Penulis : Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.
“Selamat Natal” hanyalah kata-kata. Namun dampaknya begitu besar. Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa keterikatan terhadap hukum syariat adalah suatu kemutlakan. Dalam hal ini, termasuk syariat tentang berkata-kata.
Lantas, bagaimana semestinya sikap kaum Muslimin agar tidak tergoda mengucapkan “Selamat Natal” atas dalih toleransi?
Tidak Sekadar Kata-kata
Banyak hal di dalam Islam berawal dari kata-kata. Akad nikah, berupa kata-kata. Akad jual-beli, berupa kata-kata. Sumpah saksi dalam suatu peradilan, juga berupa kata-kata. Syahadat, berupa kata-kata. Bahkan Al-Qur’an pun berisi kata-kata. Ini semua adalah contoh-contoh fenomena yang menunjukkan betapa pentingnya kata-kata dalam Islam.
Bahkan, Islam pun memiliki ketentuan tersendiri perihal definisi suatu kata sehingga membuatnya boleh atau tidak untuk digunakan dalam pembicaraan, kehidupan secara umum, maupun proses penggalian hukum syarak. Islam menetapkan rambu-rambu mengenai istilah syar’iy dan tidak syar’iy. Dan hanya istilah syar’iy saja yang boleh digunakan oleh umat Islam.
Pun dari aspek nafsiyah. Islam mengajarkan sebagaimana sabda Rasulullah saw. : “Berkatalah yang baik, atau diam.” (HR Bukhari-Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa kata-kata yang meluncur dari lisan seorang Muslim sangat penting untuk diperhatikan. Bicara adalah perbuatan yang mengandung adab tersendiri bagi seorang Muslim. Seorang Muslim yang bicaranya sembarangan, disebut memiliki adab yang buruk, bahkan akhlak yang cacat.
Jadi tidak ada alasan untuk membenarkan jika seseorang dikatakan “memang cara bicaranya begitu” atau “lisannya saja yang begitu, orangnya sebenarnya baik”. Apalagi orang yang isi bicaranya kasar, hingga memuat berbagai macam sebutan “kebun binatang”. Na’udzu billaahi. Karena syariat Islam tentang aturan berkata-kata memang sudah ada.
Dari aspek dakwah, Islam juga memberikan koridor yang tegas. Bahwa dakwah adalah suatu pembicaraan yang tidak omdo (omong doang), melainkan kumpulan perkataan yang mampu mengubah pemikiran manusia, yang tadinya sesat menjadi terang benderang.
Dakwah adalah kewajiban yang disyariatkan dalam QS Ali Imron [3] ayat 104 : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Mana mungkin manusia mau menerima dakwah jika disampaikan dengan perkataan buruk/kasar/hina?
Pun termasuk aturan berkata-kata, terdapat petunjuk Islam mengenai pergaulan anak kepada orang tuanya, khususnya yang telah berusia lanjut. Allah SWT berfirman : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (TQS Al-Isra’ [17] : 23).
Lagi-lagi ini hanya sekadar perkataan. Namun ketika perkataan tersebut terlontar tanpa dijiwai keimanan, maka sungguh itu adalah perkataan yang tiada artinya, bahkan bisa tergolong melanggar aturan Allah SWT.
Cuma Kata-kata
Toleransi punya aturannya sendiri dalam Islam. Setelah memahami pentingnya memperhatikan kata-kata yang meluncur dari lisan kita, hendaklah kita memahami pula bahwa jangan gunakan toleransi sebagai dalih untuk mengucapkan ucapan perayaan milik agama selain Islam.
Kata-kata adalah suatu pernyataan, maka ucapan hari raya bagi pemeluk agama lain otomatis adalah pengakuan terhadap agama mereka (yang notabene selain Islam). Bukankah Allah SWT telah berfirman : “Sesungguhnya agama yang diridai (di sisi Allah) hanyalah Islam.” (TQS Ali Imron [3] : 19).
Ayat tersebut bukan kesombongan manusia, melainkan firman Allah SWT yang wajib umat Muslim yakini. Namun jangan alpa, Allah pun telah memerintahkan hamba-Nya tentang toleransi, yakni dalam QS Al-Kafirun ayat 6 dan QS Al-Baqarah ayat 256.
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (TQS Al-Kafirun [109] : 6).
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS Al-Baqarah [2] : 256).
Lagi-lagi ayat-ayat tersebut juga Cuma kata-kata. Namun mengandung konsekuensi besar bagi cacat atau lurusnya iman kita. Karena ayat-ayat tersebut adalah perintah-Nya. Maka dalam hal ini, sungguh salah arah tudingan intoleransi kepada kaum Muslim hanya karena tidak bersedia mengucapkan selamat hari raya agama selain Islam. Karena tidak mengucapkan selamat hari raya agama selain Islam adalah semata-mata bagian dari kelurusan iman dan kesempurnaan amal.
Khatimah
Sedikit mengutip pepatah Jawa “ajining raga jalaran saka busana, ajining diri jalaran saka lathi”, dari sini tampak jelas bahwa harga diri seseorang bisa dinilai dari perkataan yang ia sampaikan. Tidak peduli dari suku/daerah mana ia berasal, selama ia Muslim, ia wajib memperhatikan perkataannya ketika sedang berbicara/berinteraksi dengan orang lain.
Islam sungguh memperhatikan aturan penggunaan lisan dan perkataan. Terlebih soal perkataan/ucapan hari raya agama lain, Islam tidak mungkin mengabaikan aturan tentang hal tersebut. Namun bukan dengan dalih toleransi, Islam layak diserang hanya karena mengharamkan ucapan hari raya pada agama lain. Islam memiliki ketetapan tersendiri yang mana ketetapan itu berasal dari Sang Khalik, bukan buah akal pikiran manusia, sehingga wajib diimani oleh orang-orang yang memeluk Islam sebagai agamanya.