Oleh : Eti Ummu Nadia
Viral Kasus pemerkosaan yang dilakukan seorang guru sekaligus pemilik dan pengasuh Madani Boarding School, Bandung Jawa Barat, Herry Wirawan (36 tahun) kepada santriwatinya, dilakukan dari tahun 2016 hingga 2021. Pelaku dituntut hukuman mati oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat.
“Ini adalah sebagai bentuk komitmen kami untuk memberikan efek jera bagi pelaku.” ujar Kepala Kejati Jawa Barat, Asep N. Mulyana. Di pengadilan Negeri Bandung, Selasa (11/1/2022).
Selain vonis hukuman mati, jaksa juga memberikan sanksi kepada Herry Wiranto untuk membayar denda Rp 500 juta, dan membayar biaya restitusi kepada para korban Rp. 331 juta serta sanksi non-material berupa pengumuman identitas. Identitas terdakwa disebarkan, dan hukuman kebiri kimia.
Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai sanksi hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual seperti Herry Wirawan tidak selaras dengan Pasal 67 KUHP. Jika seseorang itu dijatuhi hukuman mati, ataupun penjara seumur hidup, maka tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi. Kecuali pencabutan hak-hak tertentu. Dan pengumuman putusan hakim. Hal senada juga disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi yang berpandangan sama terhadap sanksi hukuman mati bagi Herry. Baik hukuman mati ataupun kebiri tidak efektif untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual. Akan tetapi Siti menilai Herry mesti direhabilitasi agar mampu mengubah cara pandangnya terhadap wanita. Kesadaran Herry mesti dibangun, sehingga timbul kesadaran bahwa perbuatannya merugikan korban dan diri sendiri. Tirto.id Rabu (12/1/2022).
Inilah hukum yang dibuat manusia, ada pro kontra. Pihak yang mendukung vonis hukuman mati tersebut guna memberikan efek jera bagi pelaku, ada juga yang menolak dengan dalih kemanusiaan. Seperti dari Komnas HAM yang tidak setuju dengan vonis hukuman mati Herry. Tak ayal, hal tersebut menuai tanggapan dari Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengkritisi pernyataan Komnas HAM yang tidak setuju dengan hukuman mati Herry Wirawan pelaku rudapaksa 13 santriwatinya. Hidayat Nur Wahid mengkritik Komnas HAM dan pihak lain yang ngotot agar RUU TPKS segera disahkan untuk melindungi korban kekerasan seksual, tetapi menolak vonis hukuman mati pelaku kekerasan seksual pada anak. Dilansir dari Tribunnews.com. Sabtu (15/1/2020).
Saat ini kasus kekerasan seksual pada anak Dan kasus korupsi nampaknya hukum masih tidak membuat efek jera bagi pelaku. Faktanya, kasus ini semakin merebak. Sanksi hukuman mati yang dijatuhkan pada pelaku kekerasan seksual ataupun korupsi, masih menjadi polemik antara membuat jera atau penegakan HAM. Padahal jika dilihat dari data milik Kemen PPPA Kekerasan pada anak dari tahun ketahun terus meningkat. Di 2019 terjadi 11.057 kasus. Kemudian 11.279 di 2020, dan 12.566 kasus hingga data November 2021. Dari data tersebut, 45 persen adalah kasus kekerasan seksual.
Sungguh miris melihat kondisi saat ini, di mana kasus kejahatan kekerasan seksual ini mendominasi dibandingkan kasus-kasus kekerasan lainnya. Bahkan maraknya Kekerasan seksual bukan hanya di kota-kota besar saja, akan tetapi sampai ke pelosok negeri. Bahkan yang kita anggap aman seperti rumah, pesantren, sekolah, tempat beribadah dan banyak lagi, justru menjadi celah kejahatan seksual. Korbannya pun beragam mulai dari siswi sekolah SD, mahasiswi, santriwati, karyawan di berbagai instansi pemerintahan, hingga difabel tak luput menjadi korban. Dan rata-rata pelakunya selalu orang terdekat.
Fenomena ini terjadi karena adanya sistem sekularisme liberalisme yang diadopsi rezim saat ini. Sistem yang mengadopsi pemahaman dan pemikiran dari Barat, sehingga ketika bernegara dan berhukum pun berdasarkan undang-undang yang hasil dari pemikiran manusia, bukannya hukum yang berasal dari Allah SWT. Sedangkan manusia itu bersifat lemah Dan terbatas. Tentunya ketika hukum yang diambil pun akan terbatas kemampuannya untuk memutuskan hukum yang berat bagi pelaku kejahatan kekerasan seksual. Alhasil keadilan pun sulit diraih. Inilah bukti kecacatan pada sistem demokrasi sekuler. Sistem yang gagal memberikan hukum keadilan kepada pelaku kejahatan kekerasan seksual.
Sebagaimana dipahami, demokrasi sekuler ini melonggarkan kebebasan terhadap informasi dan media. Sehingga pornografi pornoaksi atau pun konten-konten yang tidak pantas, beredar luas. Sehingga bebas dikonsumsi oleh publik, sehingga memunculkan adanya naluri seksual. Tak heran, kasus kejahatan kekerasan seksual ini terus meningkat jumlahnya. Belum lagi dengan masyarakat yang tidak paham, memisahkan agama dari kehidupan (sekularisme). Sehingga interaksi masyarakat tidak ada batasannya dengan lawan jenis. Aurat yang terlihat, yang mengakibatkan kekerasan seksual ini rentan terjadi.
Kasus korupsi atau pun kekerasan seksual ini, merupakan kejahatan tertinggi. Akan tetapi, hukuman mati bagi para pelaku masih menjadi polemik, bahkan dianggap tidak menjadi solusi bagi sebagian kelompok. Inilah bobroknya hukum di dalam demokrasi yang terbukti tidak mampu memberikan solusi untuk permasalahan negara ataupun masyarakat. Sehingga negara gagal melindungi dan memberi rasa aman kepada masyarakatnya.
Berbeda dengan sistem Islam yang dikenal dengan khilafah, di mana aturan yang diterapkannya adalah syar’iat Islam legislasi UU pun, bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunah. Karena aturan yang berlaku adalah aturan Allah, bukan aturan dari manusia dalam demokrasi yang sering berubah-ubah hukumnya, dan sekehendak mereka. Benar salahnya hanya dilihat dari sudut pandang manusia. Berbeda dengan Islam, tolak ukur benar salah akan dikembalikan pada syar’iat Islam, bukan kehendak manusia. Allah SWT berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus.” (TQS Yusuf: 40)
Penerapan Islam secara kaffah dalam bernegara inilah, yang akan mampu menciptakan keadilan hukum. Termasuk kekerasan seksual pada anak. Karena Islam sebagai solusi hakiki yang efektif memberantas kekerasan seksual atau pun kasus kejahatan lainya hingga ke akarnya. Karena pada dasarnya, sanksi di dunia akan dilaksanakan oleh Imam (Khalifah) atau orang yang mewakilinya. Sanksi di dunia selain pencegah dari kejahatan (zawajir) juga penebus dosa (jawabir) ketika pelaku kejahatan mendapatkan sanksi di dunia, dia tidak akan dapat sanksi di akhirat atau dosanya dihapus oleh Allah SWT. Seperti pelaku pemerkosaan kejahatan seksual berupa had zina yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya muhsan (sudah menikah), Dan pelaku dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhsan (belum menikah). Oleh karena itu, penerapan hukum Islam yang mampu membuat efek jera bagi pelaku kejahatan seksual atau pun pelaku kejahatan yang lainnya. Karena Islam sebagai solusi paripurna yang menyelesaikan secara tuntas segala permasalahan .
Wallahu’alam Bishawwab.