Ummu Fazaa
Ada yang otomatis membuat penulis tertawa lebar saat mendengar iklan di salah satu channel radio terkenal di Kediri. Ehhmmm… pikir penulis radio sebesar itu kok diksi iklannya membuat siapa saja yang tidak pintar gramatikal, tidak begitu paham makna denotative konotatif, konkret atau abstrak jadi ketawa guling-guling (boleh dengan ikon LoL yang pada masanya sangat tenar itu).
Apa iya memang penulis yang tidak up date PUEBI di KBBI dalam penyebutan MANUSIA? Semoga iya saja. Jadi di iklan radio itu seorang dhuafa, yang dulunya disebut sebagai kaum dhuafa atau golongan dhuafa, kan ditelinga pendengar dan pembaca berasa sopan saja. Lah kok sekarang disebut sebagai MANUSIA DHUAFA. Rasanya kan jadi seperti menyebut jenis lain dari manusia? Lebih pas dan cocok kalau penyebutan manusia itu untuk menyebut jenis. Hingga penulis browsing tentang jenis manusia yang ada hanya MANUSIA PURBA. Ampuun…apakah harus segitunya menyebut kaum dhuafa itu ya? Apakah seorang yang dloif (lemah) itu memang dari jenis manusia berbeda? Ataukah ini hanya perasaan saya saja?
Padahal Rasulullah saja banyak menganalogkan dan menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain agar penyebutan sesuatu itu lebih jelas dan tidak menyinggung? Ataukah seorang dhuafa di era ini memang sedemikian berbeda. Seseorang yang dia mampu secara ekonomi layak dianggap sebagai “orang” sedangkan mereka yang “lemah” disebut dengan sebutan Manusia Dhuafa?
Ah sudahlah…itu pendapat pribadi penulis saja. Tapi akhirnya dari sini saya merenung sejenak, mengamati perilaku manusia di alam Kapitalis yang memang luar biasa mengikat individu di dalamya. Ikatan yang sungguh erat dan kuat hingga seakan meruntuhkan setiap sendi dan tulang belulang manusia. Yang nampak paling menonjol dalam sistem Kapitalisme ini adalah perilaku dan sikap manusia ditengah persaingan hidup saat ini. Sudahlah memang tuntutan hidup ini berat untuk dijalani kok ya ikhtiar mendapatkan rezekinya ga ma’ruf. Menghalalkan segala cara agar terlihat sebagai generasi yang siap menerima era metaverse.
Kalau di dunia utang piutang ada istilah gali lobang tutup empang, nahh di dunia “ikhtiar” menjemput rezeki ini ada istilah tidak krasanan ditempat yang sama. Maksudnya? Ikhtiar kerja tapi loncatnya tetap ditempat yang sama. Karena kemrungsung ingin segera mendapat penghasilan meteran eh Milyaran. Banyak generasi muda saat ini yang tergiur berbagai investasi non riil atau berinvestasi di berbagai trading online yang menggiurkan. Dari tahun ke tahun nyatanya ya begitu-begitu saja kerjanya, merekrut banyak downline agar masuk ke ponzi scemenya.
Padahal ya... kalau dipikir, jualan konvensional dengan marketing online pun juga penuh berkah. Intinya menjual sesuatu ya dijual saja, Tidak harus dengan mengharuskan dan memaksa orang lain untuk mendaftar jadi anggota dengan fasilitas-fasilitas ABCDE sampai Z, menjanjikan bisa plesiran kesini situ padahal dengan biayanya sendiri. Ya sementara pebisnis konvensional sudah mengambil untung dengan berkah yang riil, aktivis ini masih sibuk promosi menggaet massa yang sejatinya sudah banyak yang menggaet dengan produk sama.
Hasilnya, wow luar biasa. Bisa jadi sukses dengan ikhtiarnya dan lalu berubahlah gaya hidupnya. Menjadikan harta dan materi sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan manusia. Dan menjadi miskin harta adalah penyakit baru yang menghantuinya. Seakan-akan jika tidak memiliki harta adalah bencana yang dihadapinya dalam hidup. Akhirnya tuntutan hidup yang datang dari gaya hidup hedonis itu jugalah yang menjadikan generasi muda sekarang begitu pemberani melebihi para hero di perang dunia Shinobi. Gaya hidup kartu kredit, KTA, Rekening koran, deposito dilahap semua. Hanya demi “tuntutan” hidup agar tak terlihat miskin, agar bisa membantu banyak orang.
Memang tidak bisa dinafikan jika seorang muslim itu berharta akan bisa membantu banyak orang. Tapi Islam sebagai agama yang kamil dan syamil, sempurna dan menyeluruh juga memberi panduan bagaimana perolehan harta itu dengan cara yang halal. Ada banyak aktivitas dan pekerjaan halal yang bisa dilakukan di era milennial menuju metaverse saat ini. Dan yang harus menjadi catatan bahwa ada banyak sekali aktivitas yang nilainya sama dengan sedekah.
Sebagaimana pembahasan menarik dalam kitab Ar Rusul Al Mu’allim wa asalibuhu fi at ta’lim karya Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah. Diantaranya adalah bagaimana Rosulullah SAW menganalogikan hukum-hukum dan menjelaskan pada para sahabat jika terjadi kesamaran dan ketidakjelasan hukum, sehingga menjadi jelaslah perkara yang sebelumnya masih samar dan belum dipahami. Dengan analogi akan dimengerti jalan dan tujuan syariat, serta dipahami sasaran jangka panjangnya.
(و فقهٌ بمراميها البعيدة)
ا نَّ ناساً من اصحاب النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالو للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَصْحَابُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ و يَتَصَدَّقُونَ بفُضُولِ أَمْوَالهم، قَالَ اوَلَيْسَ قد جعل لللهُ لكم ما تَصَدَّقُونَ...؟ ا نَّ بكلِّ تَسْبِيْحَةٍ صدَ قةً ،وكلِّ تكبيرةٍ صدَ قةً , وكلِّ تَحْمِيْدَةٍ صدَ قةً, وكلِّ تهليلةٍ صدَ قةً ،. وامرٌ بالْمَعْروفِ صدَ قةً، ونهيٌ عن منكر صدَ قةً، وفي بضع أحدكم صدقة قالوا: يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر؟ قال: أرأيتم لو وضعها في حرام، أكان عليه وزر؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر». رواه مسلم
Dari Abu Hurairah rhadhiallahu ‘anhu, ia berkata, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Dan kami bersedekah dengan kelebihan harta mereka?
Nabi SAW bersabda; “ Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, memerintahkan kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah, bahkan pada kemaluan salah seorang diantara kalian adalah sedekah”.
Mereka berkata , “Wahai Rasulullah, apakah jika salah seorang dari kami menyalurkan syahwatnya juga akan mendapat pahala?”
Beliau bersabda , “Bagaimana pendapat kalian, seandainya dia letakkan syahwatnya ditempat yang haram? Apakah dia mendapatkan dosa? Begitu juga sebaliknya, jika dia meletakkannya ditempat yang halal, maka dia akan mendapat pahala”.
Nabi SAW membuat perbandingan (analogi) untuk mereka diantara dua perkara, sehingga hukumnya menjadi jelas bagi mereka. Mereka juga menjadi lebih mengerti perkara yang sebelumnya tidak mereka perhatikan. Bahwa kenikmatan yang disyariatkan seperti ini bagi seseorang akan berbuah ganjaran dan pahala, karena berbagai dampak baik yang di akibatkan olehnya.
Generasi saat ini harusnya tetap memegang apa yang disyariatkan Allah dan Rasulnya agar tidak terjebak pada gaya hidup hedonis yang ditawarkan oleh pengusung ideologi Kapitalisme saat ini. Hidup sesuai dengan kemampuan namun tetap ikhtiar dan berdoa, meminta kepada Allah SWT agar hidupnya terjaga dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT.[]