Bahaya Dibalik Program Desa Wisata

 


Oleh: Dwi Maria Amd. Kep


Dewasa ini pembangunan pariwisata tampak diarusutamakan. Di tengah lambatnya pertumbuhan ekonomi akibat pandemi, menurunnya ekspor dan semakin besarnya tekanan ekonomi global, pariwisata dianggap sebagai sumber kemakmuran, meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperluas lapangan kerja. Seolah pariwisata adalah solusi atas masalah ekonomi bangsa. Dan pariwisata dianggap sebagai sektor ekonomi yang menjamin pemasukan jangka panjang bahkan permanen. 


Untuk itu, semua pihak didorong agar menyukseskan program-program demi menggenjot pembangunan pariwisata. Dibuatlah undang-undang khusus untuk pariwisata, didukung jor-joran pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendukung, penggalakan investasi, dan peningkatan peran serta masyarakat.


Pengembangan Obyek Wisata (POW) untuk desa wisata diyakini bisa menjadi salah satu cara untuk memajukan sebuah desa. Terutama dengan melakukan kolaborasi dan optimalisasi potensi yang ada masing-masing desa.


Sebagai mana yang disampaikan Direktur Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan (PDP) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Sugito di sela Kunjungan Kerja di obyek wisata Sumorobangun Flower (SBF), Desa Biting, Kecamatan Badegan, Ponorogo, Jawa Timur, Sabtu (25/9/2021).


“Dengan mengembangkan desa wisata, maka akan banyak elemen yang terlibat. Ada home industry yang dikembangkan, ada solusi masalah pengangguran karena wisata butuh pekerja, ada pengentasan kemiskinan, ada upaya pengembangan pendidikan dan lain-lain untuk terus menggarap desa wisata ini,” terang Sugito.


Hitungan-hitungan pendapatan dari sektor ini sudah dilakukan sedemikian jauh maka sebagai konsekuensinya daya tarik obyek wisata juga harus digenjot sedemikian rupa. Salah satu yang dianggap sangat menarik menjadi atraksi pariwisata adalah ‘budaya lokal’. 


Tak heran bila keemudian Reyog dan Kabupaten Ponorogo diusulkan masuk sebagai ICH (Intangible Cultural Heritage/Warisan Budaya Tak Benda) di Unesco dan masuk dalam UCCN atau Unesco Creative Cities Network/Jejaring Kota Kreatif Unesco). Targetnya, pada 2023 mendatang.

Hal ini diungkapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko usai menerima tim dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI di Ruang Bantarangin, Gedung Graha Kridha Praja Pemkab Ponorogo, Selasa (28/9/2021).


Selain itu, destinasi wisata yang menjual daya tarik keindahan alam, keramahan penduduk dan beragam atraksi budaya dikapitalisasi. Bahkan tradisi lama  yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat karena tidak membawa manfaat dan melanggar nilai-nilai agama bahkan mengandung kesyirikan justru dihidupkan kembali. Seperti acara keduk beji di Ngawi, acara yang di selenggarakan setahun sekali pada hari selasa kliwon ini menjadi wisata tradisi lokal yang dipandang mampu meningkatkan minat wisata di daerah Ngawi. Setidaknya itu yang disampaikan oleh Sukardi, selaku kepala dinas pemuda dan olahraga kabupaten Ngawi. Beliau mengatakan, “jika jumlah pengunjung ditempat wisata Tawun pada hari biasa berkisar 100-500 orang, maka pada acara keduk beji, pengunjung bisa mencapai 2500 orang”. 


Sebuah acara penuh nuansa kesyirikan, yang dilakukan setahun sekali, dengan Cara menguras dan membersihkan sendang di pemandian tawun, yang terletak didesa Tawun kec kasreman kab ngawi. Acara ini dipercaya mampu untuk mengusir roh2 halus, dan membawa keberkahan untuk warga ngawi, khususnya yang bertempat tinggal di Tawun. Padahal alih - alih untuk membawa keberkahan, acara yang kental dengan aktivitas maksiat tersebut, justru membawa mudhorot. Terbukti dari pengakuan seorang warga di Tawun, setiap malam menjelang keduk beji, warga akan berjaga di sekitar pemandian, mereka begadang semalaman sambil ditemani minuman keras. Sudah menjadi rahasia umum, jika setiap acara keduk beji dilakukan, tingkat permintaan minuman keras akan meningkat. Pada saat acara dilakukan, penyelenggara akan mendatangkan kelompok seni "gambyong" yaitu permainan gamelan jawa dan penyanyi, yang akan menghibur Para wisatawan dengan berbagai praktek maksiatnya.


Mereka hanya memakai logika, Bila wisatawan datang maka beragam aktifitas ekonomi akan terdongkrak dari wisatawan yang akan makan, minum, berbelanja souvenir, menginap, menyewa kendaraan, menyewa jasa tukang pijat atau sekedar membawakan kopor di tempat itu. Namun, bukan hal yang baru bila wisatawan juga menginginkan tersedianya tempat maksiat untuk zina, mengkonsumsi khamr,dst. Maka kemaksiatan bertumpuk terjadi di daerah wisata. Bukankah ini menantang azab Allah? 


Banyaknya bencana alam yang melanda bangsa ini dan pandemi yang tak kunjung beakhir, semestinya menjadi pelajaran terbaik bagi kita semua. Juga menjadi pijakan mengevaluasi penataan bangsa secara mendasar.


Hal itu jelas disampaikan Allah di Qs. Ar-ruum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.


Pandangan Islam Mengenai Pariwisata


Islam tidak melarang adanya objek wisata. Hanya saja hal tersebut harus disesuaikan dengan aturan Islam. Hal–hal yang bertentangan dengan Islam tentunya tidak diizinkan. Seperti kesyirikan, kegiatan perzinaan, miras, narkoba ataupun kemaksiatan lainnya. Pariwisata dalam Islam bukanlah sarana yang hanya dimanfaatkan untuk meraup devisa, meskipun memiliki nilai jual yang tinggi. Karena dalam Islam sendiri telah memiliki sumber pendaatan yang tetap. Seperti hasil pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Selain itu pemasukan lainnya bisa diperoleh dari zakat, jizyah, kharaj, fai’, ghanimah, hingga dharibah.


Tujuan utama dibentuknya pariwisata ada dua. Pertama sebagai sarana taqorub illallah. Keindahan alam adalah ciptaan Allah yang luar biasa. Dengan melihat keindahan alam akan membuat kita kagum atas  kebesaran Allah. Sehingga dapat meningkatkan keimanan kita. Kedua sebagai sarana memperkenalkan kebesaran Islam. Peninggalan bersejarah dan kemajuan teknologi yang dihasilkan oleh kaum muslim dapat dipakai untuk memerlihatkan bahwa Islam adalah agama yang lengkap. Peninggalan bersejarahnya akan membuat ketakjupan bagi yang melihatnya. Sedangkan peninggalan sejarah yang dimanfaatkan untuk ibadah umat agama lain akan dibiarkan. Hanya dipergunakan sebagai tempat ibadah saja. Selain yang disebutkaan sebelumnya dan tidak dimanfaatkan akan diganti atau dihancurkan. Jika Islam menawarkan konsep yang sempurna mengenai pariwisata. Sudah sewajarnya kita memaknai pariwisata sebagaimana Islam memandangnya. Wallohu A’lam Bishowab.[]



*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama