HARGA KEBUTUHAN POKOK MELANGIT, RAKYAT KIAN MENJERIT




By: Wirani S. Pd.i (aktifis dakwah forum ibunda sholihah)


Jakarta, CNBC Indonesia - Harga kebutuhan pokok semakin mahal. Hari ini harga sejumlah produk pangan kembali naik. Mengutip catatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga rata-rata nasional telur ayam ras pada hari ini, 29 Desember 2021, adalah Rp 31.900/kg. Naik 8,13% dibandingkan kemarin dan 27,6% dari sebulan sebelumnya.

Tidak hanya telur, harga sembako lainnya juga bergerak naik. Harga bawang merah ukuran sedang hari ini ada di Rp 30.350/kg, naik 0,83% dari kemarin dan 11,58% dalam sebulan. Namun yang fenomenal tetap cabai-cabaian. Harga cabai merah besar hari ini mencapai Rp 54.800/kg. Naik 9,71% dalam sehari dan 25,4% dalam sebulan.

Kemudian harga cabai merah keriting hari ini adalah Rp 55.050/kg. Naik 3,48% ketimbang kemarin dan 28,32% selama sebulan. Cabai rawit merah jadi yang paling parah. Harga hari ini ada di Rp 98.050/kg. Naik 1,71% dibandingkan kemarin dan meroket 97,68% selama sebulan terakhir.

Lonjakan tersebut terjadi setiap akhir dan awal tahun. Sayangnya, hal ini tidak menjadi perhatian khusus dari pemerintah guna mengantisipasi lonjakan harga. Justru yang terjadi, rakyat diminta tidak mengkhawatirkannya karena harga-harga pangan akan kembali menurun pada kuartal 2022.

Bagi masyarakat yang terdampak, mau tidak mau menerima dengan penuh duka. Bayangkan saja, harga minyak goreng, cabai, hingga telur mengalami peningkatan menjelang akhir tahun. Ketiga komoditas bahan pokok ini diperkirakan merangkak naik hingga Januari 2022.

Sampai-sampai Peneliti Core Indonesia Dwi Andreas mengatakan harga-harga komoditas tersebut telah melewati batas harga psikologis. Harga cabai tembus Rp100.000 per kg. Harga minyak goreng curah lebih dari Rp18.000 per kg dan harga telur mencapai Rp30.000 per kg. (liputan6.com, 26/12/2021).


Rakyat Butuh Solusi Hakiki Bukan Pragmatis

Amburadul, ini kata yang cocok untuk menunjukkan pengaturan penguasa terhadap persoalan pangan. Lonjakan harga tentu sangat membuat rakyat menderita dan menjerit karena menambah beban hidup mereka. Belum usai pandemi membuat ekonomi rakyat babak belur, kini ditambah lagi dengan lonjakan harga pangan.


Tampak sekali penguasa memang minim empati, bahkan “ghosting” (tiba-tiba menghilang) tidak bertanggung jawab atas kondisi demikian. Padahal, rakyat butuh solusi untuk memenuhi kebutuhan bahan pokoknya sehingga seharusnya pemerintah memerhatikan harga kebutuhan pokok di pasar yang meliputi tingkat permintaan, ketersediaan stok, baik dari produksi domestik juga impor, dan kelancaran dalam distribusi hingga ke retail.

Namun, justru yang terjadi pemerintah hanya berkutat pada perkara teknis dalam kebijakan neoliberalnya. Alih-alih mengantisipasi lonjakan harga pangan dengan menggelar operasi pasar, operasi pasar yang menyasar konsumen dilakukan dengan menggandeng pihak ketiga yakni korporasi. Lagi-lagi menguntungkan korporasi meski seolah-olah sedang membantu menaikkan daya beli masyarakat.

Masyarakat harus menyadari bahwa masalah lonjakan harga bersumber dari lemahnya fungsi negara mengatur sektor pertanian pangan akibat paradigma kapitalisme neoliberal. Sistem rusak ini memandulkan peran negara. Pemerintah hanya sebatas regulator dan fasilitator, tidak sebagai pengurus urusan rakyat dan pemerintah  malah sibuk mengurus kepentingan para kapital yang menguntungkan kantong para petinggi negara tanpa menghiraukan nasib rakyatnya.


Khilafah Menjaga Stabilitas Harga

Mengapa dalam sistem kapitalisme neoliberal kestabilan harga pangan mustahil terwujud? Karena masifnya korporatisasi pada sektor pangan hingga akhirnya ketahanan dan kedaulatan pangan sulit diwujudkan. Berkuasanya korporasi dalam produksi menyebabkan mayoritas stok pangan berada pada swasta, tidak dalam kendali negara.

Berbeda halnya dalam Khilafah yang terbukti mampu mewujudkan jaminan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat. Khilafah memiliki beberapa mekanisme jitu mengantisipasi gejolak harga. Pertama, menjaga ketersediaan stok pangan agar permintaan dan penawaran menjadi stabil. Khilafah berperan penting dalam mengatur sektor pertanian demi menjamin produksi pertanian di dalam negeri berjalan maksimal.

Di samping itu, Khilafah menggunakan teknologi yang mampu memprediksi cuaca serta iklim, melakukan mitigasi bencana alam yang dapat memengaruhi kebutuhan pangan masyarakat. Kedua, Khilafah menjaga rantai tata niaga dengan mencegah dan menghilangkan distorsi pasar, mengharamkan penimbunan, mengharamkan riba serta praktik tengkulak dan kartel.

Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah saw. melarang penimbunan makanan.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi). Namun, Khilafah juga tidak akan mengambil kebijakan penetapan harga karena hal tersebut dilarang dalam Islam. Rasul saw. bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi).

Kita merindukan masa kegemilangan Islam kembali menaungi kaum muslim dan dunia. Sebab, penguasa (Khalifah) dalam Khilafah tidak tinggal diam jika ada perkara yang menyulitkan rakyatnya. Seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar yang begitu ketat melakukan pengawasan terhadap orang-orang yang bertransaksi jual-beli di pasar.

Khalifah Umar senantiasa mengajak masyarakat agar bertransaksi sesuai dengan aturan syariah. Bahkan ia menunjuk beberapa petugas pengawas di pasar. Ia berkeliling di pasar-pasar sambil membawa cemeti dan menegur orang yang melanggar aturan dengan cemeti tersebut.

Sungguh Khalifah Umar sangat memerhatikan siapa saja yang bertransaksi di pasar. Ia mengatakan, “Tidak diperkenankan berjualan di pasar-pasar milik kami orang yang tidak mengetahui masalah riba dan telah ber-tafaqquh (mendalami hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama).” (Al-Kattani,Nizham al-Hukumah al-Islamiyyah, 2/17).

Islam telah menetapkan kaidah-kaidah perdagangan yang mampu memperbaiki kondisi pasar, mengatur peredaran barang, dan menjamin stablilitas harga. Tidak akan ditemukan praktik penipuan, monopoli, dll. Kesungguhan Khalifah dalam menetapkan kebijakan yang bersifat komprehensif melenyapkan segala kerusakan dan mengatur perdagangan.

Hal itu tidak akan pernah terwujud dalam sistem kapitalistik neoliberal. Justru dalam sistem ini, penguasanya “ghosting” saat dibutuhkan rakyat. Sementara kondisi rakyat antara hidup dan mati. Bisa makan atau tidak menahan lapar. Sungguh miris kondisi umat jika masih bertahan hidup dalam sistem yang bobrok ini. Wallahualam.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama