Bukan Soal Kreativitas, Ini Soal Responsibilitas



Oleh: Dwi Miftakhul Hidayah, S.ST (Aktivis Muslimah Jember)


Kelangkaan dan mahalnya minyak goreng turut mendapat sorotan dari Megawati Soekarnoputri. Dalam sebuah webinar bertajuk “Cegah Stunting untuk Generasi Emas Indonesia”, mantan presiden Indonesia ke-5 itu mengaku heran melihat banyak warga rela mengantre lama untuk membeli minyak goreng. Ia juga mempertanyakan apakah ibu-ibu setiap harinya hanya menggoreng makanan saja sehingga sampai harus berebut minyak goreng. Padahal menurutnya, ada banyak cara untuk mengolah makanan selain digoreng, bisa dengan direbus, dikukus, atau dibakar. 


"Saya sampai ngelus dodo (mengelus dada), bukan urusan masalah nggak ada atau mahalnya minyak goreng, saya sampai mikir, jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng sampai begitu rebutannya? Apa tidak ada cara untuk merebus, lalu mengukus, atau seperti rujak, apa tidak ada? Itu menu Indonesia lho. Lha kok njelimet (rumit) gitu," begitu ucap Megawati dalam webinar yang diunggah di akun youtube Tribunnews pada Jumat (18/03/2022) lalu. 


Pernyataan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut segera mendapat serbuan komentar netizen. Salah satunya datang dari komedian Kemal Pahlevi. Sembari memposting video lama Megawati ketika menjadi pembicara di Kongres V PDIP tahun 2019 lalu yang meminta jatah kursi menteri paling banyak, ia membubuhkan caption, “Mending antri rebutan minyak bu, daripada rebutan jatah menteri :(.” Melihat tak sedikit yang menyindir pernyataan ketuanya, PDIP akhirnya angkat bicara. Menurut Sekretaris Jenderal PDIP (Sekjen) Hasto Kristiyanto, maksud dari pernyataan Megawati tersebut adalah mengajak para ibu kreatif dalam memasak. 


Padahal, tanpa perlu disuruh pun rakyat khususnya para ibu selaku manager rumah tangga sudah melakukan upaya yang bisa mereka lakukan dalam menghadapi kondisi ini, termasuk dintaranya melakukan diferensiasi cara mengolah makanan. Apalagi ketika minyak goreng di dapur menipis sedangkan uang di dompet belum terkumpul tapi dapur harus tetap ngebul. Rakyat tak perlu diajari kalau soal ini. Solusi-solusi yang terkesan remeh ini senada dengan ajakan menanam cabai sendiri yang dulu terjadi ketika harga cabai mengalami kenaikan. Begitu pun ketika harga daging menjadi mahal, keong sawah diminta jadi pengganti santapan. Pernyataan seperti ini seolah berpaling dari solusi yang esensial ke solusi parsial. Sebagai ketua dari partai pemegang tampuk jabatan presiden dan ketua DPR, seharusnya ia meminta keduanya mengamankan pasokan minyak goreng. Sebab, diketahui kuat dugaan adanya kartel dibalik langka dan mahalnya minyak goreng. 


Jika dalam sekejap stok minyak goreng bisa kembali normal setelah sebelumnya seolah menghilang dari peredaran, maka tak heran jikalau masyarakat menduga telah terjadi penguasaan produksi dan pasar oleh segelintir produsen. Mereka sengaja membuat distribusi minyak goreng terhenti sesaat. Hal ini terjadi sejak penetapan harga eceran tertinggi (HET) per 1 Februari lalu yang membuat harga minyak goreng turun dari Rp24.000/liter menjadi Rp14.000/liter (untuk jenis premium). Namun, turunnya harga justru membuat minyak goreng menjadi langka. Akhirnya, pada 16 Maret lalu Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 11/2022 yang mencabut HET dan mengembalikan harga sesuai harga pasar. Minyak goreng akhirnya kembali muncul ke permukaan namun dengan harga berkali lipat dari sebelumnya. Ibu-ibu pun kembali dibuat ngelus dodo. Disaat harga murah, barangnya tidak ada. Disaat barangnya melimpah, harganya wah. 


Jika meminjam istilah ngelus dodo Megawati, bukankah justru seharusnya kita ngelus dodo melihat sebuah negara yang menduduki peringkat nomor wahid di dunia sebagai produsen sawit sejak tahun 2006 bisa-bisanya mengalami kelangkaan minyak goreng? Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia pada 2021 sebesar 46,88 juta ton (databoks.katadata.co.id, 03/02/2022). Merujuk catatan Kementerian Perindustrian, realisasi produksi minyak goreng sawit (MSG) tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya sebesar 5,07 juta ton (kemenperin.go.id, 10/03/2022). Lalu mengapa bisa terjadi krisis? 


Tragisnya, saat kelangkaan terjadi Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi justru menuduh warga menimbun minyak goreng. Bagaimana ceritanya rakyat bisa menimbun kalau untuk mendapat 2 liter saja harus mengantre berjam-jam? Setelah satu pejabat menuding rakyat menimbun minyak goreng, pejabat lainnya meminta rakyat lebih kreatif mengolah masakan. Sungguh malang sekali nasib rakyat di negeri ini. Padahal kisruh minyak goreng yang terjadi adalah ulah segelintir korporasi. 


Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ukay karyadi mengatakan struktur bisnis minyak goreng dalam negeri cenderung dikuasai oleh segelintir korporasi besar yang memiliki kekuatan untuk mengontrol harga. KPPU mencatat dari 74 pabrik minyak goreng dalam negeri terdapat 4 perusahaan yang menguasai pangsa pasar. KPPU mensinyalir sejumlah perusahaan dalam negeri itu melakukan kartel terkait dengan kenaikan harga minyak goreng sejak akhir tahun lalu (gimni.org, 04/02/2022). Sedangkan pemerintah sendiri melalui Mendag Muhammad Lutfi saat rapat bersama Komisi VI DPR RI pada Kamis (17/3/2022) mengakui tak bisa lawan mafia minyak goreng (tribunnews.com, 17/03/2022). Para mafia itu diduga telah menjual minyak goreng ke luar negeri demi meraup keuntungan saat harga CPO di pasar global naik sedangkan harga dalam negeri yang dipatok dengan HET jauh lebih murah. 


Apa yang dilontarkan oleh Megawati tersebut seolah mengingatkan pada peribahasa gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak. Sebagai seorang pejabat publik, seharusnya mengkritisi dari segi kebijakan, bukan malah berpaling dari pokok permasalahannya dengan seakan menilai ibu-ibu terlalu lebay merespons kelangkaan dan mahalnya minyak goreng. Komentar seperti itu pun justru terkesan nirempati atas kondisi rakyat yang bahkan sampai harus bertaruh nyawa demi membawa pulang minyak goreng murah. Ini bukan soal kreativitas, ini adalah soal responsibilitas (tanggung jawab) pemerintah dalam menjamin ketersediaan minyak goreng di masyarakat. Bukan hanya tersedia, tanggung jawab pemerintah pula untuk membuat harga minyak goreng terjangkau oleh masyarakat. 


Jika menilik bagaimana pengaturan terkait hal ini di dalam Islam, memang tak ada penetapan harga oleh penguasa karena hal tersebut justru dilarang. Sebagaimana ketika Rasulullah menanggapi sekelompok orang yang meminta beliau melakukan intervensi harga. "Wahai Rasulullah, tentukan harga untuk kami." Rasulullah lantas menjawab, "Allahlah sesungguhnya penentu harga, penahan, pembentang, dan pemberi rezeki. Sesungguhnya, aku berharap agar bertemu kepada Allah tidak ada seorang pun yang meminta kepadaku tentang adanya kezaliman dalam urusan darah dan harta” (HR. Ashabus Sunan). 


Hanya saja, Islam juga melarang adanya praktik penimbunan (penahanan), monopoli, maupun spekulasi lainnya. Dan tugas negaralah untuk mensterilkan pasar dari segala bentuk tindak kejahatan ekonomi tersebut baik yang dilakukam oleh para produsen maupun para pedagang. Sehingga, meskipun harga ditentukan oleh mekanisme pasar tak akan menyebabkan harga melambung tinggi. Sanksi tegas yang diberlakukan sesuai hukum Islam pun akan mampu mencegah seseorang melakukan ihtikar (penimbunan).


Jika memang pemerintah tak terima disebut kalah dari para mafia, maka seharusnya pemerintah segera memberantas para mafia minyak goreng tersebut. Jika sudah ditangkap, jangan sampai menggunakan konsep pisau dapur untuk mengadili para terdakwa. Para oligarki itu harus dihukum berat karena korbannya adalah seluruh rakyat. Jangan sampai justru terjadi obral remisi sebagaimana yang dialami para tikus berdasi. Jika hukum sudah bisa dibeli, meski rakyat makan rebusan tiap hari sekalipun, sampai kapanpun tak akan menyelesaikan akar persoalan.


Wallahua'lam bish-shawab. 

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama