Oleh: Finis (Penulis)
Wacana penundaan pemilu 2024 yang digagas oleh kalangan elit politik dari partai pendukung pemerintah yaitu partai Golkar, PKB, dan PAN, mungkinkah akan terealisasi?
Beberapa kalangan ada yang pro juga ada yang kontra. Ketua umum partai Demokrat, Agus Harimurti Yudoyono menegaskan bahwa penundaan pemilu merupakan sesuatu yang melanggar konstitusi. Ia memandang wacana tersebut digulirkan oleh pihak-pihak yang takut kehilangan kekuasaannya. (Republika.co.id, 27/02/2022).
Menurut Feri Amsari (aktivis hukum dan akademisi Indonesia) dalam diskusi secara daring bertajuk " Tolak Penundaan Pemilu 2024", dari pernyataan ketua-ketua partai, baik Golkar, PAN, dan PKB dalam menyampaikan upaya-upaya perpanjangan masa jabatan ini karena mereka sudah terlalu nyaman di dalam lingkaran kekuasaan bagi partai-partai ini (Tribunnews.com, 26/02/2022). Para ketua partai penggagas beralasan mereka tidak ingin ekonomi Indonesia mengalami pembekuan setelah 2 tahun stagnan akibat pandemi Covid-19. Wakil ketua DPR RI mengatakan akan ada banyak momentum untuk memulihkan ekonomi selama 2022-2023. Sementara gelaran pemilu ia nilai bisa mengganggu prospek ekonomi. (Kompas.com, 7/03/2022).
Apakah alasan yang disampaikan oleh ketiga partai (Golkar, PKB, PAN) itu benar-benar untuk kemaslahatan rakyat? Atau hanya untuk kepentingan mereka sendiri, yaitu memperpanjang masa jabatan dan mengulur waktu untuk menyiapkan diri dalam berkontesasi dalam meraih kursi kekuasaan berikutnya? Pihak oposisi menolak wacana tersebut. Karena mereka juga tak ingin kehilangan kesempatan meraih kursi di saat tingkat elektabilitasnya sedang tinggi.
Inilah watak asli sistem demokrasi yang mencetak para elit politik minim empati. Lebih besar mengejar maslahat pribadi dan kelompoknya, daripada kemaslahatan rakyat yang seharusnya menjadi tujuan setiap aktivitas politiknya. Ternyata rakyat luput dari perhatian dan tidak lagi menjadi prioritas untuk diperjuangkan.
Kalau kita telusuri lebih dalam lagi, bahwa sesungguhnya yang berkuasa di dalam sistem demokrasi bukanlah kedaulatan rakyat, partai atau pejabat-pejabat yang tampaknya berkuasa. Yang berkuasa sesungguhnya adalah yang ada di baliknya yaitu para pemilik modal, para kapitalis yang membiayai para politikus dan penguasa sampai ke tampuk kekuasaan. Dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Akhirnya terjadi simbiosis mutualisme. Terjadilah politik balas budi. Setelahnya penguasa-penguasa ini menghamba kepada oligarki. Sedangkan rakyat hanya dimanfaatkan suaranya sebagai tangga untuk menuju tampuk kekuasaan. Rakyat hanya dijadikan sebagai sarana agitasi untuk mengeluarkan APBN dalam bentuk program-program yang hakikatnya untuk melayani kepentingan oligarki. Bila pun melayani rakyatnya hanya sedikit. Itu pun sekadar politik pencitraan.
Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan politik sebagai jalan melayani kepentingan publik. Pemilu dalam sistem Islam hanyalah cara alternatif memilih kepala negara. Metode baku pengangkatan kepala negara adalah bai'at syar'i. Pemilu wajib terikat dengan nas-nas syariat tanpa menyelisihinya. Masa jabatan pemimpin negara dalam sistem Islam tidak ada periodesasi sebagaimana sabda Rasulullah, "Selama ia masih memimpin kalian sesuai dengan kitabullah." (HR. Muslim).
Syarat-syarat kepala negara di dalam sistem Islam adalah laki-laki, muslim, berakal sehat, baligh, merdeka, adil, dan memiliki kapabilitas. Kepala negara (khalifah) wajib menerapkan hukum Allah (syariat Islam) secara kaffah (menyeluruh). Seorang khalifah tidak memiliki wewenang membuat hukum. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Pemilu dalam Islam tidak memerlukan biaya fantastis dan penyelenggaraannya sederhana. Proses pemilihan berlangsung sangat singkat, maksimal 3 hari. Batas kekosongan kepemimpinan adalah 3 hari sesuai dengan ijma' sahabat pada pembaiatan Abu Bakar ra. Pemilu di dalam sistem Islam mampu menghasilkan pemimpin adil dan berkualitas. Yaitu pemimpin yang akan menerapkan seluruh aturan Allah, sehingga mendatangkan keberkahan dan juga rahmat bagi seluruh alam. Wallaahu a'lam.[]