Moderasi Beragama: Bagian dari Arus Global War on Islam




Oleh: Ummu Shafwan Taqiyuddin


Moderasi beragama telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Maka dengan ini mau tidak mau spirit Moderasi beragama harus mempengaruhi kebijakan pembangunan di semua kementrian. Dan harus disosialisasikan begitu rupa agar mempengaruhi berbagai bidang kehidupan bermasyarakat.


Moderasi beragama merupakan usaha untuk mengembangkan suatu sikap keberagaman di tengah berbagai desakan ketegangan atas ajaran beragama, juga antara radikalisme dan sekulerisme.


Demi mensukseskan arus moderasi, pihak pemerintah—khususnya Kemenag—telah melakukan berbagai langkah, mulai dari riset-riset, diklat-diklat, training for trainer, sosialisasi konten di berbagai kanal medsos, deteksi dini konflik keagamaan, hingga memasifkan agenda-agenda dialog antaragama di berbagai level.


Tak hanya itu, proyek moderasi juga diimplementasikan dalam bentuk perubahan kurikulum pesantren dan madrasah. Terutama untuk kajian fikih dan sejarah, yang selama ini dipandang mengajarkan Islam garis keras. Buku-buku yang mengajarkan Islam kafah, termasuk jihad dan Khilafah, pun disensor.


Jika diperhatikan, proyek ini memang menyasar semua lini massa. Mulai dari kalangan pejabat dan pegawai pemerintah/BUMN, termasuk para guru dan para dosen, mahasiswa dan para pelajar, para ulama, ustaz dan ustazah, bahkan hingga majelis-majelis taklim yang isinya ibu-ibu rumah tangga. Bahkan untuk ASN, pemerintah khususnya Kemenag sudah melakukan “pembersihan” mereka-mereka yang diduga terpapar ideologi radikal.


Begitu istimewanya proyek moderasi beragama, khususnya moderasi Islam bagi pemerintahan sekarang. Proyek ini terus digadang-gadang bisa menjadi solusi problem utama bangsa. Bahkan dipandang amat penting bagi kemajuan Islam dan juga dunia secara keseluruhan.


Masalahnya, apa yang dibaca sebagai problem utama bangsa tak lain adalah sikap intoleransi dan radikalisme beragama yang terus menerus ditudingkan kepada Islam. Kedua sikap ini dianggap sebagai akar perpecahan bangsa, sekaligus memicu munculnya aksi-aksi teror atas nama Islam yang mencederai ketenteraman dan persatuan.


Pertanyaannya, benarkah intoleransi dan radikalisme adalah problem utama bangsa hingga pembangunan harus fokus pada moderasi beragama? Jika pun kasus-kasus intoleransi, radikalisme, dan teror memang ada, haruskah Islam kafah yang dipersalahkan hingga harus menjadi korban proyek moderasi beragama?


Dengan berpikir jujur dan objektif, maka akan tampak bahwa problem utama bangsa ini sejatinya bukan intoleransi, radikalisme, dan terorisme sebagaimana yang ditudingkan. Selain kasuistik, fakta-fakta itu nyatanya hanyalah satu cabang dari masalah besar berupa penerapan sistem sekuler kapitalis neoliberal.


Sistem ini jelas-jelas telah memproduksi berbagai keburukan di berbagai aspek kehidupan. Termasuk munculnya ketakadilan, krisis ekonomi, krisis moral, krisis politik, dan krisis hukum yang memperlemah posisi kekuasaan. Dampak lanjutannya, kondisi inilah yang memberi ruang lebar bagi munculnya aksi-aksi melawan kemapanan dan pemikiran anti kekuasaan.


Itu pun kalau konklusi keberadaan kelompok radikal itu benar. Karena tak sedikit yang berkeyakinan bahwa semua narasi tentang terorisme dan radikalisme Islam itu hanyalah bagian dari konspirasi global.


Maklum, bangkitnya gagasan Islam politik atau Islam ideologis yang menyodorkan solusi Islam atas problem keterpurukan dunia, nyatanya telah menjadi lonceng kematian bagi hegemoni kapitalisme global. Islam politik atau Islam ideologis memang satu-satunya ideologi yang bisa menghancurkan dominasi penjajahan kapitalisme atas dunia.


AS sebagai kampiunnya, menggagas narasi kebangkitan monster teroris internasional demi melegitimasi gerakan global war on terrorism yang diikuti semua negara di dunia. Lalu dilanjut sekuelnya, yakni gerakan global war on radicalism yang hakikatnya war on Islam. 


Lalu berdasar riset panjang lembaga think tank-nya, dimunculkanlah proyek-proyek memoderasi Islam yang include dengan deradikalisasi sekaligus deideologisasi Islam. Dengan cara itu, AS bisa mengamankan posisinya sekaligus menancapkan kuku imperialismenya atas dunia dalam waktu yang lebih panjang.


Jadi jelas sekali bahwa moderasi beragama merupakan medan tempur haq dan batil abad 21 dan merupakan bagian dari arus global war on Islam. “Moderasi beragama yang menjadi bagian war on Islam bertujuan untuk memerangi Islam politik, Islam ideologis, Islam yang kental dan tebal.

Moderasi ajaran Islam termasuk tindakan yang berbahaya. Langkah ini melemahkan ajaran Islam dan melepaskan keterikatan kaum Muslim pada agamanya.


Moderasi ajaran Islam berarti mengambil jalan tengah. Bukan ketaatan total kepada Allah SWT. Islam moderat berarti meletakkan diri di antara iman dan kufur, taat dan maksiat, serta halal dan haram.


Di bidang akidah, moderasi ajaran Islam berarti menyamakan akidah Islam dengan agama-agama dan kepercayaan umat lain. Dalam Islam moderat tak ada kebenaran mutlak. Termasuk iman dan kufur. Semua menjadi serba relatif/nisbi.


Dengan Islam moderat, kaum Muslim diminta untuk membenarkan keyakinan agama dan kepercayaan di luar Islam. Padahal Allah SWT telah berfirman:


إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ 

فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sungguh kaum kafir,

yakni Ahlul Kitab dan kaum musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah makhluk yang paling buruk (TQS al-Bayyinah [98]: 6).


Dengan moderasi Islam, kaum Muslim juga dipaksa untuk menolerir gaya hidup bebas seperti perzinahan, LGBT, pornografi, dsb.


Alhasil, moderasi ajaran Islam adalah cara penjajah untuk melumpuhkan kaum Muslim. Kaum imperialis dulu dan sekarang paham bahwa faktor pendorong perlawanan umat Muslim terhadap rencana jahat mereka adalah kecintaan dan ketaatan secara total pada Islam. Selama umat Islam bersikap demikian, makar mereka akan selalu dapat dipatahkan. Namun, jika umat Islam telah melepaskan diri dari Islam kaffah, lalu memilih jadi umat yang moderat, maka mudah bagi para penjajah untuk melumpuhkan dan selanjutnya merusak umat ini. Karena itu langkah deradikalisasi ajaran dan sejarah Islam adalah tindakan berbahaya dan manipulatif.


Fakta sejarah memperlihatkan bahwa jihad dan khilafah adalah kata kunci perlawanan kaum Muslim terhadap imperialisme yang dilakukan Barat terhadap negeri-negeri kaum Muslim. Pahlawan nasional seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, KH Zainal Mustofa di Tasikmalaya, Panglima Besar Soedirman dan Bung Tomo bergerak mengobarkan perlawanan terhadap kaum penjajah karena dorongan iman dan jihad. Perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda juga mendapat bantuan besar dari Khilafah Utsmani.


Tampaknya inilah yang mengusik sejumlah orang yang khawatir jika kaum Muslim menyadari kembali jatidirinya dan akar sejarahnya, akan muncul marwah mereka sebagai umat terbaik.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama