Polemik Tawar Menawar Hukuman Bagi Predator Seksual, Efektifkah?




Oleh : Uqy - Chan (Pena Cendekia)


Predator Seksual masih terus mengintai. Mereka membidik korban tak pandang usia, status dan jabatan. Korban sudah banyak yang berjatuhan. Bahkan kasusnya semakin meningkat tajam oleh sebab berulang kali terjadi. Tak ayal menimbulkan polemik tentang hukum apakah yang pantas yang dapat membuat pelaku jera sehingga kasus tak terulang kembali. Ada yang berseru hukum kebiri, hukum mati, atau tidak dua - duanya sebab tak manusiawi. 

Agaknya masyarakat muak sehingga polemik terjadi sekaligus tanda bahwa semua ingin hukum bagi predator seksual benar - benar yang menjerakan. Untuk itulah ada tawar menawar hukuman bagi predator seksual yang juga menjadi bukti bahwa hukum yang diterapkan sebelumnya tak mampu atasi kejahatan seksual alias mandul. Hukum yang seperti apa harusnya diitegakkan, apakah tawar menawar ini akan efektif?

Polemik tersebut menguat lantaran kasus yang terjadi beberapa waktu lalu yang dilakukan Herry wirawan, seorang pemilik Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat yang tega menggagahi 13 santriwati selama 2016 hingga 2021. Atas perbuatannya itu ia dikenakan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan (5) jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. 

Oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, ia dituntut hukuman berlapis. Mulai dari hukuman mati, mengambil seluruh harta pelaku berupa denda Rp500 juta dan membayar biaya restitusi kepada para korban Rp331 juta dan hukuman kebiri kimia. Senada dengan keputusan jaksa,  Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi juga berpandangan sama terhadap sanksi hukuman mati bagi Herry. Baik hukuman mati ataupun kebiri yang tidak efektif mencegah tindak pidana kekerasan seksual. Namun ia tetap menghargai kinerja aparat penegak hukum. (www.tirto.id, 13/1/2022).

Namun sebaliknya, ada pihak yang menolak hukuman mati dan kebiri atas nama Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti yang disampaikan oleh Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Meidina Rahmawati, ia menolak hukuman mati bagi pelaku predator seksual. Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan HAM dan menghabiskan biaya yang besar. Menurutnya, penerapan hukuman mati telah dihapus banyak negara. Hukuman mati hanya jalan pintas semata. Masih banyak hukuman lain. Misalnya, memfokuskan pada pertanggungjawaban hak-hak korban kekerasan seksual. (m.medcom.id, 20/1/2022).

//Tawar Menawar Ciri Khas Hukum Sekuler//

Begitulah faktanya hidup dalam aturan yang berasaskan Demokrasi Sekuler. Hukum yang dilahirkan selalu menuai pro dan kontra. Sebab muncul dari hawa nafsu manusia. Karakter dan sifat manusia sangat beragam, apalagi jika dibenturkan dengan naluri manusia sudah pasti naluri seseorang juga beragam. Karena itu wajar muncullah pertentangan antara baik dan buruk, cocok dan tidak, bisa diterima masyarakat atau tidak, dan lain sebagainya. Wajar muncul tawar menawar dalam menentukan suatu hukum untuk menyelesaikan persoalan manusia.  

Misalnya kasus L98T yang terang - terangan berbuat asusila di depan umum. Mereka berpacaran, berciuman, bahkan menikah sesama jenis seperti hal yang biasa. Namun hukuman bagi mereka tak menjerakan justru dilindungi undang - undang sehingga wajar semakin bertambah jumlah komunitasnya. Kala itu tak sedikit pro Kontra hukuman apa yang pantas bagi komunitas ini, sayangnya negara tetap berdalih atas nama HAM. Hanya sekedar memberi peringatan agar tidak menampakkan komunitasnya di depan umum. Ini menunjukkan bahwa mereka tetap masih diberi ruang untuk hidup bebas berkeliaran. Padahal jelas perbuatan asusila melanggar norma agama.

Pun dengan kasus korupsi yang hingga kini masih belum mampu diberantas. Belum terungkap saja, ditubuh Demokrasi Sekuler ini sudah tercium kental dengan aroma korupsinya. Sistem aturannyapun tak menjerakan sehingga membuat pelaku semakin bertambah. Korupsi pun menjadi aktivitas yang biasa terjadi. Maka bui tak sedikit dipenuhi oleh para tikus berdasi. Ironisnya setelah tertangkap, hukuman yang dijatuhkan tak seberapa dibandingkan dengan kedzaliman yang terjadi pada rakyat. Tak jarang hukum bersifat tebang pilih.

Maka jelas, hukum yang dihasilkan saat ini hasil dari tawar menawar, antara hukum apakah yang pantas. Semua ini sebagai akibat dari aturan yang berasaskan pada Sekulerisme. Suatu pemahaman bahwa agama perlu dipisahkan dari kehidupan. Memandang suatu aktivitas berdasarkan materi dan manfaat antara baik dan buruk, untung dan rugi, dan istilah lainnya yang berdasarkan pada manfaat. Apabila baik akan diambil bila buruk akan dibuang, begitu seterusnya. Maka jika hidup dengan menggantungkan harapan pada pandangan seperti ini akan sangat berbahaya sekali utamanya bagi muslim. Sebab akan berpengaruh pada cara pandangnya tentang kehidupan.

Dampaknya, seseorang akan selalu mengandalkan apapun dengan cara pandang untuk memperoleh materi dan manfaat yang banyak.  Manusia bebas menentukan apa saja sesuai kehendak hawa nafsunya. Akibatnya justru kesengsaraan hidup yang didapat dan memunculkan berbagai kezaliman antar manusia. Suatu kewajaran Sekulerisme memayungi seseorang sekalipun berbuat asusila akan terus dilindungi hukum. Padahal baik predator seksual, L98T, sudah lebih dahulu melanggar HAM dengan merusak fisik, psikis, dan masa depan para korban. Pun dengan koruptor telah merugikan negara dan rakyat. Ketika hukuman mati diajukan untuk para pelaku tersebut, justru muncul polemik antara menjerakan dan komitmen penegakan HAM. Maka jelas tawar menawar untuk menghukum pelaku sangatlah tidak efektif justru menuai berbagai pertentangan diberbagai sisi.

//Kepastian Hukuman Sanksi Dalam Islam//

Maka kejahatan tingkat berat seperti korupsi dan kekerasan seksual masih dianggap belum mendapat hukuman yang menjerakan, buktinya kasus tetap merebak. Hal itu merupakan bukti bahwa aturan dan hukum cacat oleh karena sistem sekuler demokrasi hari ini. Selain menggantungkan solusi kejahatan pada sanksi / hukuman, juga tidak mampu menciptakan lingkungan mendukung agar kejahatan tidak merajalela. Maka, negara dalam sistem Demokrasi Sekuler ini telah gagal dalam menegakkan hukumnya. Saatnya diganti dengan hukum yang menjerakan dan manusiawi, tidak lain dengan hukum Islam.

Hukum Islam bukan saja menjerakan namun lebih dari itu membuat pelakunya mampu bertaubat. Hukum Islam sudah pernah diterapkan pada zaman Nabi Muhammad saw dan para khalifah setelahnya. Terbukti mampu dan ampuh dalam menghukum pelaku. Aturan Islam memiliki sanksi yang berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus dosa (jawabir). Manusia dapat tertahan dari kejahatan dan saat bersamaan sanksi tersebut diberlakukan sebagai menebus dosanya di akhirat. Sanksi Jawabir akan meringankan hukumannya di akhirat kelak. Penegakan sanksi dilakukan oleh Khalifah atau Qadhi (hakim).

Maka perbuatan zina, homoseksual (liwath), menuduh zina (qadzaf), minum khamr, murtad, hirabah (meliputi bughat pembangkangan terhadap negara), dan mencuri merupakan jenis kemaksiatan yang di hukum sesuai dengan kadar perbuatannya. Perbuatan zina jika dilakukan oleh seseorang yang sudah menikah (muhshan) dihukum rajam sampai mati. Sementara, jika pelaku belum menikah (ghayr muhshan) dihukum jilid dengan seratus kali dera. Homo / lesbi (liwath) dan korupsi dihukum takzir yang hukumannya diserahkan kepada Khalifah atau Qadhi berdasarkan ijtihad mereka. 

Hukum sanksi dalam Islam sangatlah mudah dijalankan sebab aturannya sangat jelas berasal dari Allah SWT selaku pembuat hukum. Tak ada yang bisa ditawar sebab sanksi dalam Islam sangat memuliakan manusia dan sangat manusiawi. Sebagai seorang muslim tak harusnya keberatan untuk melaksanakannya. Sebaliknya bukan atas nama HAM atau pertimbangan lainnya. Sudah waktunya sanksi Islam diterapkan saat ini yang benar - benar membutuhkan hukuman yang menjerakan. Siapapun pelakunya akan segan bermaksiat kembali. Selain tak mampu ditawar sebab hal itu jelas tak kan efektif.
Wallahua'lam bisshowab.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama