Oleh : Siti Nur Rahma (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Nampaknya rakyat harus siap-siap mendapatkan kejutan awal tahun di tahun 2022. Hal ini dikarenakan pemerintah telah merencanakan kenaikan tarif dasar listrik untuk masyarakat pelanggan listrik nonsubsidi.
Pemerintah bersama dengan Badan Rencana Anggaran ( banggar) DPR RI berencana menerapkan kembali tarif adjusment ( tarif penyesuaian) di tahun depan seiring dengan membaiknya kondisi Pandemi Covid-19. ( Tribunnews.com). Kenaikan TDL dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2022 secara merata setelah beberapa tahun tidak ada kenaikan pada pelanggan golongan bersubsidi
Adapun beberapa alasan pemerintah hendak menaikan tarif dasar listrik untuk pelanggan nonsubsidi adalah yang pertama adanya fluktuasi pergerakan kurs dolar AS, harga minyak mentah dunia ( ICP), dan inflasi. Diantara tiga faktor tersebut, harga minyak dunia adalah faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi kenaikan tarif listrik bagi pelanggan nonsubsidi. Pasalnya bahan bakar pembangkit tenaga listrik, batu bara misalnya, dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak dunia.
Yang kedua adalah menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana, seperti dikutip Antara, Selasa, (1/12/2021) selama empat tahun belakangan, pemerintah telah menahan TDL untuk pelanggan nonsubsidi. Dengan adanya daya beli masyarakat yang sangat rendah, pemerintah harus memberi kompensasi kepada PLN yang telah menjual listrik dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksi. Sehingga pada tahun 2022, pemerintah melakukan tarif adjusment kepada 13 golongan nonsubsidi untuk menjaga daya beli masyarakat dan daya saing industri.
Sungguh kenaikan tarif listrik akan sangat berdampak pada keberlangsungan hidup rakyat banyak. Meskipun kenaikan ditujukan kepada pelanggan rumah tangga mampu dan ranah industri, namun dampak yang harus ditanggung akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh biaya produksi dari ranah industri yang ikut naik seiring dengan kenaikan tarif listrik, maka barang komoditi hasil produksi juga akan mengalami kenaikkan. Hal ini sudah sering terjadi dan membuat rakyat menengah kebawah akan juga merasakan mahalnya harga barang-barang keperluan rumah tangga. Maka butuhnya perhatian terhadap kebijakan kenaikan tarif listrik perlu diulas kembali.
Pertanyaannya kemudian adalah, dengan kenaikan tarif listrik apakah akan meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat? Fakta yang sudah pernah dirasakan oleh rakyat banyak, adalah sering terjadinya pemadaman listrik bergiliran yang tentu akan merugikan masyarakat. Hal ini karena akan mempengaruhi barang-barang elektronik yang juga akan mudah rusak jika sering padam. Meskipun harapan terhadap peningkatan pelayanan listrik kepada masyarakat harus ditingkatkan, namun rakyat akan tetap menjerit atas "setruman" kenaikan TDL bagi semua golongan.
Adapun beberapa golongan pelanggan nonsubsidi yang disasar akan mengalami kenaikkan tarif listrik berdasarkan data Kementerian ESDM adalah:
1. Pelanggan rumah tangga dengan daya 1.300 VA,
2. Pelanggan rumah tangga dengan daya 2.200 VA,
3. Pelanggan rumah tangga dengan daya 3.500 sd 5.500 VA
4. Pelanggan rumah tangga dengan daya 6.600 VA ke atas
5. Pelanggan bisnis dengan daya 6.600 sd 200 kVA
6. Pelanggan pemerintah dengan daya 6.600 sd 200 kVA
7. Penerangan jalan umum
8. Pelanggan rumah tangga daya 900 VA rumah tangga mampu (RTM)
Tegangan Menengah:
9. Pelanggan pelanggan bisnis daya >200 kVA
10. Pelanggan industri >200 kVA
11. Pelanggan pemerintah dengan daya >200 kVA,
12. Layanan khusus, tarifnya Rp 1.644,52 per kWh.
Tegangan Tinggi:
13. Industri daya >30.000 kVA.
Pada ranah industri yang tak mampu menanggung beban biaya produksinya, bisa saja hal ini membuat kebijakan untuk mem-PHK karyawannya. Lagi-lagi rakyat yang akan menanggung beban hidup akibat TDL naik.
Sejatinya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat terhadap pasokan listrik adalah kebijakan wajib yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Namun, watak kapitalisme yang menjadi acuan dalam melayani rakyat, tak ubahnya negara seperti memerankan diri sebagai pedagang yang menjual layanan energi yang bersumber dari milkiyah ammah kepada rakyat. Tak heran jika negara senantiasa pusing dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, sebab pengelolaan ekonomi yang kapitalistik membuat "kehabisan modal" dalam pelayanannya.
Beda halnya dengan sistem kepemilikan umum yang diajarkan oleh Islam. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: Padang rumput, air dan api"
Hadis tersebut menunjukkan bahwa padang rumput, air dan api yang terdapat di alam ini merupakan kepemilikan umum. Artinya tidak diperbolehkan Individu atau pihak asing menguasainya. Sehingga peran negara dalam mengelola tiga perkara tersebut adalah wajib untuk bisa didistribusikan merata kepada rakyat. Termasuk batu bara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik yang merupakan kriteria api yang dimaksud dalam hadis, maka juga wajib dikelola negara, bukan swasta atau individu. Oleh karena itu kenaikan tarif listrik seharusnya tidak membebani rakyatnya.
Negara yang menerapkan sistem Islam akan mengambil kebijakan yang akan melayani rakyat sesuai hukum Islam. Misalnya dalam pelayanan listrik, negara membangun sarana dan fasilitas pembangkit tenaga listrik yang berkualitas untuk kepentingan pasokan listrik, mengeksplorasi bahan bakar listrik, membagikan pasokan listrik murah dan terjangkau, serta mampu mengambil keuntungan untuk kebutuhan rakyat lainnya seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kebutuhan pokok rakyat dengan diterapkannya sistem kepemilikan umum dalam Islam.
Dengan demikian sistem islam mampu mengatasi masalah kenaikan listrik yang rakyat dan menjamin pemenuhan kebutuhan energi rakyat pada kebutuhan lainnya. Wallahua'alam bisshowwab.