Oleh : Neneng Yeniati (Guru dan aktivis dakwah Muslimah Peduli Umat)
Memasuki tahun baru Masehi 2022, tak terasa sudah lebih dari 2 tahun kita hidup dalam keadaan new normal akibat pandemi covid-19. Efeknya masih terus saja menghantui dan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat dunia tak terkecuali Indonesia. Memporak porandakan semua sektor lini. Bahkan Indonesia sempat merasakan kolapsnya dibidang kesehatan. Walau saat ini sudah mulai bisa berbenah namun pandemi nyatanya belum berkhir, terlebih dengan pemberitaan muncul nya varian baru yaitu delmicrom.
Dilansir dari healt.detik.com september 2021, yang dikutip dari Worldometer, Indonesia menjadi salah satu negara dengan angka kematian yang tinggi di dunia. Total kematian akibat covid-19 di Indonesia mencapai 138.889 kasus dan membawanya berada di urutan ketujuh.
Masalah demi masalah memang terus muncul akibat pandemi, terutama dibidang ekonomi. Dengan kolapsnya ekonomi, hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran. Peningkatan terbesar terjadi pada warga usia produktif alias anak muda. Dilansir dari kompas.com 30 agustus 2021, Kepala BPS Margo Yuwono mengungkapkan, peningkatan tingkat pengangguran terbuka (TPT) terjadi pada penduduk berusia 20-24 tahun dan 25-29 tahun.
BPS melaporkan, pengangguran pada usia 20-24 tahun meningkat sebesar 3,36 persen dari 17,66 persen pada Februari 2020 menjadi 14,3 persen pada Februari 2021. Sementara pengangguran usia 25,29 tahun meningkat 2,26 persen poin dari 7,01 persen di Februari 2020 menjadi 9,27 persen di Februari 2021.
Dengan bertambahnya jumlah pengangguran maka pandemi juga memunculkan masalah ketimpangan ekonomi. Salah satu indikator untuk mengukur ketimpangan ekonomi suatu wilayah adalah Rasio Gini. 3 poin selama 20tahun, hal ini termanfestasi dari meningkatnya angka rasio gini dari 0,380 pada Maret 2019 menjadi 0,381 pada Maret 2020 dan 0,384 pada Maret 2021 (BPS,2021).
https://m.mediaindonesia.com/opini/433295/pengendalian-ketimpangan-di-masa-pandemi
Peningkatan rasio gini ini menandakan bahwa terdapat peningkatan ketimpangan pendapatan selama masa pandemi, khususnya terhadap kelompok miskin dan rentan, karena pandemi ini sangat berdampak pada mereka.
Dilansir dari Bank Dunia dalam laporan terbarunya soal posisi kekayaan di negara-negara di dunia dengan tema " The change Wealth of nation 2021. Dalam salah satu laporannya mencatat rata-rata kekayaan orang Indonesia mencapai U$$ 144.303 atau setara lebih dari 2 milyar rupiah, sesuai kurs dolar Desember 2018 yakni 14.427. Pada 2018 disebutkan rata-rata kekayaan orang Indonesia beeada pada peringkat ke -4 ASEAN. (Sabtu, 27 Oktober 2021)
Padahal, BPS mencatat jumlah penduduk miskin di negeri ini masih tergolong tinggi yakni sebesar 27,5 juta orang per Maret 2021. Rasio ketimpangan/gini rasio di Indonesia yang naik menjadikan kesenjangan kekayaan di Indonesia dimana garis kemiskinan tercatat Rp. 472.525,00/kapita/bulan, sungguh sebuah kondisi yang memprihatinkan. Di satu sisi ada sekelompok orang yang memiliki kekayaan begitu banyak namun di sisi lain ada sejumlah masyarakat yang harus banting tulang untuk bertahan hidup. Fakta lain, di tengah kesulitan rakyat yang hidup dalam kemiskinan, setidaknya ada 35 pemimpin dan beberapa nama mantan pemimpin negara, diantaranya Presiden Rusia Vladimir Putin, Raja Yordania hingga Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, mereka diam-diam memindahkan aset kekayaan dari pantauan otoritas pajak dan penegak hukum, tidak terkecuali di Indonesia seperti pejabat-pejabat pemerintahan diantaranya, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan dan Menko Perekonomian, mereka juga melakukan hal yang sama sebagian pemimpin dunia tersebut. Terbongkarnya para miliarder dunia yang menyimpan harta kekayaannya di kawasan surga pajak adalah salah satu ironi besar di tengah kemiskinan sistematik yang melanda dunia. Bayangkan 1% penduduk dunia menguasai lebih dari 90% aset yang ada. Pandora papers seolah membakar borok kapitalisme yang sudah menganga.
Bobroknya Ekonomi Kapitalis
Di tengah kesenjangan yang dialami negeri ini karena diterapkannya sistem kapitalisme justru pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi sebesar 7,07%, angka yang cukup tinggi dibanding tahun lalu. Pemerintah menganggap bahwa bahwa ekonomi Indonesia relatif kuat menghadapi pandemi. Klaim ini tentu tidak mendasar, karena yang terjadi dilapangan sebaliknya. Ekonomi masyarakat terpuruk, banyak PHK dan pengangguran. Daya beli masyarakat turun drastis. Penanganan pandemi sangat buruk. Pemerintah pun masih menambah utang baru.
Di sisi lain banyak segelintir orang atau kelompok memperkaya diri sehingga terlihat sekali begitu jauh jarak antara si kaya dan si miskin. Sistem kapitalis ini memberikan kebebasan hak milik kepada setiap individu dengan kebebasan yang tidak ada batasnya, orang boleh melakukan usaha dengan cara apapun meskipun bertentangan dengan dengan agama. Negara hanya bersifat regulator yang akhirnya hanya orang-orang yang bermodal besar yang dapat mengembangkan usahanya, sehingga bisa melakukan usaha apa saja dengan keuntungan yang besar demi kepentingan sendiri. Para kapitalis itu dengan modal yang besar akan mengelola sumber daya alam dengan bebas tanpa memikirkan nasib rakyat. Negara hanya menarik pajak dari mereka sedangkan keuntungan yang besar oleh para pengusaha tersebut digunakan untuk bermegah-megahan, seperti hasil tambang di Kalimantan, mereka menikmati hasilnya tanpa memikirkan nasib rakyat yang sekarat bekas tambang/zat buangan beracun. Para kapitalis juga tidak memberikan jaminan distribusi kekayaan sehingga kebanyakan kekayaan hanya dinikmati oleh segelintir orang, sebab sistem kapitalis sekularisme bertumpu pada sistem ekonomi non riil dan perbankan ribawi. Adanya bursa saham dan perbankan ribawi mengakibatkan harta hanya berputar dikalangan tertentu saja yakni yang bermodal besar. Sementara perputaran uang sangat dibutuhkan masyarakat agar ekonomi bergerak.
Dampaknya ketika perputaran uang di tengah masyarakat terbatas menjadikan rakyat kecil tidak bisa bekerja karena tidak memiliki modal. Begitulah dalam sistem ekonomi kapitalis, kesenjangan dan ketimpangan kekayaan makin menjadi, angka pengangguran dan kemiskinan semakin meningkat karena tidak ada jaminan kesejahteraan bagi umat.
Pengelolaan Harta Kekayaan dalam Islam
Islam dengan sistem pemerintahan khilafah akan bersikap adil kepada seluruh warga negaranya, baik kaya maupun miskin. Dalam pengelolaan harta, Islam tidak membatasi kekayaan individu, Islam justru mendukung setiap individu untuk bekerja dan usaha mengembangkan hartanya. Namun usaha mendapatkan harta itu harus sesuai dengan hukum syara'. Jika usaha yang dilakukan bertentangan dengan hukum syara' maka diberikan sanksi sesuai pelanggarannya. Bagaimana dengan pengelolaan sumber daya alam ? Maka hal ini akan langsung ditangani oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk rakyat. Rakyat yang kaya tidak diperkenankan memonopoli barang tambang yang ada, karena barang tambang, hutan, laut dan beragam suber daya alam lainnya, adalah milik umat, haram hukumnya dikuasai oleh segelintir orang saja.
Dalam sistem ekonomi Islam akan mengharamkan praktek-praktek ribawi, jenis usahanya berbasis sektor riil sehingga kekayaan yang dimiliki masyarakat adalah kekayaan yang sifatnya nyata, bukan hitung-hitungan angka semata. Aturan undang-undang yang dibuat pemerintah (khilafah) akan mengacu pada hukum syara' bukan pada keinginan badan usaha/individu tertentu saja. Negara bukan sekedar regulator tetapi berperan pengatur urusan umat, maka negara akan berusaha semaksimal mungkin mensejahterakan rakyat tanpa membedakan apakah mereka itu kaya atau miskin, semua memiliki hak yang sama.
Dari hasil pengelolaan sumber daya alam dan pendapatan lainnya, negara akan memberikan pelayanan kesehatan, pendidikan, pengadaan sarana dan prasrana, lapangan kerja hingga jaminan keamanan memadai, rakyat tidak perlu pusing untuk memenuhi kebutuhannya karena negara wajib menjamin kebutuhan primer rakyatnya. Hal ini bukan berarti negara membagikan secara gratis makanan, pakaian, rumah kepada rakyat setiap saat hingga terbayang rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah terpenuhi. Maksud jaminan tersebut diwujudkan dengan pengaturan serta mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan diantaranya.
Pertama, mewajibkan laki-laki menafkahi diri dan keluarganya. Alloh Swt berfirman dalam Q.S. Al.Baqaroh [2] : 33 :
و علي المولود له رزقهن و كسوتهن با لمعروف
Artinya : " Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada ibunya dengan cara makruf ".
Kedua, mewajibkan kerabat dekat untuk membantunya. Jika kepala keluarganya terhalang mencari nafkah seperti meninggal, cacat mental/fisik, sakit-sakitan, usia lanjut atau lain-lain, kewajiban nafkah dibebankan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah.
Ketiga, mewajibkan negara membantu rakyat miskin jika seseorang tidak memiliki kerabat atau memiliki kerabat tapi hidupnya pas-pasan maka pihak yang berkewajiban memberi nafkah adalah baitul maal/kas negara. Dengan kata lain, negara berkewajiban memenuhi kebutuhannya.
Keempat, mewajibkan kaum muslimin membantu rakyat miskin jika kas negara kosong maka kewajiban nafkah beralih kepada kaum muslimin secara kolektif. Untuk merealisasikan berjalannya pemenuhan kebutuhan primer ini negara wajib menyediakan lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja terutama untuk laki-laki, karena merekalah pencari nafkah bagi keluarganya.
Demikianlah kemampuan Islam beserta seluruh perangkat sistemnya dalam menyelesaikan masalah terutama kemiskinan dan kesenjangan kekayaan. Syariat Islamlah yang dibutuhkan negeri ini agar seluruh persoalan terselesaikan secara tuntas.
Wallohu'alam