Digitalisasi UMKM Untuk Rakyat Atau Korporat?



Oleh : Arda


UMKM merupakan pilar terpenting dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM saat ini mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 61,07% atau senilai 8.573,89 triliun rupiah. Kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia meliputi kemampuan menyerap 97% dari total tenaga kerja yang ada serta dapat menghimpun sampai 60,4% dari total investasi. Namun, tingginya jumlah UMKM di Indonesia juga tidak terlepas dari tantangan yang ada.Untuk menjawab tantangan itu, Pemerintah telah menjalankan sejumlah program dukungan UMKM, diantaranya bantuan insentif dan pembiayaan melalui program PEN, Kredit Usaha Rakyat, Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), Digitalisasi pemasaran UMKM, Penguatan Wirausaha Alumni Program Kartu Prakerja Melalui Pembiayaan KUR, dan termasuk pula strategi jangka panjang menaikkan kelas UMKM melalui UU Cipta Kerja.


Dampak lain dari pandemi ini adalah mendorong shifting pola konsumsi barang dan jasa dari offline ke online, dengan adanya kenaikan trafik internet berkisar 15-20%. Hal ini menjadi momentum untuk mengakselerasi transformasi digital. Potensi digital ekonomi Indonesia juga masih terbuka lebar dengan jumlah populasi terbesar ke-4 di dunia dan penetrasi internet yang telah menjangkau 196,7 juta orang.


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa dukungan dan kerjasama serta kolaborasi dalam membangun UMKM dan industri anak bangsa berbasis teknologi tepat guna memasuki era Industri 4.0 perlu terus ditingkatkan. Dengan keterlibatan para ahli dan profesional bisnis, kami yakin bahwa kita semua memiliki semangat yang sama dalam membantu dan mengembangkan UMKM pada masa pandemi dan era digital ini. 


Kebangkitan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi salah satu tumpuan utama pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi Covid-19. Hampir dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi melambat, khususnya di sektor riil akibat pembatasan kegiatan masyarakat untuk memutus mata rantai penyebaran virus SARS COV-2. Oleh karena itu, pemerintah menggulirkan program pemulihan ekonomi nasional (PEN), seiring sejalan dengan penanganan sektor kesehatan yang terkait kasus Covid-19. Sektor finansial dan moneter saling menyokong demi tetap berputarnya sektor riil, terutama UMKM sebagai penunjang perekonomian nasional. Hal itu mengingat serapan tenaga kerjanya yang besar serta amat beragam produknya.


Inklusi kelompok UMKM terus digenjot. Pemerintah memiliki beberapa program untuk mendukung pelaku UMKM bertahan di tengah Covid-19, antara lain, penempatan dana di bank, pembiayaan ultra mikro, subsidi bunga pinjaman, garansi modal kerja, hibah untuk usaha mikro, dan insentif PPh final.


Pemerintah pun terus mendorong para pelaku UMKM agar masuk ke layanan finansial berbasis digital maupun memasarkan produk-produk mereka di lokapasar (marketplace) digital. Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menargetkan 30 juta pelaku UMKM bisa bertransformasi ke ranah digital pada 2024. Saat ini, baru terdapat 8 juta pelaku UMKM tergabung di ekosistem digital dan 14,5 juta atau 22 persen populasi pelaku UMKM yang on boarding di platform pemasaran digital. 


Termasuk di Jawa Timur, digitalisasi menjadi kata kunci di sektor publik dan dunia usaha. Ini perlu diperkuat dengan integrasi sistem. Demikian benang merah acara Road to IDC (Indonesia Digital Conference) Jawa Timur bertema “Digitalisasi, Kunci Akselerasi Jawa Timur Bangkit” yang diselenggarakan secara daring oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Rabu (17/11/2021). Narasumber yang hadir adalah Bupati Bojonegoro Dr. Hj. Anna Mu’awanah, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Jawa Timur Arumi Bachsin, Head of Small Medium Enterprise Partnership Programme PT. Pertamina (Persero) Rudi Ariffianto, dan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Surabaya Muhammad Fikser. Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak menjadi pembicara kunci. 


Memakmurkan Investor Unicorn-Decacorn

Upaya digitalisasi UMKM meniscayakan pemanfaatan startup. Startup adalah perusahaan yang baru berdiri atau masih dalam tahap merintis, yang umumnya bergerak di bidang teknologi dan informasi di dunia maya atau internet. Ada beberapa bidang perusahaan startup yaitu market place seperti tokopedia, shopee, bukalapak, lazada, blibli, jd.id. Startup bidang transportasi seperti grab dan gojek. Di bidang perjalanan dan akomodasi seperti traveloka, tiket.com, mamikos. Di bidang pendidikan seperti ruangguru, harukaedu, zenius, arkademy, quipper, indonesiax. Di bidang kesehatan seperti halodoc, dokter.id, dan klikdokter. Serta  startup di bidang keuangan berupa aplikasi kredit, pinjaman online, e-money, asuransi, donasi, maupun investasi saham online.


