Menyoal Alih Fungsi Lahan Terdampak Tol Kediri-Kertosono

 




Nindira Aryudhani


Pemasangan patok tol Kediri-Kertosono oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah selesai. Dari pemasangan titik lokasi tol itu diketahui jika proyek strategis nasional (PSN) tersebut akan melintasi lima bidang jalan dan sungai di lima desa yang terdampak. Kawasan tersebut masing-masing berada di Desa Ngablak, Banyakan, dan Maron, Kecamatan Banyakan. Sedangkan dua ruas lainnya ada di Desa Bakalan, Kecamatan Grogol. (radarkediri, 27/10/2021).


Sesuai estimasi kebutuhan tanah, penampang jalan dan sungai di Kabupaten Kediri yang terdampak total seluas 0,68 hektare. Selebihnya, ada 39 bidang jalan dan sungai di Kabupaten Nganjuk yang terdampak. Luasnya mencapai dua hektare.


Sementara itu, Kepala Desa Sendang, Banyakan, Suhadi menuturkan, tanah di desanya yang terdampak tol mencapai 0,5 hektare. Suhadi juga mengklaim, khusus untuk Desa Sendang hanya lahan sawah yang terdampak tol, dan tidak sampai menggusur rumah warga. 


Tol Kediri-Kertosono dan Bandara Kediri


Berdasarkan rencana pembangunannya, Jalan Tol Kediri-Kertosono merupakan perpanjangan Jalan Tol Ngawi-Kertosono. Persetujuan penambahan ruang lingkup itu telah dipastikan dalam adendum Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) tahun lalu (2019, penj.). Jalan Tol Kediri-Kertosono nantinya akan dibangun sepanjang 20,3 kilometer dengan investasi Rp 3,9 triliun. Dengan demikian, total panjang jalan tol yang dikelola PT JNK untuk ruas Ngawi-Kertosono-Kediri adalah sepanjang 108 kilometer. Direktur Utama PT JNK (Jasamarga Ngawi Kertosono Kediri) Arie Irianto menjelaskan, jalan bebas hambatan ini akan terhubung dengan beberapa lokasi strategis. Salah satunya Bandara Kediri yang saat ini juga sedang dibangun. (tempo, 23/9/2020).


Mengutip dari bpjt.pu.go.id, perlu kita ketahui bahwa Jalan Tol PPJT sendiri adalah ruas-ruas jalan tol di mana Pemerintah telah menandatangani Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) dengan Badan Usaha Jalan Tol, yakni dengan status dalam tahap desain dan/atau pengadaan tanah dan/atau konstruksi.


Sementara itu, kita juga ketahui bahwa pada saat yang sama, Bandara Kediri masih dalam tahap pembangunan. Pengerjaan tanah untuk pembangunan Bandara Kediri, kini mencapai 51 persen dan direncanakan awal 2023 sudah mulai beroperasi untuk penerbangan komersial. Bupati Kediri Haninditho Himawan Pramana mengapresiasi progres dari pembangunan bandar udara tersebut. Kendati masih ada lahan yang belum terbebaskan, dirinya optimistis pembangunan bisa selesai sesuai dengan rencana awal. (republika, 26/4/2021).


Bandara Kediri yang berada di Kabupaten Kediri bagian barat itu menjadi bandara pertama di Indonesia yang dibangun dengan 100 persen dana investasi swasta oleh PT Surya Dhoho Investama, anak perusahaan PT Gudang Garam dengan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Sesuai rencana, lahan yang diperuntukkan pembangunan bandara sekitar 300-400 hektare.


Potensi Kawasan Kabupaten Kediri


Mengutip dokumen RKPD Kabupaten Kediri 2021, Kabupaten Kediri memiliki topografi wilayah yang cukup beragam dengan rata-rata ketinggian tanah diantara 0 – 500 meter diatas permukaan laut (dpl). Wilayah bagian utara-selatan Kabupaten Kediri merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0 – 200 meter dpl, sementara pada wilayah bagian barat-timur merupakan wilayah perbukitan dan bergelombang.


Secara geologis, karakteristik wilayah Kabupaten Kediri dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu :


Bagian Barat Sungai Brantas, merupakan perbukitan lereng Gunung Wilis dan Gunung Klotok, sebagian besar merupakan daerah kurang subur.


Bagian Tengah, merupakan dataran rendah yang sangat subur, melintas aliran Sungai Brantas dari selatan ke utara yang membelah wilayah Kabupaten Kediri.


Bagian Timur Sungai Brantas, merupakan perbukitan kurang subur yang membentang dari Gunung Argowayang di bagian utara dan Gunung Kelud di bagian selatan.


Secara hidrologi, di wilayah Kabupaten Kediri mengalir banyak sungai ataupun saluran alam. Sungai yang memiliki debit air yang cukup besar dan mengalir sepanjang tahun meliputi Kali Brantas, Kali Konto, Kali Bakung, Kali Kolokoso, Saluran Turitunggorono, Kali Bangi dan Kali Sedayu. Sementara sungai-sungai lainnya umumnya berupa sungai musiman yang hanya mengalir pada musim penghujan. Potensi air tanah sungai-sungai ini sebelum sampai ke Sungai Brantas telah dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun pengairan sawah/irigasi.


Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kediri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kediri Tahun 2010 – 2030, bahwa untuk mewujudkan daerah sebagai basis pertanian didukung pariwisata, perdagangan, dan perindustrian yang berdaya saing dan berkelanjutan.


Pembagian pusat kegiatan di Kabupaten Kediri secara hierarkis, yang berupa Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) adalah pusat pemerintahan kecamatan dan pusat pelayanan sosial ekonomi skala kawasan yang meliputi Kecamatan Tarokan, Banyakan, Mojo, Kras, Kandat, Ringinrejo, Ngancar, Gampengrejo, Gurah, Pagu, Plosoklaten, Puncu, Kepung, Kandangan, Badas, Kunjang, Purwoasri, dan Plemahan. 


Sementara kawasan yang menjadi Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) adalah pusat agropolitan dan pelayanan sosial ekonomi skala lingkungan meliputi Kecamatan Grogol, Tarokan, Banyakan, Ngadiluwih, Mojo, Kras, Kandat, Wates, Ngancar, Gurah, Pagu, Plosoklaten, Puncu, Kepung, Kandangan, Papar, Kunjang, Purwoasri, Plemahan, dan Semen.


Untuk kawasan strategis yang ditentukan berdasarkan kepentingan, ternyata didominasi oleh kawasan agropolitan tersebut. Kawasan agropolitan ini antara lain Ngawasondat (Ngancar, Wates, Plosoklaten, Kandat, dan Ringinrejo) dengan komoditas unggulan berupa nanas, pepaya, dan sapi perah; Pakancupung (Pare, Kandangan, Puncu, dan Kepung) dengan komoditas unggulan berupa cabai, bawang merah, dan sayuran; Segobatam (Semen, Grogol, Banyakan, Tarokan, dan Mojo) dengan komoditas unggulan berupa mangga podang dan ubi kayu; Papar, Plemahan, Purwoasri, Kayen Kidul, Pagu, Gurah, Kunjang dan Gampengrejo dengan komoditas unggulan berupa padi dan palawija.


Agropolitan atau Aeropolitan? 


Merujuk makalah “Pengembangan Wilayah Ekonomi Kabupaten Kediri Berdasarkan Konsep Agropolitan” (2018) dari Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Arsitektur Desain dan Perencanaan ITS Surabaya, Kabupaten Kediri merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki potensi pada sektor pertanian yang cukup dominan dalam PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).


Pada sektor pertanian ini, terdiri dari sub sektor tanaman bahan pangan, pangan, tanaman perkebunan, peternakan dan hasilnya, kehutanan, serta perikanan memiliki peranan penting dalam perekonomin Kabupaten Kediri, diantaranya adalah penyumbang PDRB terbesar di Kabupaten Kediri, penyerapan tenaga kerja yang besar, serta pembangunan ekonomi daerah.


Potensi besar sektor pertanian juga dapat dilihat dari mata pencaharian penduduk dan penggunaan lahan Kabupaten Kediri. Sebagian besar penduduk Kabupaten Kediri bekerja di sektor pertanian. Arah pengembangan sektor pertanian Kabupaten Kediri memang merujuk pada konsep agropolitan. Namun pada kenyatannya belum ada usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu sektor pertanian.


Hal ini dapat diketahui dari pengelolaan hasil pertanian yang belum terlaksana dan sumber daya manusia yang menggarap sektor pertanian masih belum benar-benar mengolah hasil pertanian tersebut menjadi barang yang nilai jualnya lebih tinggi. Maka dari itu, hal ini memerlukan keseriusan pengelolaan sektor pertanian dengan konsep agropolitan sehingga dapat menjawab permasalahan di Kabupaten Kediri.


Ironisnya, dengan adanya PSN Tol Kediri-Kertosono dan juga Bandara Kediri, konsentrasi pemerintah daerah justru teralihkan ke arah konsep aeropolitan. Ibarat kata, konsep agropolitan yang masih perlu pengembangan, ujug-ujug dialihkan fokusnya pada konsep aeropolitan yang juga masih terbilang baru. 


Jika bukan tersebab tarik ulur kepentingan kapitalistik, mana mungkin tumpang tindih konsep pembangunan tata kota seperti ini terjadi? Dan jika sudah begini, siapakah yang akan paling cepat cuci tangan saat terjadi dampak ekologis, kecuali para pemegang kebijakan itu? Apalagi, bayang-bayang proyek mangkrak dan infrastruktur mubazir pun siap menerkam. 


Defisit Ekologi


Berdasarkan data Global Footprint Network tahun 2020, Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42%. Angka ini menunjukkan, konsumsi terhadap sumberdaya lebih tinggi daripada yang saat ini tersedia dan akan menyebabkan daya dukung alam terus berkurang. (mediaindonesia, 11/02/2021).


Terkait hal ini, Guru Besar IPB University dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Prof Dr Akhmad Fauzi, menyatakan kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia masih belum memperhatikan modal alam secara serius. Prof Akhmad juga menyampaikan, saat ini indeks modal alam Indonesia masih rendah, yaitu di urutan 86. Padahal negara tropis umumnya ada di peringkat 10 besar urutan index modal alam. Ini semua karena terdapat kerusakan yang cukup masif pada alam di Indonesia.


Kerusakan alam ini antara lain akibat alih fungsi lahan. Laju pencemaran lingkungan khususnya air juga tinggi. Selain itu keberagaman alam juga sudah semakin berkurang. Hal ini membuat perekonomian nasional kita melemah. Mengabaikan modal alam berakibat memperbesar angka ketimpangan ekonomi. Pantaslah ini bisa dikatakan sebagai defisit ekologi. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk melakukan upaya dalam memperbaiki paradigma pembangunan ke arah yang lebih berkelanjutan.


Selama ini, ekstraksi sumberdaya alam sering menimbulkan fenomena histerisis, yaitu dampaknya yang berlangsung lama meski penyebabnya sudah diatasi. Maka penting untuk memahami biaya yang harus dibayar oleh generasi selanjutnya akibat kerusakan dari alam. Pasalnya, ekstraksi sumberdaya alam bukan hanya untuk satu generasi saja. Tata kelola modal alam harus terus diperbaiki untuk kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang.


Jelas sekali, alih fungsi lahan sejauh ini lebih banyak digawangi konglomerasi. Akibatnya, lahan tidak dikelola oleh negara sesuai dengan kebutuhan. Yang terjadi, bahkan sudah terkategori eksploitasi besar-besaran.


Kasus Tol Kediri-Kertosono berikut Bandara Kediri, hanyalah secuil contoh alih fungsi lahan oleh konglomerasi. Karena itu, hendaklah kita perhitungkan sejak sekarang, akan separah apa dampaknya jika bumi ini kian digerogoti nafsu buas kapitalisme tanpa memperhatikan aspek ekologisnya? Pasalnya, selama ini suara kapitalisme untuk memperhatikan ekologi toh selalu kalah nyaring dengan kepentingan ekonomi.


Ekologi Defisit, Ekonomi Pailit; Alam Berkah, Distribusi Ekonomi Terarah


Di balik segala kerusakan ekologi yang telah ditumbalkan bagi kepentingan kapitalisme, nyatanya ekonomi Indonesia tetap pailit. Besarnya PDB dan pendapatan rumah tangga tidak tampak berkorelasi dengan kerusakan alam yang harus dibayar.


Indonesia tetap miskin, bahkan makin miskin, apalagi masih terdampak pandemi. Jumlah orang miskin juga meningkat. Pandemi turut mengondisikan yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin akan semakin miskin. 


Padahal Allah Swt. menciptakan sumber daya alam pasti dalam jumlah yang cukup untuk manusia hingga hari kiamat. Ingatlah, yang menjadikan sumber daya alam terasa kurang, adalah keserakahan. Sementara yang menjadikannya terasa cukup, adalah keberkahan.


Manusia dengan akalnya, semestinya mengelolanya sesuai dengan petunjuk Allah Swt. Agar bumi ini beserta segala isinya senantiasa dialiri keberkahan oleh Allah Swt.. Allah Swt. berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [07]: 96).


Namun, iklim kapitalisasi dalam sistem demokrasi, nyatanya telah memfasilitasi keserakahan para pemodal. Harta kepemilikan umum tak terdistribusi merata bagi seluruh manusia. Padahal, sumber daya alam itu sebenarnya haram untuk mereka miliki secara pribadi.


Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).


Hadis di atas menegaskan bahwa sumber daya alam (hayati dan non hayati) adalah milik umum, di mana manusia berserikat dalam memilikinya. Tersebab hal ini, sumber daya alam tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu, beberapa individu ataupun negara sekalipun.


Individu, sekelompok individu atau negara tidak boleh memprivatisasi sehingga menghalangi individu atau masyarakat umum memanfaatkannya. Sebab harta semacam ketiganya itu adalah milik umat secara berserikat. Namun, agar semua bisa mengakses dan mendapatkan manfaat dari ketiganya, negara dapat mewakili masyarakat mengelola dan mengatur pemanfaatannya. Agar semua masyarakat bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil dari harta-harta milik umum itu.


Di samping itu, dalam sistem Islam, Khilafah menjamin terwujudnya ketahanan ekonomi masyarakat. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh Khilafah, mewajibkan adanya sirkulasi kekayaan di antara seluruh masyarakat, sehingga tidak terjadi hanya di antara segelintir orang. Ini sebagaimana firman Allah Swt.,“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian…” (QS Al-Hasyr [59] : 7).


Jika di tengah masyarakat terjadi kesenjangan yang lebar dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka Khilafah akan segera mengatasinya dengan mewujudkan keseimbangan ekonomi. Aturan Islam menjamin distribusi harta ini dengan sebaik-baiknya. Yakni dengan cara menentukan tatacara kepemilikan, tata cara mengelola kepemilikan, serta menyuplai orang yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Harta tersebut baik yang bergerak ataupun yang tidak bergerak. Harta ini berasal dari Baitul Mal, yang merupakan milik seluruh kaum Muslim.


Khatimah


Inilah sebabnya, hanya Khilafah Islamiah saja yang mampu mewujudkan perintah Allah dan Rasul-Nya terkait pengelolaan sumber daya alam dengan tetap memperhatikan aspek ekologi. Berikut menjaga kelangsungan distribusi ekonomi di tengah masyarakat. Negara demokrasi-kapitalisme mana pun tidak akan pernah mampu menuaikan kesejahteraan sebagaimana Khilafah.[]


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama