Derita Sang Pelita Tanggung Jawab Siapa



Oleh : Mu’allimah

(Pemerhati Anak dan Generasi)


Kehadiran corona yang melanda dunia semenjak akhir desember 2019 sampai saat ini telah begitu banyak membawa korban tak terkecuali anak-anak. Kehidupan anak yang bebas sesuai dengan usianya menjadi terenggut seketika karena adanya keharusan menghindari kerumunan atau _social distancing_ sehingga mau tidak mau mereka terkurung dalam rumah dalam jangka waktu tertentu. 


Segala sesuatu dilakukan dari rumah baik itu _work from home, study from home_ dan seterusnya. Alhasil tidak semua orang tua begitu juga lingkungan bahkan pemangku kebijakan juga tidak siap dengan keadaan ini. 

Mengiringi situasi yang seperti ini berbagai peristiwa memilukan pun terjadi pada anak-anak. 


Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, merasa miris melihat kasus kekerasan terhadap anak tetap tinggi di masa pandemi, saat dimana mereka justru terus dekat dengan keluarga. 


Berdasarkan catatannya, ada 2.726 kasus kekerasan terhadap anak sejak Maret 2020 hingga Juli 2021 ini dan lebih dari setengahnya merupakan kasus kejahatan seksual. (Republika.co.id, Selasa, 07 September 2021). 


Dari jumlah tersebut, sebanyak 52 persennya merupakan kasus kekerasan seksual. Arist mengungkapkan, kasus kekerasan seksual itu bukan hanya perkosaan, tetapi juga serangan persetubuhan yang dapat berupa sodomi, hubungan seks sedarah dan lainnya.


Mirisnya lagi kasus itu pun terjadi bukan hanya kasus orang per orang, tapi juga dilakukan secara bergerombol. Bahkan lebih memilukan lagi pelaku kekerasan seksual itu adalah orang terdekat, yakni bapak atau pamannya. 


Pertanyaannya kemudian adalah jika di dalam rumah saja mereka tidak aman bagaimana dengan yang diluar sana. Mengapa masalah seperti ini terus ada dan tidak ada kata tuntas. 


*Akar pemicu kekerasan anak*


Sebagaimana dinyatakan oleh Kementrian Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPA) bahwa tren angka jumlah kekerasan mengalami peningkatan. Namun, peningkatan tersebut dinyatakan tidak begitu signifikan pada masa pandemi ini jika dibandingkan dengan 2020 dan 2019. 


Sepintas lalu pernyataan seperti ini seolah aman tidak mengapa. Tetapi tetap saja ancaman itu begitu nyata sehingga tidak boleh hanya puas pada signifikan atau tidaknya angka itu, karena faktanya korban sudah berjatuhan dan pertaruhannya adalah masa depan mereka yang terhempas tersebab beban mental yang tak terperikan.


Salah satu penyebab terjadinya kekerasan ini menurut Arist adalah karena menganggap anak itu properti, dianggap hak milik sehingga suka-suka orang tua saja. Jika demikian bukankah ini menyamakannya dengan budak. 


Di samping itu menurut Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, terpusatnya aktivitas di rumah serta hilangnya pekerjaan membuat stres semakin meningkat. Kemudian masyarakat sudah mulai _aware_ akan isu perlindungan anak sehingga berani melaporkan setiap kasus yang terjadi. 


Namun sejatinya jika dicermati lebih dalam akar dari semua ini adalah diterapkannya sekulerisme dalam kehidupan bernegara. Agama dipisah dari kehidupan sehingga praktis mulai dari level masyarakat hingga penguasa tidak mendasarkan segala perbuatannya pada kaidah agama yakni halal haram akan tetapi didasarkan pada aspek manfaat, aspek untung, _as long as you happy_ lakukan tanpa pedui rambu-rambu halal haram. Jika sudah begini siapa yang dirugikan.


Orang tua yang tidak memiliki pemahaman agama cenderung menyalahgunakan amanah Allah ini dan tidak berfikir jauh bahwa mereka ini adalah penerus generasi, masa depan dan juga investasi yang bersifat jangka panjang sekali yakni dunia akhirat. Jika anak sudah terluka mentalnya dan tidak disembuhkan secara tuntas maka beban itu nanti akan terus menghantui mereka dan bahkan bisa berpotensi untuk mendorong mereka menjadi pelaku kekerasan.


Kebijakan yang selalu reaktif tanpa menyentuh akar persoalan menjadikan kasus yang sama, atau bahkan varian-varian terbaru selalu muncul seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi. 


Hal itu menunjukkan abainya penguasa yang sampai hari ini tidak serius dalam menuntaskan persoalan ini sehingga belum mampu menghentikan wabah kekerasan terhadap anak.. Pemberlakuan hukuman yang tidak mengakomodasi keadilan telah menjadikannya timpang dan suram. 


*Islam melindungi generasi*


Sebagai agama yang sempurna Islam memberikan perhatian yang optimal dalam setiap aspeknya tak terkecuali perlindungan terhadap anak. 


Anak adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah SWT. Mereka memiliki nilai strategis karena mereka adalah penerus generasi, pengisi dan sekaligus penjaga peradaban sehingga islam memperlakukan mereka secara istimewa.  

Selama berabad-abad Islam telah terbukti melakukan pengurusan secara optimal. 


Penyelesaian problem anak di Indonesia membutuhkan perubahan sistem. Sistem ideal tersebut adalah Islam, yang bisa menjamin kesejahteraan dan kehormatan anak-anak generasi penerus islam.


Naungan sistem islam, memungkinkan sistem islam dan politik yang berpadu dan selaras. Harmoni tersebut sangat memadai untuk tumbuh kembang generasi emas yang kuat, produktif dan bertakwa.


Sejarah gemilang sistem islam terbukti menjamin semua itu. Langkah nyata yang tepat adalah melakukan evaluasi mendasar  yang menyeluruh terhadap hasil kebijakan terkait perlindungan anak.

Bila banyak kebijakan yang kontradiktif dan kontraproduktif dengan misi perlindungan anak. 

Selayaknya semua pihak berkomitmen melakukan perubahan yang dimaksud bukan sekedar revisi  perundang-undangan anak atau menggagas peraturan baru, namun yang dibutuhkan adalah adanya perubahan sistem yang mendasar.


Khilafah Islamiyah adalah sistem politik yang menjadi pelindung umat. Sistem itu menjamin kebutuhan dasar umat hingga terwujud kesejahteraan. 


Karena Khilafah tidak akan berkompromi dengan kepentingan materi dan membiarkan merebaknya pemikiran maupun perilaku rusak, seperti kekerasan dan kepornoan di tengah umat.


Islam tebukti kompatibel mengayomi negara plural sejak Rasul memerintah Madinah. Secara & _I’tiqadi_ dan empiris, yakin bahwa khilafah Islamiyah merupakan satu-satunya sistem yang cocok untuk Indonesia secara khusus dimana mayoritas penduduknya beragama Islam dan dunia pada umumnya.


Tentu hal ini hanya menjadi sekedar wacana saja jika para stake holders terkait yakni para pemangku kebijakan tidak memiliki _good will_ sekaligus _political will_ untuk melakukan perubahan secara mendasar dengan mengambil Islam sebagai satu-satunya landasan yang benar dalam mengatur urusan rakyat.


Diperlukan kerja keras, kerja cerdas untuk mengajak dan meyakinkan rakyat bahwa hanya dengan penerapan islam secara kaffah sajalah mereka akan mendapatkan keadilan bukan dengan cara moderasi beragama seperti yang diaruskan penguasa saat ini.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama