Oleh Ummu Syifa (Pemerhati Kebijakan Publik)
Kontroversi ditengah umat tak henti-hentinya terjadi di Nusantara. Dari sekian banyaknya isu - isu hangat yang tengah terjadi, salah satunya tentang wacana akan adanya perombakan dan pembubaran beberapa lembaga negara. Menurut Peraturan Presiden ( perpres ) No.82/2020 tentang komite penanganan covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional hal inilah yang mendorong pada pembubaran 18 lembaga birokrasi negara, berita ini dimuat OKEZONE.com tertanggal 25 juli 2021. Adapun lembaga - lembaga tersebut yang terkena pembubaran itu diantaranya adalah Tim Tranfaransi Industri Ekstraktif, Badan Koordinasi Nasional Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang dibentuk berdasarkan perpres No.10/2011. Adapun dalih yang diungkapkan atas pembubaran lembaga- lembaga tersebut adalah langkah untuk mempercepat reformasi birokrasi, dan menghemat APBN serta dapat dialihkan untuk membantu pemulihan ekonomi pasca pandemi. Namun pembubaran 18 lembaga ini masih jauh dari ekspetasi karena dari sisi penghematan dianggap belum siginifikan.
Adapun wacana lain yang ikut membersamai adanya pembubaran lembaga - lembaga tersebut adalah rencana pemerintah untuk mengganti tenaga manusia dengan tenaga robot. Sebagaimana hal ini diperkuat oleh ungkapan ketua Badan Kepegawaian Negara ( BKN ) yaitu Satiya Pratama bahwa pergantian tenaga manusia dengan tenaga robot itu sebagai upaya memanfaatkan kemajuan teknologi kedepannya, juga agar bisa mencapai efektivitas birokrasi. Tentunya wacana ini tidak bisa begitu saja diterima, karena akan berdampak negatif, misal akan adanya mutasi kepegawaian yang bisa saja hal itu merugikan para pegawai, juga terjadi pensiun dini, dan yang lebih buruk adalah terjadinya pemecatan pegawai honorer yang akan menyebabkan angka pengangguran semakin meningkat. Jelas penggunaan robot sebagai pengganti dengan tujuan efektifitas dan efisiensi dalam hal ini kurang tepat. Ditambah kesiapan yang belum matang dari semua pihak terutama para ASN untuk bisa beradaptasi dengan teknologi.
Teknologi sejatinya bagai pisau bermata dua, dimana teknologi bisa membuat perubahan kehidupan ke arah lebik baik atau sebaliknya membawa perubahan buruk yang bisa mengakibatkan penderitaan hidup ditengah masyarakat. Hal ini tentunya tergantung pada ideologi apa yang menjadi poros penggerak teknologi tersebut. Sebagaimana dipahami bahwa teknologi pada awalnya munculnya merupakan bentuk dari revolusi industri dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Namun fakta yang terjadi saat ini, teknologi yang seharusnya bebas nilai justru dijadikan salah satu alat penjajahan gaya baru atau neo-imperialisme. Para kaum pemodal ( kapitalis ) menggunakan kemajuan teknologi ini sebagai alasan untuk mengadakan kerjasama antar bangsa. Bangsa maju menggunakan teknologi untuk membangun hubungan bilateral dan multilateral dengan bangsa yang dianggap masih tertinggal teknologinya. Perjanjian yang terjadi pada akhirya akan menjerat bangsa lain agar masuk dalam cengkeraman hegemoni bangsa kaptalis tersebut.
Teknologi dianggap sebagian orang sebagai penentu kemajuan sebuah bangsa tentunya perlu dikaji lagi, sebagaimana kita pahami realita kehidupan umat tidak berbanding lurus dengan kamajuan teknologi, dimana kenyataan kini problematika ditengah umat terus terjadi, semisal masalah gizi buruk, angka pengangguran, kemiskinan, kriminalitas dan degradasi moral anak bangsa tengah menyelimuti kehidupan umat. Hal ini menjadi jawaban jelas bahwa kemajuan teknologi tidaklah bisa dijadikan tolak ukur kemajuan sebuah bangsa, jika adanya teknologi itu hanya merubah dan menata fisik negara saja. Bahkan, dewasa ini teknologi diarahkan hanya untuk meraih keuntungan para kapitalis dan menguntungkan segelintir orang saja terutama para rezim yang sedang berkuasa.
Adapun Islam memandang teknologi ini adalah sesuatu yang mubah yang boleh - boleh saja diraih dan diupayakan, selama tidak bertentangan dengan hadhoroh Islam. Upaya pencapaian teknologi dalam Islam adalah rangka membantu dan menyempurnakan hajatul udhowiayah ( kebutuhan dasar ) umat. Dan hal tersebut telah dilakukan oleh para generasi islam terdahulu. Di masa kejayaan Islam, terutama di masa kekhilafahan Abasyiyah, banyak terlahir para ilmuwan yang menjadi peletak dasar teknologi modern sekarang ini. Sebut saja ada Taqiyudin as - Sami penemu jam mekanik, Ibnu Firnas bin Abas pembuat gantole pertama di dunia juga Al Kharizmi penemu angka nol, serta masih banyak tokoh Islam lainnya. Bahkan mereka tidak hanya ahli dalam bidang ilmu teknologi, namun juga ahli dalam bidang fikih. Di masa para ilmuan sekaligus adalah fukaha yang juga banyak mengeluarkan hukum-hukum fardu kifayah yang dapat membantu penyempurnaan peribadatan umat muslim. Begitulah, peradaban islam mampu, tidak hanya melahirkan ilmuwan-ilmuwan ternama yang menghasilkan teknologi canggih, namun disaat yang sama melahirkan para fukaha yang terjaga iman dan takwanya.
Walhasil, kecanggihan teknologi bisa berdampak positif bagi kehidupan umat jika teknologi dihasikan dengan berbasis iman dan takwa serta dikendalikan dan dikelola oleh negara yang menerapkan sistem Islam ( khilafah ) yang akan menerapkan ideologi Islam dalam setiap tatanan peradaban manusianya. Negara yang tidak berorientasi pada manfaat dan keuntungan fisik ( materi ) belaka. Negara Islam akan menggunakan teknologi sebagai sarana memudahkan dan menyempurnakan pelaksanaan syariat Islam sehingga ketaatan dan ketakwaan umat bisa dicapai semaksimal mungkin. Wallohu'alan bi ash - showab.