Oleh: Anita Ummu Taqillah (Pegiat Literasi)
Penistaan terhadap agama masih terus terjadi. Bagai mati satu tumbuh seribu, para pelaku penista tetap bermunculan dan seolah tidak ada habisnya. Sepanjang tahun 2021 ini, yang paling viral adalah kasus Muhammad Kece dan Jozeph Paul Zhang. Kasus Muhammad Kece masih terus berlangsung proses persidangannya, sedangkan Jozeph Paul Zhang belum ditemukan juga keberadaannya.
Di akhir tahun ini, aksi penistaan kembali terjadi. Dilansir medcom.id (27/11/2021), perugas dari Polsek Bekasi Selatan beesama Polres Metro Bekasi Kota menangkap seorang pria berinisial BF di rumahnya, di Jalan Gugus Depan Raya, Rawalumbu, Kota Bekasi. Pria tersebut diduga melakukan penistaan agama, penyebaran kebencian dan SARA, karena telah berbuat tidak senonoh di media sosial dengan mwnempelkan buku kumpulan doa yang mirip al-Qur'an pada kemaluannya.
Seharusnya kita berkaca dari tahun 2020 lalu, dimana Anggota Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Aditia Bagus Santoso menyebut, ada sebanyak 67 kasus penodaan agama yang terjadi di Indonesia sepanjang 2020. Data tersebut didapat berdasarkan pencarian berita di internet dan di Sistem Informasi Pelayanan Publik (SIPP) Pengadilan Negeri, serta dari putusan Mahkamah Agung. Kasus yang ditemukan adalah mengaku nabi, menghina agama atau simbol agama seperti nama Tuhan, nabi, kitab suci, keluarga nabi, doa dan ibadahnya. Ada juga yang mengajak atau membuat orang pindah agama, siar kebencian, menghalang-halangi ibadah, merusak tempat ibadah dan benda suci yang bertentangan dengan ajaran agama (merdeka.com, 4/7/2021).
Liberalisme Biang Penistaan
Dalam sistem kapitalisme memang menjunjung tinggi kebebasan (liberalisme). Kebebasan tersebut diantaranya, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan pers. Kebebasan berpendapat inilah yang dijadikan tameng para penista untuk seenak hatinya bersuara dan berpendapat. Namun sayang pendapat mereka tentang agama orang lain justru menghina. Karena ketidaktahuan atau memang kesengajaan untuk memecah belah kerukunan umat manusia.
Pasal penjerat penista agama tertuang dalam pasal 156a KUHP, yang berbunyi; "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."
Meskipun jerat hukum bagi para penista sudah jelas, namun nyatanya belum memberikan efek jera. Kasus demi kasus Bermunculan tak bisa dibendung. Lantas, ada apa sebenarnya?
Sayangnya, meskipun terdapat pasal, beberapa kasus seolah menguap kerena sudah meminta maaf. Memang, dalam Islam pun kita diwajibkan saling memafkan, namun dalam kasus penistaan terhadap agama, permintaan maaf saja tidaklah cukup. Proses hukum tetap harus dijalankan. Hal itulah yang akan membuat jera, dan tidak akan nermunculan pelaku-pelaku baru.
Islam Tegas Terhadap Penista
Islam adalah agama yang sempurna. Tidak hanya mengatur urusan ibadah saja, tetapi juga bagaimana mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Termasuk bagaimana harus bersikap dan bertindak keoada pelaku penista. Teringat kisah Rasulullah Saw. ketika pada perang Tabuk ada orang munafik yang menghina beliau dan para sahabat, maka beliau membacakan QS. At-Taubah ayat 66.
Oleh karena itu, para Ulama memasukkan perbuatan penghinaan terhadap agama sebagai pembatal keimanan. Sebagaimana Syikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengagakan bahwa menghina Allah Swt., ayat suci, dan Rasil-Nya adalah oeebuatan kekafiran yang membuat pelakunya kafir setelah beriman.
Maka jika pelaku seorang muslim, atau orang-orang munafik (muslim namun inkar hatinya), akan diberlakukan hukum murtad dimana setelah diingatkan tiga kali tidak mau bertaubat maka hukumannya adalah dibunuh. Sebagaimana yang Allah Swt. firmankan dalam QS. at-Taubah ayat 74 dan QS. al-Ahzab ayat 60-62.
Sedangkan jika pelaku penistaan adalah kaum kafir maka akan dilihat, jika ia adalah dari kafir harby (kafir yang secara terang-terangan memusuhi Islam) maka akan diperangi. Allah Swt. berfirman, "Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allâh belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim." (al-Baqarah: 193).
Namun jika dari kafir dzimmy (kafir yang terikat dengan negara Islam dan membayar jizyah) atau dari kafir yang terikat perjanjian, maka akan dibatalkan perjanjiannya dan akan menjadi hala darah dan hartanya bagi kaum muslim. Hal ini adalah pendapat mayoritas Ulama kecuali mahzhab Hanafiyah.
Demikianlah sanksi yang diberlakukan bagi penista agama. Hendaknya kedepannya sanksi tersebug bisa diberlakukan di negeri ini. Dimana sanksi dalam Islam sejatinya bertujuan sebagai penghapus dosa (jawabir) dan pemberi efek jera pada yang lain (zawajir). Dengan sanksi yang tegas tersebut, niscaya tidak akan bermunculan para penista agama di kemudian hari. Wallahua'lam bishowab.