Krisis Energi Dunia, Buah Kerakusan Sistem Kapitalisme

 


Ummu Aisyah


Krisis energi mulai dihadapi sejumlah negara besar lantaran meningkatnya kebutuhan energi dalam masa pemulihan ekonomi dan kegiatan produksi. Sejumlah negara seperti kawasan Eropa, China, hingga India mulai menghadapi ancaman tersebut. Hal ini ditandai dengan meroketnya harga gas dan batu bara, diikuti oleh kenaikan harga minyak.

Sekretaris Eksekutif I Kementerian Koordinator Perekonomian Raden Pardede angkat bicara soal krisis energi yang melanda sejumlah negara saat ini. Ia menyebutkan salah satu yang bisa dilakukan Indonesia adalah dengan meningkatkan produksi dan mempersiapkan kapasitas cadangan sumber daya energi nasional. 


Salah satu kontributor krisis energi saat ini, menurut Raden, adalah menipisnya sumber energi fosil. Industri fosil sudah ditinggalkan oleh investor, bank dan pasar modal. "Mereka beralih ke energi hijau, sedangkan transisi energi justru belum siap," ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Sabtu, 23 Oktober 2021.


Oleh karena itu, kata Raden, Indonesia harus segera mempersiapkan dan menggenjot cadangan sumber daya energi nasionalnya. "Indonesia harus well-planned karena krisis energi yang terjadi bagian transisi yang kurang matang dilakukan dunia," ucapnya. "Kita perlu belajar. Mumpung masih ada waktu dan belum terjadi krisis energi." (https://bisnis.tempo.co/read/1520611/krisis-energi-pukul-sejumlah-negara-apa-yang-harus-dilakukan-ri).


Namun, apakah langkah ini akan berhasil menangkal krisis energi? Sebab ekonom Faisal Basri memperkirakan negeri ini akan mengalami defisit energi hingga US$80 miliar atau sekitar Rp1.122 triliun pada 2040 akibat ketimpangan antara produksi dan konsumsi energi dalam negeri.


Selayaknya perlu disadari akar masalah terjadinya krisis energi adalah akibat kerakusan negara industri yang berorientasi keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli dampak lingkungan dari industrinya. Industrialisasi yang digeber tanpa batas oleh kapitalisme telah mengantarkan pada kerusakan lingkungan. Sistem kapitalisme terus menggenjot produksi, demi keuntungan materi, tidak peduli alam makin rusak dan udara makin kotor sehingga berujung pada munculnya aneka penyakit.


Sejarah perusakan alam secara masif telah dimulai sejak revolusi industri pada abad ke-17 dan 18 di Eropa. Selanjutnya, penggunaan bahan bakar fosil secara berlebihan telah mengakibatkan perubahan iklim dan pemanasan global. Sementara kesejahteraan ekonomi pada sebagian orang, telah menciptakan gaya hidup yang semakin abai terhadap lingkungan. Semua ini berdampak pada kualitas hidup dan kesehatan masyarakat. 


Maka, masyarakat dunia didorong untuk beralih dari bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) kepada sumber energi terbarukan seperti panas bumi, surya, air, angin, dan nuklir. Namun kampanye energi hijau (energi ramah lingkungan) seolah basa-basi tanpa realisasi. Protokol Kyoto telah diratifikasi lebih dari seratus negara. Namun energi hijau tetap mahal, tak terjangkau kantong khalayak. Ditambah industrialisasi yang terus digeber tanpa henti. Akhirnya udara yang segar bebas polusi tak kunjung dinikmati. Apalagi negara kapitalis terbesar penghasil polusi yakni Amerika Serikat justru menolak meratifikasi protokol Kyoto. Lagi-lagi aspek keuntungan yang dikedepankan. Tanpa mengubah orientasi dan cara negara produsen mengelola industrinya, kerusakan iklim dan lingkungan akan semakin parah. Dampaknya akan merembet ke seluruh dunia dan harus ditanggung semua negara. Kebijakan global atas masalah ini yang bersandar pada ‘pembagian kuota’ emisi karbon tidak bisa meredam watak rakus negara kapitalis.


Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Negara (khilafah) akan menjalankan pengaturan urusan umat termasuk industri sesuai dengan ketentuan syariat. Penerapannya akan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Maka, industrialisasi dalam sistem Islam juga akan mewujudkan rahmat bagi semesta, membawa kesejahteraan dan tidak merusak alam. Negara juga akan mengembangkan energi yang ramah lingkungan dengan dukungan dana dari pos fai’ wa kharaj, yakni bisa dari hasil pengelolaan kekayaan alam. Pengembangan energi hijau semaksimal mungkin mengoptimalkan kemampuan dalam negeri sehingga tidak tergantung pada impor komponen.


Hal ini bisa dilakukan karena negeri-negeri muslim punya banyak cendekiawan. Hanya saja mereka butuh dukungan sistem, baik terkait dana maupun kebijakan. Hasil dari pengembangan energi hijau bisa dijual murah pada rakyat. Bisa juga negara mengambil untung asalkan tidak memberatkan rakyat. Hasil keuntungan tersebut harus dikembalikan lagi bagi kesejahteraan rakyat.


Pada masa tegaknya peradaban Islam, umat Islam memimpin kemajuan industri. Berbeda dengan sistem kapitalisme, gencarnya industri dalam negara khilafah tidak merusak lingkungan. Bahkan para ilmuwan saat itu merancang teknologi yang membuat penggunaan energi efektif dan efisien. Banu Musa bersaudara (abad 9 M) dan al Jazari (abad 12) adalah orang-orang yang mewariskan mesin-mesin yang sangat inovatif, baik dalam penggunaan energi air maupun untuk pertambangan. Banu Musa (Muhammad bin Musa, Ahmad bin Musa, dan Hasan bin Musa) bersinergi menemukan desain lampu minyak yang tahan tiupan angin sehingga cocok dipakai di udara terbuka. Mereka juga membuat alat ventilasi dan mesin keruk yang dirancang secara cerdas dan dimuat dalam buku mereka “Kitab al-Hiyal”. Demikianlah, dengan penerapan Islam kaffah, kebaikan dirasakan manusia, hewan-hewan, tumbuhan, dan seluruh alam. []


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama