Endah Sulistiowati & Afiyah Rasyad
I. PENDAHULUAN
Pakar terorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail mengatakan, ada tiga hal yang memicu orang-orang kelompok usia muda tertarik mengikuti aksi terorisme. Ketiga aspek tersebut adalah pencarian jati diri, ekspresi diri, dan media sosial. Ismail mengatakan, anak-anak muda masih membutuhkan validasi dari lingkungan sosialnya. Hal ini yang menyebabkan mereka rentan terpapar radikalisme dan terorisme.
Hari ini kaum muda atau biasa disapa kaum milenial tengah menjadi sorotan sejak aksi teror di Katedral Makassar yang dilakukan oleh Lukman berusia muda yaitu 26 tahun dan aksi teror di Mabes Polri diketahui dilakukan oleh ZA yang berusia 25 tahun. Dia kelahiran tahun 1995 yang masuk kategori generasi milenial.
Banyak pengamat menyatakan saat ini milenial menjadi sasaran penjaringan bibit-bibit muda terorisme. Hal tersebut dikarenakan usia muda, adalah usia pencarian jati diri, masa-masa yang selalu ingin mencoba hal-hal baru. Sehingga usia-usia ini sangat mudah terpengaruh dan dipengaruhi.
Narasi terorisme menyasar milenial ini tentu membuat masyarakat gusar. Sehingga membuat masyarakat saling curiga mencurigai dengan aktivitas milenial terutama yang berhubungan dengan kajian Islam, liqa', halaqah, dan aktivitas-aktivitas yang semisal.
Jika aktivitas keagamaan ini dikonotasikan dengan penyebaran bibit-bibit terorisme, bagaimana para orang tua bisa merasa aman? Padahal pendidikan agama disekolah tidak optimal dan cenderung seremonial belaka, apalagi ditengah derasnya arus moderasi agama. Sehingga masyarakat membutuhkan solusi yang solutif untuk mendidik generasi milenial taat beragama tanpa kecurigaan apapun.
II. PERMASALAHAN
Berangkat dari keresahan masyarakat inilah, kiranya ada beberapa pertanyaan yang harus dibahas dalam makalah ini, yaitu:
(1) Mengapa generasi milenial dinilai telah terpapar radikalisme dan ekstremisme yang mengarah pada terorisme?
(2) Apa dampak ketika generasi milenial dinilai telah terpapar radikalisme dan ekstremisme yang mengarah terorisme terhadap perjuangan menegakkan syariat Islam?
(3) Bagaimana strategi membentuk generasi milenial yang tangguh dan berani membela ajaran Islam tanpa ketakutan atas penilaian terpapar radikalisme dan ekstremisme yang mengarah pada terorisme?
III. PEMBAHASAN
A. Generasi Milenial di Indonesia Dinilai Terpapar Radikalisme hingga Terorisme
Aduhai, atmosfer Indonesia kembali mencekam. Menjelang Ramadhan, aksi terorisme bergentayangan. Belum usai masyarakat dan netizen mengecam aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, masyarakat dikagetkan kembali dengan aksi penyerangan Mabes Polri oleh seorang perempuan berkerudung yang menyerang polisi dengan senjata api.
Baik pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral maupun di Mabes Polri, keduanya teridentifikasi berusia muda. Mereka para generasi milenial dianggap sudah terpapar paham terorisme karena aksi terornya.
Peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar oleh Lukman (26 tahun) dan aksi tembak-menembak antara personel Polri dan terduga teroris ZA (25 tahun) di depan Mabes Polri menjadi sorotan publik. Mereka menyoroti generasi milenial muslim, berbekal wasiat dan cara berpakaian pelaku, sudah diidentifikasi generasi muslim tersandera terorisme.
Terlebih, hasil penyelidikan pihak kepolisian menemukan bahwa pelaku yang berinisial ZA adalah simpatisan ISIS yang melakukan aksi seorang diri (lone wolf). ZA diduga berideologi ISIS dari unggahan di akun instagramnya yang baru ia buat sehari sebelum beraksi di Mabes Polri. Dalam postingannya dia mengunggah foto bendera ISIS dan tulisan mengenai jihad (kompas.com, 1/4/2021).
Seolah lagu lama dengan wajah baru, aksi terorisme selalu dikaitkan dengan ajaran Islam yang suci. Padahal, tak ada satu pun nas dalam Al-Qur’an dan Hadis yang membenarkan perbuatan tersebut. Terlebih kemuliaan muslim dan muslimah kini tercoreng karena aksi salah kaprah tersebut. Disebutkan oleh beberapa pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst, Harits Abu Ulya, terdapat kejanggalan pada peristiwa penembakan di depan Mabes Polri.
Pertanyaan yang muncul saat pelaku bisa lolos dari metal detector, kenapa bisa terjadi? Padahal metal detector itu sensitive. Pertanyaan lainnya, kenapa pelaku langsung dieksekusi mati saat itu juga, seharusnya pihak kepolisian bisa melumpuhkan kakinya terlebih dahulu agar lebih mudah mengungkapkan identitas dan tujuan si pelaku?
Menurut Harist, bisa saja perempuan tersebut dalam kondisi labil, marah, atau semacamnya di bawah kendali hipnotis dan obat-obatan. Jika dilihat dari video yang beredar di media sosial, perempuan tersebut amatiran. Dia tidak paham medan yang dimasuki, hanya berputar-putar di ruang terbuka sambil membawa senjata api (Republik.co.id, 31/3/2021).
Curiga juga muncul pada seorang pakar informatika, multimedia, dan telematika Roy Suryo. Dia mencurigai surat wasiat yang ditinggalkan ZA, gaya bahasanya mirip dengan surat wasiat yang ditinggalkan pelaku bom bunuh diri di Makassar. Meskipun cara penulisan beda atau mungkin dibedakan. Namun, gaya penulisan dari kemiringan dan proporsional tulisannya mirip.
Dari kejanggalan-kejanggalan tersebut justru menggiring opini umum bahwa aksi yang dilakukan generasi milenial seolah rekayasa semata. Aksi terorisme diduga adalah sandiwara oleh kalangan intel demi pengalihan arus isu utama, menutupi karut marut negeri dan buruknya pengelolaan negara.
Namun demikian, terlepas dari ada rekayasa atau tidak, yang pasti, aksi terorisme merugikan Islam dan umatnya terutama kaum milenial, karena kali ini menyasar generasi milenial muslim. Tuduhan dan cap teroris Islam adalah penghinaan terhadap ajaran Islam yang seolah hanya mengajarkan kekerasan. Makna jihad kini bergeser, seolah menjadi tindakan terorisme yang brutal. Syariat Islam dimonsterisasi mengingat setiap aksi terorisme terjadi, pelakunya adalah muslim.
Sebutlah kerudung, cadar, gamis, celana cingkrang, jenggot, rajin mengaji, hingga dakwah, seperti menjadi merk milik para teroris. Terkadang Al Qur'an juga turut menjadi barang bukti. Dengan demikian, jelas Islam dan kaum muslim dirugikan dengan aksi terorisme. Maka, pantaskah Islam kaum muslim dicap teroris? Tentu saja tidak.
B. Dampak Buruk Narasi Terorisme Membidik Milenial terhadap Perjuangan Umat Islam
Saat ini, ketika isu terorisme digulirkan, umat Islam seakan-akan menjadi pihak yang tertuduh. Bahkan pandangan miring dengan aktivitas kajian Islam dan aktivisnya menjadikan sebagian umat dan kaum milenial menjauhi aktivitas "ngaji", karena anak-anak muda yang ikut "ngaji" dianggap eksklusif, radikal, ataupun garis keras.
Hal ini tentu saja membuat umat Islam saling curiga mencurigai satu sama lain. Terutama para orang tua yang anak-anaknya menjadi aktivis "ngaji". Apalagi jika menilik apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam sambutannya di acara saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) IX Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Tahun 2021, secara virtual, Rabu, (07/04/2021), dari Istana Negara, Jakarta. “Beberapa kali sudah saya sampaikan di setiap sambutan, pemerintah akan bersikap tegas terhadap segala bentuk intoleransi yang bisa merusak sendi-sendi kebangsaan kita,” tegas Kepala Negara.
Lebih lanjut Presiden menekankan bahwa organisasi keagamaan di Indonesia harus meningkatkan moderasi beragama yang mendukung persatuan dan kesatuan bangsa. Hal tersebut, imbuhnya, dalam dilakukan melalui empat hal, yaitu:
Pertama, organisasi keagamaan harus punya komitmen kebangsaan yang kuat, mengedepankan penerimaan prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi kita, menjunjung tinggi ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta tata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, organisasi keagamaan harus menjunjung tinggi sikap toleransi kepada sesama; menghormati perbedaan; memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat; menghargai kesetaraan dan perbedaan; dan bersedia bekerja sama.
Ketiga, organisasi keagamaan harus memiliki prinsip, ini penting, prinsip anti kekerasan, menolak tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal.
Keempat, organisasi keagamaan harus menghargai tradisi dan budaya lokal masyarakat Indonesia yang sangat beragam. (Setkab.go.id)
Tentu saja sikap ini semakin menyudutkan umat Islam, jika diketahui oleh milenial bisa jadi mereka akan semakin menjauh dari Islam, karena ketakutan terhadap opini yang terus berkembang. Apalagi beberapa RUU yang tengah disiapkan oleh pemerintah nampak akan semakin menjustifikasi hal ini.
Sehingga Umat yang sadar akan bahaya narasi terorisme ini perlu usaha keras agar opini yang terlanjur tersebar dan menancap dalam benak umat tentang milenial yang tersandera terorisme ini bisa dipatahkan. Dan hal itu butuh ketepatan perhitungan, moment, dan waktu, sehingga tidak menjadi bumerang bagi umat sendiri
C. Strategi Membentuk Generasi Milenial yang Tangguh dan Berani
Para milenial memang tidak bisa dibiarkan mencounter masalah ini sendiri. Mereka perlu dibina, didampingi, dan diarahkan, sehingga mereka mampu membela diri dan milih jalan yang benar. Untuk itu perlu langkah konkrit untuk makan mengantarkan mereka di gerbang kebenaran dan keberanian. Adapun langkah tersebut sebagai berikut:
1) Memberikan pemahaman yang benar. Bagaimanapun terorisme ini adalah propaganda yang dihadirkan untuk melemahkan umat Islam di mata dunia sejak peristiwa 11 September 2001 silam. Umat Islam hanya diberi dua pilihan, "stick or carot", bersama teroris atau AS. Hal ini harus dipahami tidak hanya oleh para milenial, namun umat Islam secara umum. Tentu saja Barat lebih suka milenial muslim bergoyang tik tok daripada "ngaji". Karena jika milenial mom mahami Islam secara utuh, ini menjadi bencana bagi mereka.
2) Menghapus stigma negatif. Caranya, dengan memberikan bukti bukan janji. Bahwa anak ngaji mampu berprestasi. Sudah menjadi rahasia umum jika pemuda-pemuda milinial yang mau memahami Islam adalah mereka yang mau berpikir kritis, dan kemampuan ini dimiliki oleh para milenial yang cerdas. Sehingga untuk mengukir prestasi bukan hal yang sulit.
3) Dakwah dan penguatan aqidah. Dakwah itu ibarat darah, dan Islam ibarat tubuh. Jika daerah berhenti mengalir maka matilah tubuh itu. Begitupula Islam, Islam akan kehilangan nyawa jika dakwah berhenti. Sehingga dakwah terhadap milenial inipun harus terus digencarkan, tentu dengan para pendekatan khas milenial. Termasuk disini membangun dan menguatkan aqidah mereka, sehingga tidak mudah tumbang jika harus diterpa oleh masalah apapun, termasuk isu terorisme ini.
Dengan tiga langkah diatas, harapannya para milenial yang dikenal dengan karakter ingin tahu, suka tantangan, dan selalu ingin mencoba hal baru mampu memilih dan memilah mana itu fakta, mana itu propaganda. Sehingga milenial tidak hanya ikut arus, tapi mampu menunjukkan sikap yang benar. Sebagaimana para kaum muda di zaman keemasan Islam.
Generasi milenial adalah generasi muda, sejatinya merupakan generasi yang memiliki peran strategis membangun sebuah peradaban. Di pundaknya, ada kekuatan besar untuk menegakkan nilai-nilai ideologis. Jika kita memperhatikan dengan seksama, tinta emas sejarah mencatat bagaimana peran generasi muda, begitu besar sampai bisa mengantarkan sebuah negara menjadi negara besar.
Dalam sejarah peradaban Islam, generasi muda berperan menyebarkan risalah Islam ke tengah umat sampai detik-detik menyongsong kemenangan Islam di medan laga. Sebutlah teladan generasi muda Islam terbaik pada zaman Rasulullah saw., yaitu sahabat Mush’ab bin Umair ra. dan sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Kemudian di masa-masa Kejayaannya ada Sholahudin Al Ayyubi dan Muhammad Al Fatih yang namanya tidak lekang oleh waktu.
Masyhur dalam kitab Shiroh, sahabat Mush'ab menjadi duta ke Madinah. Di saat Rasulullah menghentikan tholabun nushroh, beliau saw. fokus mendakwahkan Islam pada setiap suku yang haji. Sampai akhirnya, beliau berjumpa dengan kepala suku Aus dari Madinah. Pascabaiat Aqobah I, Rasul mengutus Mush'ab ke Yasrib. Dari sanalah, pancaran cahaya Islam dimulai.
Lantas bagaimana dengan generasi milenial saat ini? Krisis akhlak dan enggan berpikir menjadi tabiat generasi muslim. Sungguh, hal ini tak lepas dari sentuhan pendidikan, pengasuhan, dan keteladanan keluarga. Selain itu, kontrol masyarakat dan tanggung jawab negara dalam urusan pembentukan syakhsiyah Islam generasi milenial sangat berpengaruh.
Mengingat sistem kehidupan saat ini bukanlah Islam, maka wajar jika paham kebebasan menjadi corong perilaku generasi muda. Serangan pemikiran dan budaya tak henti-hentinya menimpa generasi muslim, tak ayal pemikiran mereka seolah tumpul dan tak terasah untuk memikirkan hakikat hidupnya.
Memang seolah jauh panggang dari api jika kaum muslim memimpikan generasi milenial sebagaimana generasi muda zaman Rasulullah. Namun, tak dapat dimungkiri bahwa pendidikan sangat menentukan sebuah pemikiran komplek tentang hakikat kehidupan. Bagaimanapun, generasi milenial harus memahami hakikat hidupnya sehingga mereka berada di jalur yang semestinya, bukan di jalur penyandera pemikiran.
Langkah nyata yang bisa dilakukan saat ini bertumpu pada tiga komponen utama, antara lain:
1) Keluarga. Di dalam keluarga, ada tanggung jawab ayah dan ibu dalam hadlonah ananda. Sejak lahir, ibu wajib mengasuh putra-putrinya hingga terkena taklif hukum. Begitu pula ayah, selain mencari nafkah, ayah wajib memastikan tumbuh kembang ananda tidak ada bahaya yang mengintai, apakah mengintai fisik ataupun akalnya.
Ayah dan ibu wajib memberikan keteladanan pada ananda, terutama syakhsiyah Islam (pola pikir dan pola sikap Islami). Selain itu, ayah dan ibu mendidik ananda dengan tsaqofah Islam sampai ia baligh, memberikan pengajaran kehidupan dengan menjadikan Islam sebagai kepemimpinan dalam berpikir, serta memahamkan ananda akan ajaran Islam secara kafah agar tak salah arah, apalagi sampai tercebur dalam jurang moderasi agama dan aksi makar.
2) Masyarakat. Masyarakat adalah kelompok sosial yang memiliki perasaan, pemikiran, dan aturan yang sama. Sehingga, ketika ada satu penyimpangan di lingkungannya, mereka akan mengingatkan dan mencegahnya, termasuk jika pelakunya generasi muda. Masyarakat tidak akan rela melihat kriminalitas ataupun tindak tanduk yang jauh dari nilai dan norma yang ada.
Apa jadinya jika masyarakat cuek dengan kemungkaran? Kerusakan tatanan sosial. Sangat diperlukan masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama dalam mengawal pendidikan generasi milenial. Hal ini bisa dengan bergabung dalam jamaah yang mengemban dakwah Islam kafah agar senantiasa diingatkan jika tergelincir pada kemaksiyatan.
3) Negara. Komponen I dan II saja tak cukup. Perlu konsistensi aturan, penyuluhan, dan pengayoman institusi negara. Negara dalam pandangan Islam wajib melayani rakyat. Seorang pemimpin adalah penanggung jawab dan perisai bagi rakyat. Di tangannya kesejahteraan, kecerdasan, penjagaan, dan perlindungan nyawa harus ditegakkan. Pemimpin dalam Islam, yakni Khalifah wajib memelihara urusan rakyat, termasuk generasi milenial dari teror, tajasus, dan fitnah keji.
Negara akan mengupayakan beberapa langkah agar generasi milenial berada dalam koridor syar'i, antara lain:
1. Negara menyediakan pendidikan berbasis aqidah Islam. Dimana tatsqif (pembinaan) dan talqiyan fikriyan muatsaron (proses belajar mengajar yang melibatkan proses berpikir dan bisa mempengaruhi jiwa) dijamin oleh negara agar generasi selamat aqidahya.
2. Negara mengontrol proses berjalannya pendidikan serta membiayai seluruh sarana dan prasarananya karena merupakan hajat umum.
3. Negara akan patroli ke seluruh pelosok negeri agar rakyat dan generasi milenial terhindar dari jeratan ide menyimpang seperti bughot atapun terorisme.
Demikianlah, ketiga komponen tersebut sangat menentukan arah pemikiran dan perjuangan generasi milenial, terlebih komponen negara. Dimana aturan yang diterapkan negara akan mewarnai cara pandang dan gaya hidup masyarakat, termasuk generasi milenial. Sinergitas antara keluarga, masyarakat, dan negara harus berjalan seirama dalam pedoman syariat Islam. Sehingga, terbentuklah generasi milenial yang tangguh dan berani seperti zaman sahabat dan generasi muda masa kejayaan Islam.
IV. PENUTUP
Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Opini yang berkembang di tengah masyarakat pasca aksi teror di Makasar dan Mabes Polri bahwa terorisme tengah menyasar milenial terdapat beberapa hal yang patut diragukan, karena diduga opini ini justru untuk batu loncatan demi suksesnya beberapa agenda kontra radikalisme lainnya.
2) Narasi terorisme dikalangan milenial ini tentunya membawa dampak negatif dalam diri umat Islam secara umum, apalagi para orang tua yang memiliki anak-anak aktivis "ngaji", sehingga perlu segera dicounter agar tidak menyudutkan umat Islam.
3) Membebaskan milenial dari bidikan terorisme perlu langkah-langkah kongkrit, yaitu:
- Memberikan pemahaman yang benar
- Menghapus stigma negatif
- Dakwah dan Penguatan Aqidah
Kaum muda dimasa awal Islam dan masa kejayaan Islam adalah kaum muda yang tangguh. Untuk membentuknya memang diperlukan kerjasama tiga komponen utama penyangganya, yaitu: keluarga, masyarakat, dan negara.
#LamRad
#LiveOppresedOrRiseUpAgaints