Miras Ancaman Nyata

 



Oleh : Ummu Shafa


Berbicara tentang miras pastinya sudah menjadi hal yang tak asing lagi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kata miras, pastinya identik dengan minuman memabukkan yang selalu bersentuhan dengan dunia malam seperti klub, diskotik dan tempat hiburan lainnya. Namun ternyata miras ini tidak hanya kita jumpai di tempat hiburan malam saja. Walaupun belum dinyatakan legal peredarannya di negara ini, miras sudah banyak beredar bebas, bahkan dapat kita jumpai dibeberapa sudut tempat yang dianggap aman dari jangkauan pihak berwajib untuk melakukan transaksi jual beli minuman berbahaya tersebut. 


Mengapa dikatakan berbahaya? pastinya seluruh masyarakat tahu bahwasannya minuman keras ini atau dikenal dengan Minol (minuman beralkohol) bisa memberikan dampak negatif dan merusak tatanan kehidupan seseorang. Setiap hari selalu ada saja berita buruk yang diakibatkan oleh penggunaan miras ini berseliweran di medsos dan berita - berita tayangan televisi. Mulai dari pelecehan sampai dengan pembunuhan yang diakibatkan oleh pengaruh dari minuman keras. 


Bahkan hasil riset terbaru WHO menunjukkan fakta, mengkonsumsi di atas 15 liter alkohol murni per tahun, memicu munculnya lebih 200 penyakit kronis diantarnya kanker dan sirosis hati. Setiap tahunnya lebih dari 3,3 juta orang meninggal sebagai dampak konsumsi minuman beralkohol berlebihan.


Menyikapi kontra terkait miras yang tak kunjung usai ditengah masyarakat, baru - baru ini ada berita yang tak kalah menarik menyita perhatian masyarakat Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan pelonggaran aturan terkait minuman beralkohol atau minuman keras (miras) melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan Pengaturan Impor.


Ketentuan mengenai pengadaan Minuman Beralkohol yang berasal dari impor sebagaimana diatur sebelumnya dalam “Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.” Penjelasan ini dituangkan pada Pasal 53 huruf d. Namun, pada lampiran XXIII Nomor 128 ada kategori pengecualian untuk barang bawaan penumpang untuk dikonsumsi sendiri. "Paling banyak 2.250 ml (dua ribu dua ratus lima puluh mililiter) per orang," bunyi lampiran tersebut. Batasan ini lebih tinggi dibanding aturan sebelumnya yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2014, yaitu batasan minuman alkohol untuk dikonsumsi sendiri yakni 1.000 mililiter." (https://finance.detik.com, November 2021)


Berita ini tentunya mengundang kritik dan reaksi keras dari semua kalangan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Bapak Muhammad Cholil Nafis dalam keterangan tertulis di situs resmi mendesak dan meminta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan Pengaturan Impor yang mengatur ketentuan impor minuman alkohol segera dibatalkan.


MUI menyoroti soal ketentuan peningkatan jumlah impor Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA). Menurut beliau, ketetapan Permendag sebelumnya sejalan dengan kebijakan Menteri Keuangan yang memberikan pembebasan bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor hanya untuk 1 liter MMEA.


Selain itu adanya peningkatan jumlah izin bawaan minol dengan maksimal 1.000 ml menjadi 2.500 ml mengakibatkan penurunan pendapatan negara. “Tak hanya soal pendapat negara, kerugian bangsa juga terletak pada melonggarnya peredaran minol (minuman beralkohol) dan menganggapnya hal yang biasa karena wisatawan asing atau kita yang keluar negeri akan membawa minol lebih banyak," ujarnya. (https://kumparan.com, November 2021)


Sependapat dengan apa yang disampaikan ketua MUI, Muhammad Cholil Nafis, harusnya Kemendag tak hanya memikirkan kepentingan wisatawan asing saja, tetapi juga anak bangsa. Keberpihakan Pemerintah pada asing terlihat jelas dalam Permendag No. 20 Tahun 2021 ini, bagaimana wisatawan asing dibolehkan melakukan perjalanan ke negeri mayoritas muslim membawa minol sebanyak 2,5 liter, lebih banyak dari yang sebelumnya. Kebijakan ini pastinya memberikan ruang bagi anak bangsa untuk lebih leluasa mendapatkan minuman beralkohol. Padahal, beberapa bulan lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersuara keras untuk menghentikan kebijakan melegalkan investasi minuman keras (miras). 


Kini lewat Permendag terbaru ini sama saja seperti menyiram bensin pada bara api, sungguh ironis.


Beginilah potret demokrasi, sesuatu yang dinyatakan haram oleh agama dijadikan seperti permainan semata. Pro kontra adalah hal yang biasa, jika ada keuntungan, peluang manfaat yang bisa diambil atas kebijakan yang dibuat, desakan serta kritikan seperti pembatalan untuk Permendag oleh MUI ini tidak diindahkan oleh kalangan atas.


Demokrasi menjamin kebebasan sehingga membenarkan siapa pun untuk berbuat semaunya. Mabuk-mabukan karena miras seolah bukan menjadi masalah selama tidak merugikan dan mengganggu kepentingan orang lain. Krisis moral, adab, dan akal sehat anak bangsa tidak menjadi prioritas pemerintahah, mereka rusak karena negara memfasilitasinya.


Kebijakan ini sangat bertentangan dengan Islam, padahal Islam adalah agama mayoritas penduduk di Negeri ini. Islam memerintahkan kepada seluruh umatnya untuk tunduk dan patuh pada aturan Allah SWT. Apa yang Allah perintahkan harus dilaksanakan, ditaati dan apa yang menjadi larangan harus dijauhi dan ditinggalkan. Semuanya terikat pada hukum yang Allah SWT buat, termasuk Miras yang diharamkan oleh Islam.


Harusnya sebelum pemerintah menetapkan kebijakan atas sesuatu harus menyesuaikan terlebih dahulu dengan ajaran Islam. Jika bertentangan maka harus dibatalkan bahkan wajib ditolak, pun sebaliknya  jika sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, pemerintah boleh menyetujuinya.


Firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surah Al- Baqarah Ayat 219 yang artinya :

 "Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan".


Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir."


Rasulullah SAW bersabda yang di riwayatkan oleh Abu Dawud : 


"Khamr atau minuman keras itu telah dilaknat dzatnya, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang membelinya, orang yang memerasnya, orang yang meminta untuk diperaskan, orang yang membawanya, orang yang meminta untuk dibawakan dan orang yang memakan harganya." (Diriwayatkan oleh Ahmad (2/25,71), Ath-Thayalisi (1134), Al-Hakim At-Tirmidzi dalam Al-Manhiyaat (hal: 44,58), Abu Dawud (3674).


Sudah sangat jelas Islam mengharamkan dan melarang keberadaan miras ini. Namun pemerintah seolah menutup mata, pemimpin bahkan membiarkan kebijakan ini meluncur dengan bebas dan berpihak kepada kepentingan golongan sejumlah elit politik.


Dalam Islam, tidak ada kepemimpinan seperti ini, namun sistem demokrasi yang ada sekarang, meniscayakan kepemimpinan dan kebijakan dipegang oleh kelompok yang berkuasa, dan hal tersebut sejatinya adalah haram. Demokrasi yang berbiaya mahal memastikan pula keberlangsungan kepentingan penguasa dan pengusaha. Standar halal-haram tak lagi jadi patokan. Keselamatan dan kemuliaan umat pun terabaikan, begitulah seterusnya. 


Berbanding terbalik dengan Islam yang hanya mengenal kepemimpinan tunggal, yaitu Khilafah yang dipimpin Khalifah. Khalifah yang dibaiat umat wajib menerapkan hukum buatan Allah SWT, yaitu hukum syariat yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan Sunah, bukan berdasarkan hawa nafsunya atau keinginan kelompok, bahkan mayoritas atau segolongan umat.


Selama syariat mengharamkan, kebijakan Khalifah pun mengharamkan tanpa pertimbangan manfaat atau mudarat sedikit pun. Keteguhan Khalifah sebagai pemimpin dalam menerapkan hukum syariat ini mampu mengantarkan umat Islam menjadi umat mulia yang disegani bangsa-bangsa. 


Lantas sampai kapankah kita akan bertahan pada sistem rusak ini? Harusnya kita sebagai umat mayoritas tidak membiarkan dan merasa takut atas kebijakan yang mengundang murka Allah SWT ini.


Sudah terlalu lama umat ini tanpa penjaga, tanpa perisai. Saatnya kita kembali ke rumah yang akan melindungi, menyelamatkan kita dalam kehidupan dunia dan akhirat. Mengembalikan kemuliaan umat adalah mengembalikannya kepada Islam, tentunya kembali dalam naungan sistem Khilafah. Semoga umat menyadari ini sebagai bekal kehidupan.Wallahu'alam bishowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama