Dilema Buka Tutup Pariwisata

 



Oleh Ismawati (Aktivis Dakwah Muslimah) 


Muslimahvoice.com - Indonesia saat ini masih dilanda wabah virus corona. Aktivitas masyarakat pun dibatasi termasuk budaya mudik lebaran dilarang pemerintah karena dapat menyebabkan timbulnya kerumunan. Hanya saja, kebijakan ini dinilai diksriminatif sebab pariwisata dibuka saat libur lebaran. Sebagaimana yang terjadi di Pantai Ancol, Jakarta. Pada Jumat (14/5/2021), kunjunga wisatawan mencapai kisaran 39 ribu orang.


Alhasil, Ancol pun sempat menajdi trending topic di twitter. Sebab, kerumunan yang terjadi semakin tak terkendali hingga tak sedikit warganet yang membandingkan kerumunan kunjungan wisatawan yang mandi di Pantai Ancol, mirip dengan yang dilakukan warga India saat melakukan ritual mandi di Sungai Gangga yang diduga menjadi sebab terjadinya gelombang covid-19, (sindonews.com 16/5/21). 


Kebijakan yang dibuat pemerintah ini sangatlah dilematis. Sebab, satu sisi salat di masjid dilarang, ziarah kubur, bahkan mudik juga dilarang namun tempat wisata dibuka. Bukankah ini juga dapat menimbulkan kerumunan. Sebagaimana disampaikan Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra Abdul Muhaimin Iskandar yang mengatakan bahwa kebijakan membuka Pantai Ancol jelas menimbulkan kerumunan yang sulit dikendalikan. Bagaimanapun orang yang mandi di pantai tidak bisa menerapkan protokol kesehatan. Tidak memakai masker, bahkan tidak menjaga jarak.


Bukan hanya di Pantai Ancol, media sosial pun ramai menunjukkan riuh tempat wisata oleh pengunjung tanpa menerapkan protokol kesehatan. Seperti kunjungan wisata di Pantai Pangandaran dan Pantai Batu Karas. Meski pada akhirnya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menginstruksikan untuk menutup akses menuju objek wisata di Pangarandaran dan Ciwidey. 


Terlebih, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Dedi Taufik menuturkan, dari hasil laporan dan pantauan di sejumlah tempat wisata, khususnya di Pantai Batu Karas Pangandaran, diketahui terjadi peningkatan wisatawan secara signifikan pada objek wisata tersebut. Bahkan, tidak sedikit yang abai terhadap protocol kesehatan, (kompas.com 16/5/21).


Rasa jenuh, penat dan bosan mungkin dirasakan beberapa orang ketika harus terus menerus lockdown melakukan aktivitas serba online di rumah. Alhasil, pergi ke tempat wisata adalah salah satu jalan melepas penat. Terlebih, momen libur Idulfitri adalah waktu yang tepat karena bisa berkumpul dengan sanak keluarga.


Namun, pemerintah tak boleh lupa. Jika esensi melarang mudik, salat di masjid, ziarah kubur adalah untuk mencegah kerumunan yang dapat menyebabkan munculnya kasus baru covid-19, seharusnya kebijakan itu juga berlaku untuk pembukaan pariwisata. Jangan sampai, kepentingan ekonomi lebih diutamakan daripada nyawa rakyat. Lihatlah betapa pilu jalanan India kala itu, betapa sesak langit India setelah terjadi lonjakan kasus covid-19 yang begitu luar biasa. Tidakkah hal itu dianggap sebuah pelajaran?


Padahal, bukan karena pandemi sistem ekonomi Indonesia semakin terpuruk. Tetapi karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme menguntungkan bagi pemodal disbanding rakyat. Bayangkan, sumber daya alam kita habis, rakyat hidup miskin di tengah alam yang kaya raya. Betapa banyak rakyat Indonesia yang kelaparan, hanya demi sesuap nasi tindak kejahatan dilakukan. Bantuan sosial dikorupsi, rakyat harus mati kelaparan di tanahnya sendiri.


Alih-alih membangun pariwisata untuk membangkitkan ekonomi, rakyat justru dibuat dilemma karena harus bertarung dengan keselamatan mereka. Kemana sumber daya alam kita? Telah nampak bahwa kini Negara tak mampu mencari solusi mengentaskan pandemi dan memulihkan ekonomi. 


Sejatinya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah mengutamakan kepentingan rakyat. Sebab pemimpin adalah orang yang bertanggungjawab atas rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).


Dalam penuntasan wabah, negara harus sigap mengambil kebijakan yakni karantina total di wilayah yang terkena wabah, memisahkan yang sehat dan sakit. Memberikan bantuan seperti APD, alat kesehatan yang memadai, hingga bantuan pangan kepada masyarakat. Kebijakan yang diambil harus senantiasa mengedepankan urusan rakyat. Dengan demikian penting mewujudkan pemimpin yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan sehingga kebijakan yang lahir adalah kebijakan sahih (benar) karena takut kepada Allah Swt.


Wallahu a’lam bishowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama