Permendikbud 30/2021 ; Solusi Tepatkah?

 


Oleh: Ghaziyah Zaahirah (Anggota Komunitas Muslimah Cinta Rosul)


Baru-baru ini hangat diperbincangkan aturan yang dibuat oleh salah seorang Menteri, yang menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Aturan tersebut yakni Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekesasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jika dibaca sekilas, rasanya tidak ada yang salah dengan judul dari Peraturan Menteri ini. Lantas kenapa menjadi hangat diperbincangkan dan bahan menjadi trending topic?


Setelah peraturan ini terbit banyak menuai tanggapan. Mulai dari yang setuju hingga yang mengkiritik bahkan menolak agar Peraturan ini dicabut. Salah satu kritik datang dari salah seorang anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menilai terbitnya Permendikbud ini tidak tepat lantaran UU yang menjadi dasarnya hukumnya belum ada. Selain itu dia juga menyayangkan beberapa muatan dalam isi peraturan menteri ini jauh dari nilai-nilai Pancasila. Bahkan dia menuding Permendikbud ini cenderung mengarah pada nilai-nilai liberalisme. "Ditambah pula peraturan menteri ini memasukkan persoalan 'persetujuan' atau yang biasa dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang-ulang digunakan sebagaimana bisa ditemukan pada Pasal 5 ayat 2. Bahwa beraneka tindakan atau perilaku akan masuk dalam konteks kekerasan seksual bila tidak terdapat persetujuan dengan korban. Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang berbahaya.” kata Ledia Hanifa dalam laman resmi PKS, Jumat (5/11).


Penolakan juga datang dari Majelis Ormas Islam disingkat MOI. MOI yang beranggotakan 13 Ormas Islam ini turut melakukan penolakan terhadap Permendikbud ini. "MOI menilai bahwa Permendikbudristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinahan dan dengan demikian akan mengubah dan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus, yang semestinya perzinahan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan," ucap Ketua MOI, Nazar Haris, dalam rilisnya, Senin (2/11). Menurut Nazar Haris, di antara poin yang dikritisi dan ditolak oleh MOI antara lain terkait paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent) yang memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual bukan nilai agama, tapi persetujuan dari para pihak, selama tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa, dan ada persetujuan, maka aktivitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah. Dikutip dari kumparan.com.  


Penolakan-penolakan dan kritik tersebut diatas tentulah bukan karena alasan yang tidak jelas. Alasan-alasan yang dipaparkan sangat jelas dan patut dipertimbangkan. Dalam peraturan ini terdapat banyak kalimat yang memuat kata “tanpa persetujuan” yang artinya jikalau dengan persetujuan maka tidak dikatakan kekerasan seksual. Hal ini tentu akan mengarah pada dibolehkannya aktivitas seksual selama kedua belah pihak saling setuju walau tidak terikat pernikahan. 


Semakin kesini arah pendidikan di negeri ini semakin tidak jelas. Mulai dari permasalahan kurikulum yang berubah-ubah hingga sekarang sudah mengarah pada liberalisme duni pendidikan. Perguruan tinggi sebagai tempat dimana para mahasiswa menuntu ilmu seharusnya sudah semestinya menjadi tempat yang tidak hanya fokus pada proses transfer ilmu saja tapi juga tempat dimana para mahasiswa dibentuk menjadi pribadi yang akan membawa negeri ini pada perubahan yang lebih baik atau biasa disebut agent of change. 


Namun, hal tersebut rasanya sulit untuk diwujudkan selama Sistem Kapitalisme-Sekuler masih diterapkan dinegeri ini. Dalam Sistem Kapitalisme-Seluler yang berorientasi pada manfaat dan memisahkan agama dari kehidupan, kebebasan dijunjung tinggi dan bahkan menjadi tujuan utama. Selama hal tersebut tidak mengganggu individu lain. Pendidikan pun tak luput dari sasaran dan menjadi korban dari sistem ini. 


Jika kita meneliti lebih jauh, sejatinya karena pola pikir liberal lah kasus kekerasan seksual dikampus kerap muncul. Selama ini kampus sering terpojok dengan tudingan sarang radikalisme, wabil khusus kepada para mahasiswa muslim. Tudingan radikalisme nyatanya hanya agar kalangan mahasiswa yang menekuni forum kajian islam terkesan buruk. Padahal yang sebenarnya terjadi, justru para mahasiswa aktivis Islam adalah kalangan yang memgang idealisme kebenaran. Anak-anak muda yang terbina dengan ketakwaan dan menjaga jalan hidup agar tidak terjerumus gaya hidup bebas. Maka masalah utama yang layak dibongkar adalah praktik sekulerisasi. Yang jelas-jelas melahirkan pola pikir liberal, cepat atau lambat akan menghancurkan generasi. 


Jika berkaca pada syariat Islam. Kekerasan seksual dan Zina kedua nya sama-sama ada aturan yang lengkap. Dalam Islam interaksi antara laki-laki dan perempuan diatur sedemikian rupa yang tentulah aturan ini sangat sesuai dengan fitrah sebagai laki-laki maupun sebagai perempuan. Terlebih lagi dalam dunia pendidikan, Islam memiliki sistem pendidikan yang sangat mumpuni, dan ini sudah terbukti dengan banyaknya lahir para ilmuwan Islam pada masa kejayaan Islam. 


Ketika solusi yang diberikan tidak tepat maka masalah yang ada tidak akan teratasi. Pencegahan yang paling tapat dan solutif dalam mengatasi kekerasan seksual adalah dengan meninggalkan Sistem Kapitalisme-Sekuler dan menerapkan Sistem Islam. Islam sebagai agama yang tidak hanya mengatur tentang aktivitas ibadah ritual tetapi juga sebuah sistem yang sangat sesuai dan tepat untuk diterapkan dalam kehidupan. Hanya dengan kembali kepada Islam generasi akan terselamatkan dari kerusakan dan keterpurukan. Wallahu’alam.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama