Pakaian: Bukan Jaminan Takwa, Melainkan Progres Menuju Ketakwaan




Oleh Nahida Ilma (Mahasiswa) 

“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih“. [Al Ahzab/33 : 59]


Berpakaian adalah sesuatu yang mengandung nilai, menunjukkan identitas yang dimiliki seseorang. Berpakaian, juga terkadang jadi simbol tentang status dan peran yang melekat padanya. Islam memerintahkan seorang muslimah untuk berpakaian syar’i, menutup auratnya secara keseluruhan agar menunjukkan identitas kemuslimahannya.

Dewasa ini, pembahasan tentang berpakaian seorang wanita yaitu yang berkaitan dengan berjilbab, berhijab, bagaimana seharusnya seorang perempuan berpakaian, dan topik-topik sejenis, menjadi banyak diperbincangkan. Terlepas apakah itu diaruskan kepada arah positif atau negatif. Pengetahuan bahwa Islam juga mengatur cara berpakaian seorang muslimah, secara tidak langsung teropinikan dengan masif. Walaupun seringkali hal itu masih pada tataran kognitif, belum mencapai aspek afektif dan psikomotor. Fakta yang ada menyuguhkan bahwa *aspek afktif dan psikomotor* pun tidak bisa berjalan secara berurutan. Banyak orang yang sadar akan kewajiban menutup aurat, namun karena dirasa hal itu justru membatasinya dalam bertingkah laku, maka tak sungkan dia menerobos aturan itu dengan dalih-dalih tertentu.

Fakta tidak ideal tentang muslimah yang menutup aurat seringkali menjadi alibi ketidak taatan. Berjilbab yang dirasa membatasi ruang gerak, mengingat masih banyak profesi pekerjaan yang menuntut untuk melepas jilbab. Sikap muslimah yang tidak mencerminkan jilbabnya. Sehingga berjilbab dirasa tidak hadir dari kemauan diri sendiri (internal), tapi justru pengaruh dari eksternal. 

Berangkat dari fakta yang tidak ideal itu, lahirlah pemahaman-pemahaman bahwa pakaian adalah urusan pribadi dan pakaian tidak mencerminkan tingkat ketakwaan hamba pada Tuhannya. Karena tak jarang dijumpai seseorang yang tidak menutup aurat secara syar’i terlihat lebih alim, lebih hanif tingkah lakunya dari pada orang yang menutup aurat secara syar’i. Masalah cabang yang sejatinya berasal dari sesuatu yang lebih dasar. Asas liberalistik yang terus dihembuskan secara halus dan masif, menjadikan segala sesuatu dinilai  sah-sah saja atas nama kebebasan dan mnuntut keamanan ditengah kebebasan yang dia pilih. Padahal, bagaimana bisa keamanan diperoleh ditengah hutan bebas?

Memutuskan menutup aurat secara syar’i memang tidak serta merta menjadikan diri sebagai pribadi yang berperilaku baik atau berakhlak baik. Sejatinya dua hal itu adalah dua hal yang berbeda. Tidak bisa dihubungkan sebagai suatu sebab-akibat. Keputusan untuk berjilbab syar’i adalah langkah awal untuk memperbaiki diri. Memulai kebiasaan-kebiaasan baik yang membentuk kepribadian baik. 

Jika mengatakan, lebih baik menjilbab hati dulu, emangnya mau sampaikan kapan hati selesai dijilbabi? Bagaimana indikator seseorang hatinya sudah selesai dijilbabi dan waktunya dia menjilbabi tubuhnya? 

Berjilbab syar’i bukanlah suatu bentuk pengekangan, melainkan itu adalah bentuk penjagaan. Bukankah ketika kita sedang membeli makanan, kita lebih memilih yang terbungkus rapi dan terjaga dengan aman? Padahal komposisi dan cara pembuatannya tidak berbeda antara yang terbungkus dan tidak. 

Wallahua’alam bi Ash-Showab

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama