Utang Berkelindan, Rakyat Menjadi Korban



Oleh : Nita Savitri


Sudah jatuh ketimpa tangga, peribahasa yang tepat bagi kondisi buruk yang makin terpuruk. Hal ini amat tepat dengan kondisi negeri yang terlilit utang yang tidak jelas kapan lunas. Utang yang berkelindan membelit negeri tercinta, mewariskan keterpurukan yang berkelanjutan.


Membengkaknya utang pemerintah tercatat oleh Kemenkeu sebesar Rp 6.687,28 triliun. Utang ini setara dengan 39,69% Produk Domestik Bruto (PDB), per akhir Oktober 2021. utang ini meningkat tajam yakni Rp 809,57 triliun dibanding September 2020. Pada tahun lalu di periode yang sama utang berada di level Rp 5.877,71 triliun dengan rasio 37,84% terhadap PDB (CNBCIndonesia,, 29/11/21).


Bank Dunia mencatat Indonesia menduduki peringkat ketujuh, sebagai negara penghutang terbanyak di dunia. Besaran utang yakni 402,08 miliar dolar Amerika Serikat. Jika kurs rupiah saat ini berkisar Rp14.780, maka total keseluruhan hutang Indonesia adalah Rp5,94 triliun (Suara.com, 12/12/21).


Utang ini adalah akumulasi utang yang mulai membengkak dari 2009 berlanjut hingga sekarang. Namun, pemerintah masih menganggap sebagai hal yang wajar, dan terkendali, mengingat masih lamanya jangka pelunasan. Adanya utang luar negeri ini, senantiasa dikelola secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel. Diutamakan untuk mendukung belanja prioritas Pemerintah, termasuk kelanjutan upaya mengakselerasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).


Program tersebut mencakup dukungan pada sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (17,9 persen dari total ULN Pemerintah), sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (17,3 persen), sektor jasa pendidikan (16,5 persen), sektor konstruksi (15,5 persen), dan sektor jasa keuangan dan (12,1 persen) untuk asuransi (Liputan6.com,15/11/21).


Sungguh memprihatinkan, adanya utang sebagai solusi masalah finansial. Hal ini membuktikan minimnya pendapatan negara. Sehingga tidak mampu mencukupi biaya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Padahal negeri ini amatlah kaya dengan sumber daya alam dan mineralnya. Sumber daya manusianya pun memiliki potensi yang luar biasa dengan jumlah penduduk usia produktif yang melimpah. Tentunya terdapat penyebab yang membuat negeri ini terjebak dengan utang berkepanjangan.


Utang, Senjata Tuk Melemahkan Negara


Amerika sebagai pemegang kendali dunia, telah mempunyai metode untuk menyebarkan dan menguatkan ideologi kapitalisme. Metode dengan melakukan penjajahan gaya baru. Penjajahan tidak lagi bersifat fisik, namun lebih melunak dengan penjeratan utang luar negeri. Merampas kekayaan alam dengan dalih investasi. Negara yang tunduk dengan kehendak Amerika, maka berbagai kerja sama bilateral pun digelar. Dengan adanya pemberian utang sebagai pemanis hubungan. Inilah yang diterapkan Amerika dan sekutunya, serta mitra/pesaingnya yaitu China.


Utang ribawi pun disuguhkan kepada negara-negara berkembang. Dalih untuk membantu pembangunan negara dipakai sebagai pelicin tujuan. Utang yang menumpuk akan menjadi senjata untuk menundukkan suatu negara. Sebagaimana Indonesia terjerat utang kepada China, nilainya meningkat enam kali lipat, dihitung dari 2011 sampai April 2021. Yaitu sebesar 310 trilliun atau setara US$21,44 miliar (CNNIndonesia, 24/6/21).


Maka bermodal utang yang diberikan, maka negara kaya akan mampu mendikte/menekan negeri yang terlilit utang. Mulai serangkaian kebijakan hingga pembuatan Undang-Undang yang menguntungkan keberadaan mereka selaku pemilik dana besar. Kemudahan ijin investasi asing pun seakan tidak asing keluar dari pemimpin tertinggi negeri ini.


Investasi adalah kelanjutan dari utang yang berujung kesepakatan. Semakin banyak utang, akan memberi peluang banyaknya investasi. Hal ini berdampak berubahnya tata kelola aset negara. Jika dikelola negara, ada pertimbangan demi rakyat. Bila asing/swasta yang mengelola, maka alasannya demi keuntungan materi saja.


Islam Pembebas Utang Ribawi


Islam sebagai agama yang mengatur kehidupan, telah menggariskan secara tegas larangan terjerumus dalam riba. Baik untuk skala individu, maupun negara. Adanya riba, termasuk perbuatan yang termasuk dosa besar (QS. Al-Baqarah:275). Juga adanya hadits Dari Abdullah bin Hanzhalah ghasilul malaikah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan sadar, jauh lebih dahsyat dari pada 36 wanita pezina." (HR. Ahmad).


Sehingga Islam hanya membolehkan utang yang tanpa riba, itupun tidak berkepanjangan. Negara dengan sistem Islam akan mempunyai sumber pendapatan melimpah untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya. Adanya sumber daya alam akan dikelola secara mandiri tanpa campur tangan asing/swasta. Semua pengelolaan akan mengikutsertakan rakyat sebagai tenaga kerjanya. Bertujuan untuk kesejahteraan rakyat bukan sekelompok golongan seperti tata kelola kapitalis.

Selain itu juga adanya sumber pendapatan dari Fai’ dan ghanimah (harta rampasan perang), jizyah ( pungutan kepada kafir dhimmi), kharaj (pajak dari tanah yang ditaklukan) serta kekayaan negara lainnya yang akan membuat negara berlepas dari utang yang menyengsarakan.


Wallahu'alaam bishawwab

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama