Kesetaraan Gender Akankah Mensolusi Permasalahan Perempuan dan Anak?

 


Oleh: Rina Yulistina (Kontributor Muslimah Voice) 


Muslimahvoice.com - Perempuan terutama anak wajib dilindungi, dihormati dan dicintai bukan karena mereka dinilai lemah, bukan itu. Namun perempuan dan anak merupakan sosok yang sangat mulia maka sangat pantas untuk dilindungi, dihormati dan dicintai. Namun sayangnya banyak sekali perlakuan keji dilayangkan kepada perempuan dan anak. Komnas Perempuan mencatat terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020 secara nasional. 


Ditahun 2021 kekerasan perempuan dan anak masih saja terjadi,  baik di kota besar maupun di kota kecil, seperti yang terjadi di Kabupaten Ngawi terhitung mulai bulan Januari hingga awal Maret terdapat lima kasus (radarmadiun.co.id, 9/3/2021). Kasus seperti ini hanya nampak dipermukaan saja, kasus yang dibawah permukaan sangat banyak tak terlapor yang jumlahnya bisa saja lebih fantastik. Penyebab tak melaporkan kasus kekerasan disebabkan banyak faktor salah satunya malu karena dianggab aib, atau takut karena diancam.


Banyak aktivis perempuan yang berusaha untuk membebaskan perempuan dan anak dari kekerasan, hingga setiap tahunnya dirayakan hari perempuan diseluruh dunia. Para aktivis perempuan ini pun menyuarakan kesetaraan gender tujuannya agar wanita tak tertindas lagi. Mereka menganggab bahwa kekerasan yang dialami oleh perempuan disebabkan tidak setaranya kedudukan mereka, sehingga mereka menjadi lemah dan rendah. Oleh karena itu para kativis perempuan ini menyeruakan feminisme mereka mendobrak aturan kultur yang merugikan perempuan, bahkan aturan agama yang dinilai menindas dan mengekang perempuan, seolah-olah agama melegalkan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan.


Namun patut disayangkan perjuangan para aktivis perempuan ini dengan niat mulai ingin mengangkat derajat perempuan agar setara dengan laki-laki ini tidak membuat perempuan dan anak terbebas dari kekerasan. Begitu banyak kekerasan yang dihadapi perempuan dan anak entah di rumah mereka sendiri, ditempat kerja maupun di sekolah. Maka patut untuk diperhartikan kembali apakah benar kekerasan yang dihadapi perempuan dan anak disebabkan karena mereka tidak setara kedudukannya? Ataukah sebenarnya ada faktor lain yang sebenarnya menjadi biang kerok kekerasan tersebut? 


Jika kita tengok dengan adanya kesetaraan gender tidak serta merta kekerasan terhadap perempuan dan anak menghilang bahkan kekerasan itu semakin banyak, kasus di Amerika, atau di Eropa sebagai kiblat kesetaraan gender nyatanya posisi perempuan sangat lemah disana. Berdasarkan data statistik yang berbasis di New York, kasus pemerkosaan di AS mencapai 99.856 pada tahun 2017, dengan angka nasional sebesar 30,7 kasus per 100.000 orang. Itu artinya terjadi serangan kekerasan seksual setiap 98 detik. Sedangkan di Uni Eropa Menurut kantor statistik Uni Eropa, Eurostat, pada 2015 polisi mencatat 215.000 kejahatan seksual. Dari angka itu, 80,000 kasus adalah pemerkosaan (aa.com.tr, 24/2/2019). 


Bukankah data diatas sungguh sangat mengerikan berada dinegara pengusungnya sebagai kiblat gender, maka sudah sangat nyata bahwa apa yang diperjuangkan oleh kaum feminisme pada dasarnya tidak menyentuh pada persoalan kekerasan itu sendiri. Maka harus ada perubahan paradigma dalam melihat persoalan kekerasan perempuan dan anak supaya jelas melihat akar masalah dan solusi yang paripurna bagi perempuan dan anak. 


Jika kita cermati perempuan dan anak berada dilindungan yang sangat tidak aman baik itu di lingkungan keluarga, sekolah dan tempat kerja. Tindakan kekerasan kerap dilakukan oleh anggota keluarga sendiri yaitu orang-orang terdekat korban, keluarga yang seharusnya menjadi tempat ternyaman malah menjadi sarang harimau. Kekerasan terjadi di dalam rumah tangga bukan karena seorang istri tak berpenghasilan, karena berpenghasilan ataukah tidak sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kekerasan yang dihadapi perempuan. Kekerasan terhadap anak didalam lingkup keluarga pun sangat amat sering terjadi karena kebejatan anghota keluarga yang lain. Itu  artinya pondasi moralitas dan agama di dalam keluarga telah runtuh. 


Di sekolah, seorang anak juga terkena kekerasan baik fisik maupun mental mulai dari bullyan hingga kekeran seksual, ini juga membuktikan bahwa dunia pendidikan juga belum menjadi tempat yang aman dan layak untuk anak. Pendidikan yang lebih menitik beratkan kepada akademis, sedangkan kurikulum yang dibuat pun tak lepas dari kurikulum sekuler yang tidak berlandaskan kepada aqidah Islam.


Ditempat kerja tak luput akan kekerasan seksual, di tahun 2017 Perempuan Mahardika melakukan studi pada perempuan yang bekerja di Garmen KBN Cakung dan hasilnya 56,5 persen dari 773  buruh perempuan yang bekerja di 38 perusahaan garmen pernah mengalami pelecehan seksual di pabrik. 


Maka jelas bahwa akar permasalahan kekerasan perempuan dan anak bukan karena mereka tidak setara dengan laki-laki namun disebabkan sistem sekuler liberal yang menyebabkan maraknya perbuatan maksiat karena mengemban perilaku kebebasan, tontonan yang tidak bermoral pun juga sangat mudah ditemui sehingga dorongan untuk melakukan kekerasan seksual menjamur, kesempitan ekonomi juga turut menyumbang adanya kekerasan fisik diranah keluarga, ekonomi pula yang mendorong perempuan bekerja diluar rumah yang keamanannya pun tidak terjamin. 


Sistem sekuler liberal merupakan akar masalah adanya kekerasan yang dihadapi oleh perempuan dan anak, maka untuk mensolusi permasalahan ini dengan tidak menerapkan sistem sekuler liberal tersebut. Di dalam Islam jelas bahwa keluarga merupakan benteng yang harus kuat maka pondasi di dalam keluarga harus berlandasakn pada Islam, laki-laki sebagai wali merupakan pelindung perempuan dan anak, haram hukumnya menelantarkan, menyakiti bahkan melakukan tindakan kekerasan terhadap istri, saudara perempuan, dan anak. Wali juga wajib memberikan nafkah layak kepada istri, saudara perempuan dan anak. 


"Sesungguhnya wanita itu adalah saudaranya para pria.” (HR. Ahmad)


Negara wajib memberikan lapangan pekerjaan atau modal bagi yang ingin berbisnis agar para wali bisa mencukupi kebutuhannya, sedangkan perempuan tidak diwajibkan untuk menjadi tulang punggung, kalapun mereka ingin bekerja diranah apapun diperbolehkan dengan tetap berpegang teguh pada syariat Islam.


Sekolah, tempat kerja dan tempat umum lainnya wajib untuk memberikan kenyamanan terhadap perempuan dan anak ini merupakan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan tersebut. Negara wajib membuat regulasi yang harus diterapkan oleh sekolah, tempat kerja maupun tempat umum.


Negara pun juga harus memberikan perlindungan kepada korban kekerasan, memberikan perbaikan psikologi bagi korban, dan memberikan hukum yang berat kepada pelaku kejahatan sesuai dengan jenis perbuatan yang mereka lakukan. 


Untuk menerapkan hal tersebut maka dibutuhkan penerapan sistem yang mendukung baik dari sistem ekonomi, politik, pemerintahan, hukum, sosial dan lain sebagainya. Sehingga kebutuhan untuk menerapkan sistem Islam secara kaffah sangat diperlukan. Sistem Islam secara kaffah ini hanya bisa diterapkan dengan sistem Khilafah.[]


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama