By : Khansa Alma
Kemelut perekonomian Indonesia kian meresahkan, menyisakan berbagai permasalahan pelik dan memperpanjang daftar PR besar negara. Baru-baru ini, berdasarkan laporan Bank Indonesia Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia meningkat 3,7 % menjadi USD 423,1 miliar setara di angka 6.000 triliun pada akhir kuartal III 2021 secara kuartalan utang tumbuh 2%. (https://www.google.com/amp/s/ekbis.sindonews.com/newsread/601989/33/utang-luar-negeri-ri-bengkak-jadi-rp6000-triliun-pemerintah-bisa-bayar-nggak-ya-1637133113)
Kenaikan hutang dinilai perlu diwaspadai karena dianggap terlalu tinggi melampaui growth dari uang swasta. Tidak ada konektivitas antara pertumbuhan utang sektor publik dengan riil ekonomi. Hal tersebut menunjukkan peningkatan utang tidak efisien.
Dikatakan hutang efisien dan produktif ketika dibelanjakan untuk kepentingan peningkatan industrialisasi, penurunan biaya logistik atau penunjang konektivitas antar wilayah. Sehingga efektivitas akan tercermin pada aktivitas ekonomi.
Jauh dari hal itu, tentu masalah vital yaitu kesejahteraan dalam hal pangan, sandang dan papan, juga keterjaminan kemudahan akses pendidikan dan layanan kesehatan adalah nominasi utama yang harus diselesaikan.
Sebut saja angka kemiskinan yang dirilis oleh BPS dalam laporannya bahwa pada Maret 2021 sebesar 10,14% atau sebanyak 27,54 juta jiwa penduduk Indonesia berstatus miskin dengan garis kemiskinan di angka Rp 454.652 per kapita per bulan. (https://smeru.or.id/id/content/situasi-kemiskinan-selama-pandemi). Fakta di lapangan tentu lebih banyak lagi realitas kemiskinan terlebih dianggap tidak miskin dengan melewati garis kemiskinan yang di tetapkan BPS. Padahal uang dengan jumlah minimun tersebut, untuk memenuhi kebutuhan pokok pun masih jauh dari angka layak. Terlebih dengan semua yang serba mahal dan serba bayar. Tidak ada yang gratis.
Mengurai Benang Kusut
Lagaknya, rakyat ini dimiskinkan oleh sistem. Kemiskinan dimana-mana, gelandangan, kelaparan pun juga gizi buruk. PR besar bagi rezim yang berkuasa saat ini. Di tengah berbagai macam himpitan, terlebih pandemi yang masih ada, mengoyak perekonomian rakyat hingga betul-betul tiarap. Ke mana tempat mengadu rakyat kalau bukan kepada penguasanya. Berharap ada secercah cahaya mengurai kepelikan masalah hidup dan kesejahteraan.
Belum habis peluh lelahnya rakyat, justru rakyat di suguhi dengan jeratan hutang ribawi penguasanya, yang semakin bejibun triliun. Katanya atas nama rakyat, untuk kepentingan rakyat, akhirnya semua tagihan pun harus dibayar rakyat. Padahal di sisi lain, mana realnya uang hutang yang digembor-gemborkan untuk rakyat? Rakyat masih saja kelaparan, miskin, serba mahal, serba sulit dan sempit. Sudah jatuh tertimpa tangga, sakit kelaparan ditambah beban hutang dan meroketnya berbagai macam harga barang juga pajak di semua komoditas. Tercekik rasanya.
Dalam kacamata kapitalis, Hutang menjadi solusi utama setelah pajak dalam keberlangsungan negaranya. Semua permasalahan rakyat, solusinya hutang. Tingginya kemiskinan, tingginya angka putus sekolah, biaya kesehatan dan pendidikan dan semua hajat hidup rakyat lainnya adalah dengan hutang.
Pemimpin kapitalis menjadikan rakyatnya sebagai tumbal yang harus menerima semua derita. Bukan objek yang harus diperjuangkan kesejahteraannya. Akhirnya, rakyat dan penguasa layaknya hubungan dagang yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dari rakyatnya. Solusi masalah hutang pun tidak tepat sasaran karena berfokus pada peningkatan sarana dan prasarana yang menjadi ajang bisnis, dan ternyata buntung juga.
Sungguh menyedihkan, di saat negara bersudut pandang kapitalis menjadikan kepemimpinan berfikir dalam menyelesaikan semua permasalahan dalam kehidupan dengan asas manfaat. Umat semakin kehilangan harapan, di titik apatis. Sudah tidak percaya dengan penguasanya. Penguasa yang diharapkan mengayomi justru mengangkangi untuk kepentingan kemakmuran pribadi. Sedih bertubi-tubi mendera rakyat.
Sudut pandang yang hanya berfokus pada hutang dan pajak adalah gaya solusi kapitalis. Dengan paradigma bahwa kekayaan alam bukan sepenuhnya milik rakyat, tapi bisa di privatisasi atau swastanisasi. Sehingga berharap pada sistem kapitalis yang mengungkung negeri untuk memberi solusi adalah harapan kosong dalam penderitaan. Perlu ada solusi shahih dengan aturan shahih dan menjamin hajat hidup rakyat.
Islam adalah Solusi
Hajat hidup primer merupakan suatu keharusan. Tetapi bukan solusi pemenuhan dengan membuka hutang jor-joran terlebih salah sasaran seperti yang tersebut di atas bagaimana kapitalis memberi solusi.
Islam hadir dengan seperangkat aturan lengkap untuk semua aspek kehidupan. Bukan sebatas agama ritual sekedar pemenuhan kebutuhan manusia atas naluri beragama saja. Tetapi Islam memberi solusi tuntas semua problematika kehidupan. Termasuk di dalamnya sistem ekonomi Islam dan sistem pemerintahan Islam berdasarkan ideologi Islam. Kelebihannya, aturan yang hadir dari Sang Khalik tentu shahih dan sesuai dengan manusia. Tidak dzalim dan tidak merusak apalagi menyengsarakan. Sebaliknya, aturan yang dibuat manusia hanya memunculkan kerusakan, kedzaliman dan kesengsaraan berkepanjangan.
Dalam Islam, kebutuhan primer rakyat dipenuhi dari pengelolaan sumber daya alam, dan haram untuk dikuasai individu. Sebagaimana sabda Rasulullah:
اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api; dan harganya adalah haram. (HR. Abu Dawud)
Tergambar dengan jelas bahwa kekayaan alam adalah harta rakyat untuk kesejahteraan umat, pemenuhan hajat utama yaitu sandang, pangan, papan dan juga pendidikan, kesehatan serta keamanan. Negara menjadi wakil pengelola yang harus dikembalikan kepada rakyat dengan cuma-cuma atau sebatas mengganti uang pengelolaannya. Tidak boleh dibisniskan.
Negara pun akan memastikan terlaksananya zakat fitrah dan zakat mal bagi mereka yang kaya dengan harta kekayaan yang sudah mencapai nishabnya. Diperuntukkan untuk 8 asnaf yang berhak mendapatkannya. Salah satunya adalah fakir miskin. Sehingga kekayaan yang beredar tidak hanya kepada segelintir orang, terlebih para cuan. Hal tersebut membantu menyelesaikan kemiskinan setelah peran negara optimal menyediakan hajat hidup dengan gratis atau setidaknya murah.
Hutang adalah solusi akhir, setelah berupaya mengelola sumber daya alam dan juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk kemajuan hidup. Tentu dalam Islam sebuah negara hanya diperbolehkan mengambil hutang tanpa bunga. Dan itu hal yang mustahil dalam sistem kapitalis. Lagi, pengelolaan yang rinci dan amanah tidak akan di dapatkan dalam sistem kapitalis sekuler.
Umat butuh secercah harapan, mengembalikan asa yang kian terkikis. Butuh pemimpin yang adil, sistem yang shahih. Sistem aturan hidup dengan melandaskan syariat dari-Nya, bukan aturan buatan manusia penuh kepentingan dan hawa nafsu penguasa. Justru mengobrak-abrik tatanan kehidupan, umat terperosok dalam penderitaan berkepanjangan.
Seorang pemimpin di dalam bingkai sistem Islam keberadaannya memimpin semata berlandaskan ketaqwaan. Dan memimpin adalah urusan panjang bagaimana nanti kaitannya dengan hisab yang berat. Maka periayahan kepada masalah umat menjadi prioritas utama. Semata-mata mencari keselamatan di hadapan Allah. Hal ini tidak akan kita temukan dalam sistem kapitalis yang sekuler. Saatnya merenda kembali harapan, dengan menghadirkan pemimpin yang shaleh dan menegakkan sistem Islam kaffah ditengah-tengah kehidupan. Mewujudkan keberkahan dalam seluruh aspek kehidupan.
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْن.
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf : 96)
Wallahu A'lam