Beri sanksi Tegas Bagi Penista Agama, Jangan Beri Jalan !

 


Oleh : Punky Purboyowati (Pena Cendekia)


Berulangnya kasus penistaan terhadap agama Islam sungguh membuat geram. Pasalnya, penistaan agama berulang kali terjadi dari tahun ke tahun. Yang sangat mengejutkan adalah pelakunya seorang muallaf. Bagaimana bisa seorang muallaf melakukan penistaan terhadap agama Islam? Apakah hukum yang diberlakukan masih belum membuat jera?


Ialah Ferdinand Hutahaean, ia dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh DPP KNPI karena cuitannya di Twitter yang diduga bermuatan ujaran kebencian mengandung unsur SARA. Melalui unggahan akun Twitternya @FerdinandHaean3 pada Selasa, 4 Januari 2022, ia mengatakan bahwa Allah SWT itu lemah, berbeda dengan Allah yang Ferdinand Hutahaean yakini. "Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, DIA lah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu di bela," cuit Ferdinand Hutahaean. Kalimat yang ditulisnya di itu lantas menimbulkan kontroversi sehingga berujung pelaporan dirinya ke polisi. (tangerang.pikiran-rakyat.com, 8/1/2022).


Sebaliknya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas meminta masyarakat agar tidak buru-buru menghakimi Ferdinand Hutahaean terkait cuitannya tanpa didasari informasi yang komprehensif. Yaqut lantas meminta semua pihak untuk menghormati proses hukum yang kini tengah berjalan di kepolisian. Menurutnya, sangat mungkin hal itu terjadi karena Ferdinand berstatus muallaf sehingga belum memahami agama Islam secara mendalam. "Termasuk dalam hal akidah. Jika ini benar maka Ferdinand membutuhkan bimbingan keagamaan, bukan cacian. Untuk itu, klarifikasi (tabayyun) pada kasus ini adalah hal yang mutlak,". (cnnindonesia.com, 7/1/2022).


//Mempermainkan Agama Ciri Khas Sekuler//


Kasus penistaan agama bisa dilakukan oleh siapa saja, entah ia muslim (muallaf) ataupun Non muslim. Namun siapa sangka bila penista agama Islam adalah seorang muallaf. Bila ia seorang muallaf harusnya ia sudah meninggalkan keyakinannya yang dulu. Namun justru cuitannya seperti ada yang janggal. Mengapa disaat ia dilaporkan, dirinya mengaku seorang muslim? Bukankah sikapnya justru menodai ajaran agama Islam itu sendiri? Artinya secara sadar atau tidak, sebagai manusia yang berakal tentu hal itu tergolong mempermainkan agama. 


Yang lebih anehnya lagi, disaat agama Islam dihina justru mendapat pembelaan dari Menteri agama. Bukankah sikap pak menteri ini semakin menyakiti hati seluruh umat Islam di dunia? Lalu di manakah keberpihakan pada umat Islam yang notabene Islam selalu mendapat hinaan dari berbagai sisi, padahal umat Islam dan agamanya perlu mendapat pembelaan? Alasan pembelaan terhadap muallaf tidaklah tepat. Sebab masalah dan hukumnya sudah berbeda. 


Harusnya seorang menteri agama atau siapapun ia yang mengaku seorang muslim yang benar-benar beriman pada Allah SWT dan RasulNya, hendaknya memutuskan perkara di tengah masyarakat lebih hati-hati. Sehingga tidak memutuskan suatu masalah dari satu sisi sementara sisi yang lainnya tidak berlaku, apalagi dengan alasan melihat kondisi. Padahal hukum Islam tidak boleh berubah sesuai kondisi jika hukumnya bersifat pasti seperti perkara akidah. Seperti halal dan haram yang merupakan hukum yang sudah pasti tidak mengalami perubahan apatah lagi jika dicampuradukkan. Maka status muallaf dan penistaan jelas suatu perkara yang berbeda.


Alhasil, antara penistaan dan pembelaan -terhadap penista- merupakan ciri khas Sekuler. Siapapun bebas melakukan perbuatan tanpa ikut campur tangan agama. Artinya, agama hanya boleh mengatur masalah ibadah saja sementara dalam praktek hukum Islam tidak boleh diberlakukan apalagi atas nama HAM (Hak Asasi Manusia). HAM melindungi kebebasan manusia secara mutlak sekalipun melanggar agama. Karena cara hidup dalam Demokrasi Sekuler mengatur HAM dengan empat kebebasan. Yaitu, kebebasan beragama, kebebasan individu, kebebasan memiliki, dan kebebasan berpendapat. Maka perkara penistaan agama termasuk dalam kebebasan berpendapat yang kebablasan.


//Tak Boleh Ada Jalan Bagi Penista//


Melihat berulangnya kasus penistaan agama sangatlah wajar, sebab subur dalam sistem Demokrasi Sekuler. Siapapun bebas menghina dan siapapun bebas membela. Seolah tak terlihat lagi letak kebenaran dan kesalahan. Benar dan salah dilihat dari cara pandang manusia, artinya manusia bebas menentukannya sesuai hawa nafsu. Hukum bisa diobok-obok sesuai kehendak manusia. Karena itulah akal manusia dijadikan sumber hukum dalam memutuskan berbagai solusi, bukan lagi agama. Benar saja hukum yang dihasilkan bersifat tak permanen dan tak berefek jera bahkan seperti tebang pilih. 


Maka hukum sanksi bagi para penista tak boleh berasal dari hukum Demokrasi Sekuler sebab tetap tak mampu menjerakan dan tak mampu menghentikan para penista. Yang mampu menjerakan dan menghentikannya harus hukum sanksi yang berasal dari sistem Islam kaffah. Yaitu dalam hal ini negara Islam yang berhak memberlakukan sanksi berupa hukum takzir bagi penista tersebut tanpa tebang pilih. Hukum takzir dilaksanakan oleh seorang Qadhi (hakim). Takzir dibebani pada seseorang sesuai dengan derajat kejahatan yang dilakukan. Maka hukuman berat adalah hukuman mati. 


Begitulah sikap Tegas negara Islam terhadap perkara yang menyangkut akidah. Memberi peringatan dengan sistem uqubat agar masyarakat senantiasa berhati-hati dalam berbuat. Dalam perkara akidah, sistem Islam sangat menghargai umat agama lain. Inilah yang disebut dengan toleransi beragama. Bahkan sedini mungkin menjaga umatnya dari hal-hal yang dapat memicu konflik agama, seperti menghina agama lain. Dengan sanksi tegas yang diterapkan negara, akan menghasilkan ketentraman dan tercipta kerukunan antar umat beragama.


Sehingga umat Islam tak lagi kawatir dengan agamanya sebab ada penjaga dan pelindung yaitu negara Islam. Berbeda dengan kondisi saat ini, umat Islam tak ada yang membela bahkan jauh dari kerukunan di antara umat Islam. Alhasil seperti buih di lautan, jumlahnya banyak namun kondisinya tercerai berai. Saatnya umat Islam mendapat haknya kembali dan terlindungi kehormatannya sebagaimana zaman ketika sistem Islam diterapkan. Yaitu disaat seorang Khalifah tak kan memberi kesempatan sejengkalpun bagi penista menghina Islam. Istilah lain tak ada jalan bagi penista. Sanksi dan sikap seperti itulah yang mestinya dilakukaan saat ini.

Wallahu a'lam bisshowab.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama