Oleh: Unix Yulia (Komunitas Menulis Setajam Pena)
Sejak akhir tahun kemarin, harga pangan khususnya bahan pokok terus mengalami kenaikan. Mulai dari minyak, cabai hingga telur. Bahan pangan yang pada dasarnya mampu diproduksi dan dikelola mandiri oleh negara, namun nyatanya harga tidak bisa stabil. Ada apa gerangan?
Peneliti Core Indonesia mengatakan, saat ini harga-harga bahan pangan pada komoditas tersebut sudah melawati batas harga psikologis. Harga cabai ditingkat konsumen sudah menyentuh Rp 100.000,- /kg dari yang awalnya Rp 50.000,- /kg. Minyak curah dari harga Rp 11.000,- /liter kini menyentuh Rp 18.000,- /liter bahkan untuk kemasan 2 liter mencapai Rp 42.000,-. Sedangkan telur yang awalnya Rp 24.000,- /kg, kini mencapai Rp 30.000,- /kg. (Liputan6.com, 29/12/2021)
Menurutnya, kenaikan ini dipicu oleh permintaan pasar yang naik, cuaca yang kurang bersahabat sehingga gagal panen dan permintaan dari luar negeri terhadap minyak sawit. Dan setelah tahun baru harga akan berangsur normal kembali. Namun nyatanya sampai saat ini harga belum ada penurunan kecuali telur senilai Rp 28.000,-/kg (Liputan6.com, 29/12/2021).
Fenomena seperti ini sudah berulang kali terjadi, setiap akhir tahun, natal, tahun baru dan perayaan idul fitri/adha komoditas bahan pangan pasti mengalami kenaikan. Lagi-lagi, alasan yang diberikan oleh pemerintah dari kenaikan tersebut yaitu cuaca dan permintaan yang meningkat. Solusi yang diberikan pun sama, seperti melakukan sidak pasar atau pengadaan pasar murah. Mengapa harus mengulangi solusi yang sama apabila hasilnya tidak ada? Bukannya kegagalan dijadikan pembelajaran, namun mengulangi kegagalan yang sama.
Sebelum pandemi fenomena tersebut sudah memberatkan masyarakat, apalagi pandemi yang terjadi saat ini, lebih lebih memberatkan, perekonomian sulit, jaminan kesehatan tidak ada, kadang besok mau makan apa saja tidak tau. Masyarakat yang harusnya mendapatkan ketentraman dan kesejahteraan dari negara namun nyatanya tak terpenuhi. Pemerintah seakan abai dan tutup mata, sibuk memperkaya diri sendiri, terbukti dengan meningkatnya jumlah kekayaan pejabat negara akhir tahun lalu.
Pemerintah membenarkan alasan-alasan yang selama ini mereka berikan, tidak melakukan instropeksi secara mendalam terkait sebab kasus yang berulang-ulang. Padahal, faktor dari kasus yang terjadi asalnya dari idak tepatnya kebijakan yang diambil pemerintah, seperti ekspor impor dll.
Tak perlu heran, pada sistem sekuler kapitalistik yang diterapkan saat ini, keuntungan dan kepentingan pribadi/golongan menjadi tujuan utamanya. Jabatan yang diperoleh hanya digunakan sebagai alat untuk mendapatkan tujuannya, bukan untuk menyejahterakan atau mengurus rakyat seperti janji-janji saat kampanye dulu.
Berbeda apabila Islam diterapkan. Pemerintah sejatinya sebagai pelayan dan pengurus masyarakat. Wajib untuk mengatasi semua permasalahan umat dan menjamin kesejahteraan umat baik dalam bidang ekonomi, kehidupan sehari-hari, kesehatan dan lain sebagainya.
Seperti masalah pangan ini, negara akan menyelesaikan secara mengakar, apa-apa saya yang menjadi penghambat terjaminnya kebutuhan pangan dan jaminan berusaha, sehingga tidak ada lagi fluktuasi harga yang memberatkan, distribusi pangan kurang dan lain sebagainya. Dengan cara strategi politik ekonomi islam, perdagangan, industri dan pertanian yang menjamin kemandirian dan kedaulatan negara. Tidak akan ada lagi celah-celah penyelewengan kekuasaan karena penerapan sistem sanksi dan peradilam Islam yang tegas.
Sudah saatnya kita beralih dari sistem sekuler ke sistem islam. Dengan sistem Islam kesejahteraan masyarakat akan terjamin, ridho Allah akan didapatkan. Bukankah kita sudah rindu akan kebangkitan Islam seperti pada jaman khalifah dulu?