Industri ekonomi digital di Indonesia melesat cepat. Sepanjang 2021 ini saja, sudah ada dua tambahan perusahaan rintisan (startup) di Indonesia dengan nilai valuasi jumbo di atas US$1 miliar. Istilah populernya, unicorn. Unicorn merupakan sebutan bagi startup dengan nilai atau valuasi di atas US$ 1 miliar. Sedangkan decacorn memiliki valuasi lebih dari US$ 10 miliar.Kawasan Asia Tenggara sendiri menjadi magnet baru bagi perusahaan venture capital untuk menggelontorkan modalnya bagi startup potensial. Per Juni 2021 tercatat ada 16 unicorn dan decacorn di Asean. Angka ini terbilang besar untuk ukuran global.


Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G. Plate mengatakan, Indonesia kini telah memiliki delapan unicorn. Menurut laporan CB Insight, Tokopedia dan Gojek (GoTo) memiliki valuasi terbesar yakni US$ 18 miliar atau sekitar Rp 256,55 triliun (kurs Rp 14.253/US$). Nominal ini pun membawa GoTo menjadi satu-satunya decacorn di Indonesia. J&T Express berada di posisi kedua dengan valuasi senilai US$ 7,8 miliar. Kemudian, Bukalapak tercatat memiliki valuasi sebesar US$ 3,5 miliar. Traveloka dan OVO menyusul dengan valuasi masing-masing sebesar US$ 3 miliar dan US$ 2,9 miliar. Lalu, OnlinePajak tercatat memiliki valuasi sebesar US$ 1,7 miliar. Teranyar, Ajaib dan Xendit masuk ke dalam daftar unicorn di tanah air. Keduanya masing-masing memiliki valuasi sebesar US$ 1 miliar. Perusahaan startup memiliki valuasi sebesar ini dari para investor. Di antaranya Tencent,  Google, Alibaba, GFC dan Sequoia Capital dari AS serta Hilhouse Capital dan JD.com dari China, Softbank Grup dari Jepang, Tokyo Century, Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund, GIC sampai Ant Financial, dll.


Sejak kemunculan beberapa perusahaan rintisan di negeri ini, tak sedikit yang menyayangkan lambannya pemerintah meresponsnya dengan tepat. Padahal, perusahaan-perusahaan startup ini ingin mengembangkan bisnisnya dengan menggaet investor. Wajar jika akhirnya perusahaan startup mencari investor ke luar negeri. Gayung bersambut, investor asing yang melihat besarnya potensi pasar di Indonesia tentu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menanam investasi. Karenanya, pemerintah tak selayaknya mengungkapkan kekecewaan, sebab sejatinya sejak awal langkah yang mereka tempuh untuk merespons hadirnya startup, terkesan gagap dan sulit untuk beradaptasi. Tak sedikit pengamat yang mengungkapkan bahwa banyaknya investasi asing di perusahaan rintisan di Indonesia memiliki sisi negatif. Misalnya, fakta bahwa investasi asing yang masuk hanya menambah barang impor, sebab dalam praktik investasinya lebih dominan upaya membuka toko di dalam negeri, bukan produksi atau ekspor. Alhasil, tetap saja barang-barang impor membanjiri pasar dalam negeri. Tentu ini berpotensi besar mengikis niat baik pemerintah dalam mengarahkan masyarakat untuk mencintai produk-produk dalam negeri.


Peneliti INDEF Bhima Yudistira pernah mengungkapkan bahwa perlu mencermati kepentingan dana asing yang mengalir ke unicorn, salah satunya yakni mengenai integrasi horizontal. Ini bermakna bahwa startup di Indonesia adalah sebagai rantai pasok produk perusahaan lain. Startup unicorn ecommerce untuk memasarkan produk Cina, misalkan. Belum lagi potensi ketergantungan konsumsi pada layanan suntikan investor asing. Misalnya saja promosi dan diskon tak berkesudahan dari penyedia jasa transportasi online yang memberi diskon 90% bahkan cashback. Tujuannya untuk menciptakan dinding penghalang bagi kompetitor (entry barrier). Jika market share sudah mereka kuasai, konsumen tidak ada pilihan lain kecuali memakai produk startup asing tadi. Seandainya pun pemerintah menargetkan BUMN untuk turut aktif menanam investasi di berbagai startup yang memproduksi barang-barang lokal, tetap saja akan sulit bersaing dengan startup asing. Mengapa? Karena mereka telah menciptakan satu model kompetisi yang membuat produk-produk lokal tersingkir dari marketplace dan sepi peminat.


Khatimah

Tak ada yang salah dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi. Semua adalah produk yang bertujuan memudahkan kerja manusia. Teknologi hanya sebuah tool agar kerja manusia bisa terselesaikan dengan efektif dan efisien. Masalahnya hanya di tangan siapakah teknologi itu dikuasakan? Jika di tangan ideologi kapitalisme sekuler, pemanfaatan teknologi hanya berorientasi pada profit sekelompok kapitalis semata. Variabel kesejahteraan masyarakat, dampak penggunaan teknologi, hingga efek negatif yang ditimbulkan, tak lagi menjadi bahan pertimbangan. Asal menghasilkan koin, maka poin-poin kebermanfaatan masyarakat sengaja diabaikan.


Jika perkembangan teknologi meniscayakan masyarakat melakukan interaksi ekonomi secara cepat dan sederhana, tanggung jawab pemerintahlah untuk mengelola infrastruktur maupun perangkat pendukungnya. Kelemahan tata kelola yang seharusnya pemerintah laksanakan, akan memberikan peluang pihak investor (kapitalis) mengendalikan pasar, terlebih lagi jika investornya berasal dari luar. Hal ini tidak hanya berdampak pada banjirnya barang-barang impor di pasar dalam negeri, tetapi juga menunjukkan lemahnya peran negara melayani rakyatnya.


Ada beberapa pilar pokok dan mendasar dalam sistem ekonomi Islam yang mengatur kehadiran pemain asing di pasar dalam negeri. Pertama, dalam menjalankan pemerintahan, khalifah beserta pejabat negara lainnya wajib mewujudkan pelayanan dengan memaksimalkan berbagai cara. Jika teknologi sebagaimana saat ini merupakan tools yang memudahkan interaksi ekonomi masyarakat, pemerintah wajib mewujudkannya sebagai bentuk ri’ayah (pengurusan) rakyatnya. Artinya, pemerintah harus mandiri mengupayakan pelayanan yang sempurna untuk warganya. Bukan hanya memastikan infrastrukturnya, tetapi juga regulasi yang melindungi keamanan dan kenyamanan transaksi. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan rintisan akan mendapatkan iklim usaha yang baik akibat adanya dukungan pemerintah. 


Kedua, dalam melakukan transaksi perdagangan antarnegara, wajib memperhatikan dengan negara mana melakukan transaksi. Dunia digital memungkinkan kita untuk bertransaksi lintas negara. Sebab, individu warga Khilafah dapat melakukan perdagangan lintas negara. Sebagaimana saat ini, pemilik perusahaan startup dapat menjalankan bisnisnya dengan memasukkan barang dari negara-negara tertentu. Jika individu warga melakukan bisnis lintas negara, ia wajib melihat dari negara mana asal pasokan barangnya. Jika berasal dari kafir harbi fi’lan (negara yang secara nyata memerangi kaum muslimin), terhadap mereka tidak bisa melakukan perdagangan. Mereka tidak layak memasok barang dari negara-negara tersebut. 


Ketiga, yakni mengenai hadirnya investor itu sendiri. Merupakan perkara jamak dalam sistem kapitalisme bahwa para pemodal adalah pengendali pasar. Kehadiran mereka akan memunculkan dominasi dan penguasaan wilayah bisnis. Dengan mudahnya mereka mengendalikan harga dan memenangkan persaingan di tengah-tengah masyarakat, termasuk mengendalikan bisnis-bisnis strategis seraya meraup banyak keuntungan. Berdasarkan hal itu, negara harus hadir mencegah penguasaan investor ini. Terlebih jika keberadaan investor ini berpotensi mengacaukan pasar dalam negeri dan kurang berkontribusi dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. UKM-UKM yang ada di marketplace saat ini saja sulit berkompetisi dengan barang-barang impor yang lebih murah dengan kualitas yang lebih baik. Masuknya investasi pada perusahaan-perusahaan rintisan dalam negeri tentu tak meninggalkan logika kapitalisme yakni hasrat untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Oleh karenanya, sudah selayaknya pengelolaan perusahaan-perusahaan rintisan ini berbasis visi politik yang mengedepankan kemandirian dan prinsip pelayanan kepada rakyat (ri’ayah syu’unil ummah), jauh dari intervensi, dan mampu menyejahterakan rakyat. Wallaahu a’lam.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama