Penanganan Lambat Rakyat Kalap




Oleh: Wafi Mu’tashimah, Siswi SMAIT Al Amri

Sudah beberpa bulan terakhir bencana terus melanda negeri kita tercinta. Mulai dari banjir, gempa bumi, hingga erupsi gunung berapi bekali-kali menghampiri. Seolah tak ada maaf bagi manusia penduduk bumi, bumi terus menangis, banjir meluap dimana-mana dan goncangannya menimbulkan gempa tiada henti. 

Tak sedikit pula dari bencana ini yang menelan korban jiwa. dikutip dari Liputan6.com, banjir yang melanda sejumlah tempat di Jember mengakibatkan satu warga hilang dan satu lainnya hilang. Sedangkan di Pasuruan, banjir melanda tiga kecamatan yang membuat listrik mati selama beberapa waktu. 

Selain banjir, gempa beruntun terjadi di sejumlah tempat. BMKG mencatat terjadi peningkatan aktivitas gempa sebulan terakhir. Oleh karena itu, masyarakat diminta waspada. Namun kini, seharusnya kita patut bertanya-tanya, sudah sewaspada apakah pemerintah kita dalam menanggulangi dan menghadapi bencana?

Penanganan lambat, rakyat kalap, itu yang sesungguhnya terjadi. Kita semua sangat menyayangkan penangan pemerintah yang kurang cepat. Seharusnya pemerintah dengan pengalaman bencana yang terjadi berulang kali di Indonesia, mampu mengatisipasi kejadian serupa, nyatanya tidak.

Jika pemerintah sudah belajar dari pengalaman, kemungkinan besar tidak akan terjadi korban jiwa, listrik mati, kekurangan pasokan makanan, ketiadaannya air bersih dan lain-lain. Namun selama ini, pemerintah selalu lambat dalam mengirim pasokan makanan dan bantuan lainnya. 

Padahal korban bencana sangat membutuhkannya. Bahkan, masyarakat sekitar lebih peka untuk segera menyalurkan bantuan. Dengan fakta ini, kita patut bertanya-tanya, siapa sesungguhnya yang harus diayomi, penguasa atau rakyat? 

Ditambah lagi, mereka terlihat lebih peduli menangkapi ulama daripada mengurusi rakyat. Tak tanggung-tanggung, uang rakyat pun dicuri dan dihabisi. Padahal selama ini kita menggaji mereka untuk melayani rakyat, bukan menjadi nyamuk yang pandainya hanya menghisap darah rakyat.

Lebih mengherankan lagi, di saat penduduk lndonesia sedang di kurung derita, membutuhkan dana untuk memperbaiki nasibnya, lndonesia malah mengalokasikan dana ratusan triliyun untuk proyek ibu kota barunya. 

Coba pikir, untuk apa pemerintah terburu-buru ingin pindah kota? Padahal rakyatnya sedang menderita? Bukankah dana itu lebih baik dialihkan untuk membantu korban bencana? Kita kehilangan harta, rumah dan keluarga, dia malah berlomba-lomba membangun gedung-gedung tinggi. Bukankah sangat tidak pantas.

Percuma pindah ibu kota. Percuma membangun gedung-gedung tinggi. Jika rakyat tak sejahtera. jika marabahaya masih mengintai dimana-mana. Seharusnya nyawa rakyat lebih diutamakan daripada gedung tinggi yang notabene benda mati.

Kita semua tau, negeri kita adalah zamrud khatulistiwa dengan sejuta kekayaan alamnya. Namun sejuta juga bencana alamnya. Maka, sudah seharusnya pemeritah juga memiliki sejuta alat dan sejuta ahli yang dapat menanggulangi bencana-bencana itu.

Semuanya perlu disiapkan. Mulai dari pengaturan tata letak bangunan yang tahan banjir maupun gempa, tidak awut-awutan seperti sekarang. kemudian juga tata cara pengelolaan sampah agar tidak menumpuk di sungai. Pembangunan bendungan dan alat mitigasi bencana yang memadai. Dan penganggulangan-penanggulangan lainya.

Selain itu, Indonesia juga membutuhkan prototipe sebagai acuan dalam menangani berbagai bencana alam tersebut. Kita perlu mengambil sampel ini dari negara yang juga memiliki kemungkinan bencana yang kompleks seperti kita dan sudah terbukti sukses menjalaninya.

Jika kita telusuri, kita akan menemui sebuah negara yang memenuhi kriteria ini. Negara yang pernah menguasai dua pertiga dunia di masanya. Ia di segani dan menjadi mercusuar dunia saat itu, yang karena karya-karyanya mempelopori era modern hari ini. 

Ialah negara khilafah, imperium dunia yang menjadikan lslam sebagai asasnya. Yang di bawahnya hidup berjuta bangsa dan negara dengan berjuta pula keadaan alamnya. Negeri inilah yang sangat pantas menjadi prototipe bangi kita untuk membawa Indonesia kepada negara tanggap bencana.

Wilayah Daulah lslam yang amat luas bersentuhan dengan berbagai potensi bencana alam. Wilayah sekitar gurun di Timur Tengah dan Afrika Utara sangat rawan kekeringan. Lembah sungai Nil di Mesir atau sungai Efrat-Tigris di Irak amat rawan banjir. Sementara itu Turki, Iran dan afghanistan sampai sekaarng juga masih sangat rawan gempa.

Selain itu, kadang-kadang wabah penyakit yang hingga abad 18 belum diketahui pasti penyebab maupun obatnya datang menghantam, misalnya cacar atau pes. Meskipun demikian, daulah tetap tegak lebih dari 12 tahun lamanya. Walaupun pada akhirnya negara ini sirna itupun bukan karena wabah maupun bencana alamnya.

Untuk menangkal kekeringan, para penguasa muslim saat itu telah membangun bunker gudang makanan. Bungker ini berupa ruangan di bawah tanah yang dijaga agar tetap kering. Di situ disimpan bahan makanan seperti gandum, kurma, minyak zaitun dan persediaan lainnya yang cukup untuk dua musim. Bunker ini tak cuma berguna sebagai tempat penyimpanan makanan, namun juga persiapan jika ada musuh yang mengepung kota. (Fahmi Amhar, Media Umat edisi 253)

Sebagai antisipasi banjir, para penguasa membangun bendungan, terusan dan alat peringatan dini. Insinyur Al-Farghani (abad 9 M) telang membangun alat yang disebut Nilometer  untuk mencatat tinggi sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun mengukur, al-farghani berhasil memberikan prediksi banjir sungai Nil baik dalam jangka waktu panjang maupun pendek.

Di Turki, dibangun gedung-gedung tahan gempa untuk menanggulangi gempa. Sinan, arsitek Sultan Ahmet yang fenomenal, membangun masjidnya dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan meyalurkan beban secara merata.

Semua masjid yang dibangun Sinan diletakkan pada tanah-tanah yang membuat penelitiannya cukup stabil. Gempa-empa besar di atas 8 skala di kemudian hari terbukti tidak membuat dampak sedikitpun pada masjidnya. Padahal banyak gedung modern lstanbul yang justru roboh.

Jadi, bencana-bencana alam selalu ditangkal terlebih dahulu dengan ikhtiar. Khalifah menaruh perhatian besar agar tersedia fasilitas umum yag mampu melindungi rakyat dari berbagai bencana. Belum lagi, mereka juga orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat. Mereka mengetahui apa yang harus dilakukan dalam situasi genting maupun normal. Bukan orang-orang yang hanya bisa berbekal omongan saja.

Walaupun demikian baik pemimpin-pemimpin saat itu maupun para ulamanya bersama-sama menasehati umat bahwa maut itu sangat dekat, dari jalan manapun, sehingga mereka tergerak untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Karenanya, ketika bencana benar-benar terjadi, secara mental maupun jejaring sosial mereka sangatlah siap.

Kesiapan Daulah Islam diatas berbanding seratus delapan puluh derajat dengan penguasa hari ini. Apabila negeri ini ingin menjadi negara tanggap bencana, maka harus mengikuti jejak daulah Islam di atas. Indonesia perlu mengikuti jejak Daulah Islam secar menyeluruh, tidak setengah-setengah.

Namun mekanisme diatas baru akan berjalan jika dibarengi dengan Islam sebagai dasar negara dan dasar pengambilan hukum. Sedangkan dasar negara lndonesia sekarang adalah kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Maka mekanisme Islam tak akan diterapkan selama kapitalisme masih mencengkram negeri ini. Wallahu a’lam bishowab.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama