberpengaruhan pemerintah pusat menjadi sorotan. Yang lebih penting, tak sekalipun KKB ini dikatakan sebagai radikal. Aneh, padahal fakta terpampang jelas bagaimana radikal dan sadisnya mereka terhadap rakyat. 


Pada saat yang sama, pemerintah justru sibuk memasarkan doktrin radikal ke tengah-tengah masyarakat. Bukan radikal versi KKB tapi justru penceramah yang 'dianggap' radikal. Bukan penceramah di gereja, bukan di wihara atau di pura tapi penceramah di mimbar-mimbar masjid umat Islam. 


Tak tanggung-tanggung bahkan presiden sendiri langsung turun tangan. Seperti dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Selasa (1/3), Presiden mewanti-wanti supaya TNI Polri dan keluarganya tidak mengundang penceramah radikal. Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tak henti-hentinya membuat gaduh masyarakat dengan topik radikalisme. 


Aneh bin ajaib. Negeri mayoritas muslim, namun penceramah muslim yang dipersoalkan. Padahal tidak ada bukti para penceramah ini melakukan tindakan anarkis apalagi pembunuhan. 


Sebaliknya justru mereka itu adalah para da'i dan ustaz yang dicintai umat. Ceramah dan ilmu mereka justru yang ditunggu-tunggu oleh umat. Mereka dengan cerdas memberikan solusi-solusi Islami yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadis Nabi. Lantas, dimana radikalnya? 


Apa yang digadang-gadang oleh pemerintah tentang radikalisme ini membuat kita bertanya-tanya, benarkah radikalisme ini adalah sumber persoalan berbagai problematika di Indonesia? Kok sampai bisa mengalahkan isu keamanan dan kemanusiaan yang ada di Papua? Kok pemerintah tetap _keukeuh_ memasarkan jualan radikalisme ini ditengah ekonomi sulit yang diderita rakyat? 


Minyak goreng langka. BPJS yang menyiksa. Harga pangan meroket. Ditambah para pejabat yang lebih berisik soal penundaan Pemilu dibandingkan peduli kondisi rakyat. Pemerintah juga malah sibuk mengurusi radikal radikul. Ada apa sebenarnya? 


Sangatlah wajar jika saat ini rakyat beranggapan narasi radikalisme itu seolah dipaksakan. Rakyat dijejeli dengan opini radikalisme setiap hari. Dipasarkannya Moderasi Islam sebagai solusi. Dijunjungnya Islam Nusantara sebagai warna Islam sejati ala Indonesia. 


Namun kita yakin bahwa sekeras apapun mereka berusaha, cahaya Islam tak akan pernah temaram apalagi padam. Islam adalah agama dari Sang Pencipta alam. Tidak ada satupun manusia yang bisa membungkam dakwah dengan makar selevel bumi. Karena dakwah adalah titah ilahi selevel langit. 


Umat Islam seharusnya benar-benar yakin  dengan kemenangan Islam. Tidak boleh tergerus sedikitpun akan pertolongan Allah bagi orang-orang yang mukhlis. Makar seberat apapun tidak akan menggeser kekuasaan Allah. Apalagi perbuatan mereka mengusik Islam, ajaran Islam dan para pengembannya adalah suatu perbuatan sia-sia di hadapan Allah.


Sebagaimana ayat: 

"Perumpamaan orang yang ingkar kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti abu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh." (QS. Ibrahim ayat 18).


Wallahu'alam bi showab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama